"Ayo, kita ke rumah gue," ajak Halilintar.
Ice terlihat bingung, tetapi ia mengikuti Halilintar. Mereka berlari di tengah hujan, berusaha secepat mungkin sampai di rumah Halilintar. Sesampainya di rumah, Halilintar mengajak Ice masuk dan memberikannya handuk dan pakaian untuk diganti.
"Terima kasih," kata Ice sambil tersenyum.
Halilintar hanya mengangguk. Ia tidak ingin menceritakan tentang kemampuannya pada Ice. Ia takut Ice akan menganggapnya aneh. Mereka menghabiskan malam bersama. Mereka berbicara tentang sekolah mereka. Halilintar merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Ice. Namun, bayangan tentang penculikan yang akan menimpa Ice terus menghantuinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegahnya.
Ice melihat jam tangannya dengan raut wajah takut. "Eh, hujannya udah terang. Gue pulang dulu," ujarnya, suaranya sedikit bergetar.
"Jangan pergi! Nginap aja," kata Halilintar sambil melihat ke mata Ice.
Bayangan Ice yang akan diculik masih bisa dilihat olehnya, Halilintar ingin selama mungkin menahan teman barunya agar tidak pergi hari ini. Ice terdiam sejenak lalu dia memilih untuk menuruti ucapan teman barunya itu, besok dia izin tidak masuk sekolah sajalah kalau dia menginap di rumahnya Halilintar.
Halilintar merasa tenang ketika Ice sudah ketiduran di kasur lainnya yang dia sediakan, sedangkan dia menatap cermin, Halilintar melihat adegan di mana ayahnya akan melempar botol alkohol kepadanya besok pagi. Semoga saja, Ice besok sudah pulang ketika hal itu terjadi.
Tatapan Halilintar menajam sebentar ketika melihat tambahan adegan di masa depan yang akan menimpanya, dia berpikir lebih baik besok menghindari kejadian itu saja dengan cara bangun lebih pagi dan pergi ke sekolah sambil mengajak Ice cepat-cepat pergi dari rumahnya.
Pagi harinya, Halilintar terbangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin kejadian buruk menimpa Ice, apalagi ayahnya saat ini berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Dengan hati-hati, ia membangunkan Ice. "Ice, bangun. Kita harus pergi sekarang," bisik Halilintar.
Ice yang masih mengantuk mengerjapkan matanya. "Kenapa? Kenapa buru-buru?" tanyanya sambil mengucek matanya.
"Ada urusan penting," jawab Halilintar singkat. Ia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.
Mereka bergegas keluar rumah. Halilintar sedikit lega karena ayahnya belum bangun. Matahari mulai merangkak naik, menyinari bumi dengan sinarnya yang hangat. Embun pagi masih menempel pada dedaunan, berkilauan bak permata. Halilintar mengantar Ice menuju rumah megahnya. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir mereka. Pikiran Halilintar berkecamuk, memikirkan nasib Ice dan tentu saja nasib dirinya.
Sesampainya di depan pintu, Halilintar mengetuk pelan. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. "Selamat pagi, Nak," sapanya ramah ketika melihat Halilintar lalu pandangannya beralih pada Ice. "Astaga Tuan muda Ice. Masuklah."
Halilintar tersenyum tipis. "Selamat pagi, Bu. Saya Halilintar, teman Ice."
"Oh, ya. Silakan masuk, Nak." ujar wanita itu mempersilakan.
Halilintar masuk dan duduk di ruang tamu. Ia mengamati sekeliling ruangan. Rumah Ice sangat besar dan mewah. Perabotan yang ada di dalamnya pun terlihat mahal dan berkelas.
"Bu, bolehkah saya duduk sebentar di sini?" tanya Halilintar.
"Tentu saja, Nak. Silakan saja."
Sambil menunggu Ice yang masuk ke kamarnya, Halilintar berbincang-bincang dengan wanita itu. Ia mengetahui bahwa wanita itu adalah pembantu di rumah Ice. Mereka mengobrol tentang banyak hal, mulai dari cuaca pagi hingga aktivitas Ice.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)
FanficGue nggak mau lihat kematian orang lagi - Halilintar. (Sampul art nya dari : BTSarmy95Hali_V) Cast : 1. Halilintar Raiden (Hali) 2. Taufandra (Taufan/Fandra) 3. Gempa Alaaya Aditya (Gempa/Adit) 4. Azrael Blaze Nova (Rael/Blaze) 5. Ice Eisner Alvion...