1. Ini kutukan apa anugerah?

622 50 12
                                    

Dunia yang tak banyak orang lihat, dunia di mana garis antara hidup dan mati begitu tipis. Sejak kecil, ia sudah bisa melihat sekilas kematian dalam tatapan orang lain. Itu adalah anugerah sekaligus kutukan. Anugerah karena ia bisa memperingatkan orang-orang, juga kutukan karena ia harus menanggung beban mengetahui nasib orang yang belum tentu siap menerimanya.

Sore itu, Halilintar tengah duduk di taman belakang sekolah. Mata ruby nya menerawang jauh, menghindari tatapan teman-temannya. Ia lebih suka menyendiri, menikmati kesunyian yang menyelimuti hatinya. Tiba-tiba, perhatiannya teralihkan pada seorang anak kecil yang sedang bermain di ayunan tidak jauh darinya. Anak itu tampak ceria, Halilintar yang tidak sengaja matanya bertatapan dengan anak itu tersentak kaget.

Halilintar menghela napas panjang. Ia sudah tahu akan ada kejadian apa sebentar lagi. Dengan ragu, ia mendekati anak kecil tersebut. "Hai, kamu lagi main sendiri?" sapa Halilintar. Anak itu hanya mengangguk kecil, masih bermain ayunan.

Mereka mengobrol sebentar. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari mainan favorit sampai makanan kesukaannya. Namun, di sela-sela obrolan itu, Halilintar terus mengamati anak kecil itu. Dia melihat adegan di mana anak itu meninggal tertabrak bis dan ibu anak itu menangisinya.

Tiba-tiba, anak itu menghentikan ayunannya. Matanya membulat, menatap lurus ke arah ibunya yang sedang berjalan mendekat dari arah gerbang sekolah. Dengan sekuat tenaga, anak itu melompat dari ayunan dan berlari menuju ibunya. Halilintar ingin berteriak, ingin mencegahnya. Namun, tubuhnya terasa lumpuh. Ia hanya bisa terpaku di tempat, menyaksikan kejadian tragis yang akan segera terjadi.

Halilintar melihat dunia seolah melambat. Jalanan yang tadinya ramai tiba-tiba sunyi. Suara kendaraan yang bising berubah menjadi bisikan angin. Dan ibu anak kecil itu, sosok yang paling dicintainya, semakin dekat. Senyum merekah di wajah anak kecil itu.

Seketika, dunia kembali bergerak dengan cepat. Detik berikutnya, teriakan histeris memecah kesunyian. Tubuh mungil anak kecil itu terhempas ke aspal, tak bergerak. Halilintar memejamkan matanya dengan erat, ia merasa begitu bersalah, begitu tidak berdaya. Ia telah melihat semuanya, tetapi dia tak mampu melakukan apapun.

Orang-orang berkerumun, berusaha menolong anak kecil itu. Ibu si anak itu langsung menangis histeris. Halilintar hanya bisa berdiri di sudut, menyaksikan semua itu dengan perasaan hancur. Ia ingin menghilang, ingin lari sejauh-jauhnya. Namun, kakinya terasa terlalu berat untuk digerakkan.

.

Halilintar pulang ke rumah dengan langkah cepat. Rumahnya, yang terletak di ujung gang sempit, selalu terasa sunyi. Dinding-dindingnya yang kusam seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti hati Halilintar. Ibunya, seorang wanita berparas cantik dengan sorot mata yang selalu kosong, biasanya sudah terlelap di kamar saat Halilintar pulang. Ayahnya? Halilintar lebih memilih untuk tidak memikirkannya. Lelaki itu lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, dan ketika pulang, wajahnya selalu terlihat murung dan seringkali pulang dalam keadaan mabuk.

Halilintar masuk ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sudah tidak empuk lagi. Matanya menatap langit-langit kamar yang penuh gambar-gambar kesukaannya. Namun sekarang, gambar-gambar itu terlihat begitu tidak berarti.

Ingatannya kembali pada kejadian sore tadi. Wajah anak kecil itu terus menghantuinya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mencegah kejadian itu. Ia juga merasa kesepian, karena tidak ada seorang pun yang bisa diajak berbagi beban pada hatinya.

Hari demi hari berlalu, bayangan anak kecil itu tak pernah benar-benar pergi dari benak Halilintar. Setiap kali menutup mata, wajah polos dan senyum cerianya selalu muncul, membuatnya terbangun di tengah malam dalam keadaan ketakutan.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang