23. Target

185 25 25
                                    

Halilintar tak pernah menyadari bahwa sikapnya yang berlebihan dalam melindungi semua sahabatnya akan membawa sebuah masalah di antara persahabatan mereka.

Dia tak bermaksud seperti itu, sedikitpun tak pernah. Tak ia sangka kalau akan ada kejadian seperti ini. Tangannya yang gemetar perlahan mencoba meraih tubuh sahabatnya yang paling muda di antara mereka.

Dia menganggap semua sahabatnya sebagai adiknya, tak pernah sedikitpun ia membeda-bedakan mereka.

Anggap saja dia memang tak sadar diri kalau terlalu fokus memperhatikan satu orang saja di antara mereka. Ini semua karena kemampuannya melihat musibah dan kematian lewat tatapan mata itu aktif begitu saja ketika menatap salah satu sahabatnya.

Bayangkan saja Halilintar seorang diri harus memperhatikan enam sahabatnya. Memangnya Halilintar bisa membelah diri untuk memperhatikan semuanya dalam waktu yang sama?

Halilintar merengkuh tubuh sahabatnya, tatapannya kosong, bau anyir darah menyengat menusuk ke dalam indra penciumannya.

"S-solar, bangun! Gue minta maaf, gue janji gak bakal pilih kasih lagi," gumam Halilintar sambil mengguncang pundak sahabatnya.

Pemuda bernetra ruby itu masih menatap kosong ke depan. Tak peduli dengan seragam putih abu-abunya yang sekarang terkena darah milik sahabatnya.

Blaze berlutut di aspal, dia merasa sesak napas melihat darah milik Solar. Awalnya Blaze memang tak pernah menganggap siapapun menjadi sahabatnya cuma karena sering bersama di kelas dan luar sekolah.

Sekarang dia baru menyadari betapa takutnya dia kehilangan seorang sahabat. Gempa di samping kanan Blaze mengusap pundak adik angkatnya itu, ada Duri juga di samping kiri Blaze, menepuk punggung abang angkatnya agar tenang.

Ice dan Taufan hanya bisa terdiam melihat kejadian beberapa menit yang lalu. Semua sahabatnya Halilintar berkumpul di sana, mereka berenam merasa tubuh mereka kaku ketika melihat Solar dalam keadaan seperti ini.

Genangan darah Solar di aspal membuat mata mereka terpaku di satu titik. Genangan darah itu semakin melebar perlahan. Bau amis darah menyengat, menusuk hidung Ice. Ia menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar, ingin sekali ia menyentuh Solar, tetapi rasa takut menghalanginya.

Taufan, yang berdiri di samping Ice, menunduk. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar sambil memegang lengan Ice dengan erat.

Dunia seakan berhenti berputar bagi Halilintar. Matanya terpaku pada wajah pucat Solar. Setiap hela napas Solar yang tersengal terasa seperti menusuk jantungnya. Air mata yang selama ini ia tahan kini mengalir, membasahi pipinya.

Halilintar merasakan dadanya sesak. Pemuda itu semakin erat memeluk tubuh Solar, seakan ingin menyalurkan seluruh kekuatannya untuk sang sahabat. Kepalanya yang tertunduk menempel di kepala Solar, merasakan suhu hangat tubuh sahabatnya.

"Kalian tenang dulu, sebentar lagi ambulans datang," kata Ice, mencoba membuat fokus para sahabatnya teralih.

"Y-ya, Solar bakal selamat. Lo semua jangan mikir negatif," kata Taufan, sedikit gagap karena dia merasa cemas.

"Blaze, jangan sampai kamu banyak pikiran sekarang! Ayo berdiri dulu, kita bantu pinggirin motornya Hali yang dipakai Solar tadi," kata Gempa, dia dan Duri membantu Blaze berdiri.

"Aku m-mau ambil topinya Solar dulu," kata Duri mencoba mengalihkan pandangannya dari Halilintar yang terlihat putus asa.

"Hali diam aja dari tadi," gumam Blaze, rasa sesaknya menghilang setelah beberapa menit.

Duri berjongkok perlahan, tangannya meraih topi Solar yang tergeletak tak jauh dari pemuda itu. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh kain lembut topi berwarna putih itu. Bau amis darah sangat kuat, membuatnya hampir muntah. Namun, ia berusaha keras untuk tetap tenang.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang