34. Cari pelakunya.

207 26 22
                                    

Beberapa menit kemudian Duri dan Halilintar kembali setelah memulangkan kucing kecil itu pada pemiliknya, Halilintar menurunkan Duri di depan rumah temannya itu. Pandangannya tak sengaja menangkap sosok Blaze yang sedang berdiri di teras. Halilintar berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain, tapi rasa penasaran membuatnya melirik lagi. Blaze tampak sedang memainkan ponselnya, saat matanya bertemu dengan Halilintar, senyum tipis terukir di bibir Blaze.

Halilintar mengalihkan pandangannya lagi, dia segera tancap gas, ingin segera pergi dari tempat itu, kepergian pemuda itu yang terlihat buru-buru membuat Blaze menggaruk kepalanya, bingung dengan tingkah sahabatnya itu.

"Blaze, kamu kenapa?" Duri bertanya sambil menepuk pundak abangnya.

"Kagak, gue cuman kaget aja si Hali mendadak ngehindar dari gue," jawab Blaze setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

"Dih, gak peka ... Hali masih trauma sama kamu itu," sahut Gempa yang keluar dari rumah sambil membawakan pudding untuk dua adiknya itu.

"Aaaaa- ya maaf, mana gue tahu," balas Blaze, dia memakan pudding buatan abangnya bersama dengan Duri.

Di sisi lainnya, sepanjang perjalanan pulang dari rumah Duri, isi pikiran Halilintar kembali penuh. Bayangan kejadian dengan Blaze yang membuat perasaan jijik terhadap dirinya sendiri muncul lagi. Pemuda bernetra ruby itu merasakan kengerian yang menjalar ke seluruh tubuhnya, Halilintar menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, ingatan tentang sikap ayahnya kemarin semakin memperparah keadaan. 

Ayahnya tak hanya salah paham saat melihat Taufan di kamarnya, dia juga langsung melontarkan tuduhan keji yang menghancurkan harga diri Halilintar. Tuduhan bahwa Halilintar tak bisa menjaga diri dan seperti ibunya, yang Ray anggap rendah, membuat Halilintar semakin merasa terjebak dalam kebencian terhadap dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Halilintar kembali mengenakan masker. Luka di bibirnya memang sudah mulai pulih, namun rasa malu dan takut akan tatapan orang lain masih menghantuinya. Ia tak ingin ada yang melihat bekas luka itu, seolah-olah luka itu menjadi simbol dari aib yang pemuda itu miliki.

Halilintar memasuki kelas dengan langkah gontai, matanya tertuju pada lantai. Hari ini, ia lebih memilih untuk menyendiri. Ice dan Solar yang menyadari perubahan sikap sahabatnya itu pun mencoba mendekat.

"Hali, lo kenapa? Dari tadi mukanya cemberut," tanya Ice sambil menepuk pelan bahu Halilintar.

Halilintar hanya menjawab dengan gumaman. "Nggak papa kok," ujarnya singkat. Solar yang duduk di sampingnya ikut mencoba memecah keheningan. "Lo sakit? Atau ada masalah?"

Halilintar hanya menggeleng, dia sedikit tertawa ketika mendengar Duri dan Gempa memutar video meme.

Gempa tersenyum. "Nah gitu dong, kamu harus sering ketawa, Hali."

Halilintar langsung menghentikan tawanya ketika mendengar ucapan dari salah satu sahabatnya.

Duri sendiri sudah terduduk di lantai kelas sambil tertawa memegangi perutnya. Humornya sangat anjlok cuma karena video meme yang dilihatnya.

"Duh, lo kenapa ketawa sampai ngik-ngik gitu?" Taufan bertanya sambil menahan tawanya, dia ingin duduk di bangku belakang di samping Gempa tapi Duri menghalangi jalannya.

Taufan berusaha melewati Duri yang masih terpingkal-pingkal di lantai, tetapi Duri justru berguling ke samping, semakin menghalangi jalannya. Taufan hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, sementara Gempa mulai ikut tertawa melihat tingkah adiknya yang benar-benar larut dalam kesenangan sederhana.

"Duh adek gue kesurupan apa anjir?" Blaze dengan panik menarik tangan Duri agar kembali ke bangkunya.

"Blaze, ini tuh lucu banget," kata Duri setelah duduk di sebelah abang keduanya.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang