8. Please, hear me Blaze

195 26 6
                                    

Halilintar menghela napas panjang. Pikirannya semrawut, dia merasa lega karena berhasil mencegah Solar membaca pesan penuh kebencian itu, tapi dia juga merasa khawatir.

Halilintar memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, tetapi tetap saja sulit baginya untuk memejamkan mata. Halilintar memilih tidur di bawah sambil menunggu Solar, padahal Ice sudah menawarkan kamar tamu yang lain untuk sahabatnya itu.

"Lo belum tidur, Hali?" pertanyaan itu dari Ice, dia tiba-tiba masuk ke kamar tamu yang ditempati Solar.

"Belum, gue susah tidur, Ice."

Halilintar kebingungan melihat si pemilik rumah sedang memakai jaket musim dinginnya. "Lah, mau kemana jam 11 malam gini?" tanyanya.

Ice menguap sebelum menjawab, "Gue ada urusan penting."

Halilintar bangkit dari kasur kecil di atas lantai itu. "Sini dulu Ice!" serunya sambil mengibaskan tangannya.

Ice mau tak mau langsung menghampiri sahabatnya. Entah kenapa sahabatnya itu rutin memintanya juga teman-temannya yang lain ngobrol setiap saat sebelum keluar.

"Mau ngomong apa?" tanyanya, Ice menghela napas ketika Halilintar hanya melihat matanya saja.

"Nggak jadi, udah sana! Hati-hati di jalan." Halilintar melambaikan tangannya pada Ice.

Ice melirik sahabatnya, merasa heran karena tingkahnya agak aneh. "Iya," balasnya.

Setelah Ice pergi, Halilintar menghela napas lega. "Hari ini Ice nggak bakal kenapa-napa," gumamnya.

Dia tadi menggunakan kemampuannya saat menatap mata Ice. Namun, Halilintar tidak melihat apa-apa, itu artinya tidak akan ada musibah ataupun kematian yang akan menimpa Ice dalam waktu dekat ini.

Halilintar kebingungan karena kemampuannya membuatnya takut. Sekarang dia malah sering menggunakannya untuk menyelamatkan para sahabatnya.

Halilintar mencoba melakukan panggilan video ke nomor Gempa, dia tahu sahabatnya itu belum tidur karena terlihat online. Beberapa saat kemudian, Gempa mengangkat telpon itu.

"Assalamualaikum, Hali. Kenapa malam-malam begini telpon?" suara Gempa terdengar dari seberang.

"Waalaikumsalam. Ga apa-apa Gem, gue pengen lihat kalian bertiga," kata Halilintar, yang ia maksud adalah Blaze dan Duri juga.

Gempa mengarahkan kameranya kearah Duri. "Duri udah tidur. Kalau Blaze masih main game tuh," jawabnya sambil mengarahkan kameranya ke Blaze yang heboh bermain sambil memakan camilan.

"Heboh banget tu anak, sampai kagak tidur," gumam Halilintar.

Gempa hanya tersenyum mendengar gumaman sahabatnya itu, dia sudah biasa melihat adik angkatnya begadang main game.

Halilintar melihat Blaze yang masih fokus dengan gamenya dari layar panggilan video.

"Blaze, sini bentar!" seru Halilintar, suaranya sedikit meninggi.

Blaze yang sedang fokus pada permainan, langsung menoleh ke arah ponsel. "Apaan sih, Hali? Ganggu aja!" ucapnya kesal.

"Blaze jangan gitu," tegur Gempa sambil menggeleng pelan.

"Sini dulu, gue mau ngomong penting," pinta Halilintar.

Blaze dengan malas mendekati ponsel. "Cepetan, gue lagi seru nih mainnya."

Halilintar menghela napas. Dia tahu sifat sahabatnya itu. "Lihat sini!" perintahnya, lalu Gempa mengarahkan kameranya ke wajah Blaze.

Blaze menatap malas ke arah kamera. "Apaan sih, Hali?" tanyanya lagi.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang