Halilintar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pemuda bernetra ruby itu merasa canggung karena sudah keceplosan. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Gempa dan Blaze jika tahu tentang kemampuannya.
"Maksud lo apa, Hali?" tanya Gempa penasaran.
Halilintar menghela napas. "Gue ... Gue punya kemampuan bisa melihat musibah dan kematian yang akan datang lewat tatapan mata."
Gempa masih menutup hidung Blaze dengan dasinya, dia terdiam sejenak. "Jadi kamu sejak awal kenal sampai sekarang itu sering gunain kemampuanmu ke kami ya? Makanya kamu jadi over protektif ke kami?" tanyanya.
Halilintar mengangguk pelan. "Iya, gue selalu khawatir kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada kalian semua. Makanya gue selalu berusaha melindungin kalian."
Gempa dan Blaze terdiam. Mereka tidak menyangka kalau selama ini Halilintar memiliki kemampuan seperti itu. Selama ini mereka mengira bahwa Halilintar hanya terlalu protektif terhadap mereka.
Gempa menatap dalam ke mata ruby Halilintar. Hatinya terasa hangat mendengar pengakuan sahabatnya itu. Selama ini, ia selalu merasa ada yang berbeda pada Halilintar. Ternyata, Halilintar memiliki alasan tersendiri mengapa ia selalu bersikap seperti itu.
"Makasih udah ngelindungin kita, Hali," ucap Gempa.
Halilintar tersenyum. "Sama-sama, Gem."
Setelah pengakuan Halilintar, suasana di antara mereka bertiga menjadi lebih hangat. Mereka saling berbagi cerita tentang kemampuan masing-masing. Blaze menceritakan bagaimana ia bisa menghipnotis orang, sementara Gempa bilang kalau dia tidak punya kemampuan.
Setelah kejadian di perpustakaan dan pengakuan Halilintar, ketujuh sahabat itu mulai menyadari bahwa mereka memiliki ikatan yang lebih kuat dari sekadar persahabatan biasa. Mereka adalah sekelompok remaja dengan kemampuan yang saling melengkapi.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Taufan. Taufan sudah menyiapkan berbagai macam makanan ringan dan minuman untuk menyambut kedatangan teman-temannya.
"Fan, di rumah lo udah nggak ada yang nyakitin lo lagi?" Halilintar bertanya dengan hati-hati.
"Uhm, mereka nggak pulang, jadi gue bakal aman-aman aja selama beberapa hari ini." Taufan tersenyum lebar, dia memberikan camilan pada Halilintar.
Pemuda bernetra ruby itu menerima camilan yang disodorkan Taufan. "Makasih."
Solar melirik Halilintar, dia sepanjang hari cemberut karena Halilintar tidak meminta maaf padanya.
"Kenapa tuh mulut maju lima centi?" Blaze bertanya sambil menahan tawanya.
"Diem!"
Blaze tak kuasa lagi menahan tawanya, dia langsung menepuk punggung Halilintar agar menoleh kearahnya.
"Duh sakit! Apaan?"
Halilintar mengernyit ketika Blaze melirik Solar yang menatapnya dengan wajah cemberut.
"Ah, gue lupa ...," gumamnya.
"Maaf Solar, waktu itu gue lihat masa depannya Gempa bakal ada musibah gitu. Jadi, gue pengen lindungin Gempa."
Halilintar menjelaskan sambil menyodorkan camilan pada sahabatnya itu. Solar segera menyambar camilan itu tanpa melihat Halilintar.
"Oke."
Mendengar Solar menjawab, Halilintar merasa lega. Di samping Blaze terlihat Duri lemas, dia bersandar di sofa dan ditemani Gempa, abangnya.
Blaze yang melihat itu mulai khawatir. "Duri kenapa?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)
FanficGue nggak mau lihat kematian orang lagi - Halilintar. (Sampul art nya dari : BTSarmy95Hali_V) Cast : 1. Halilintar Raiden (Hali) 2. Taufandra (Taufan/Fandra) 3. Gempa Alaaya Aditya (Gempa/Adit) 4. Azrael Blaze Nova (Rael/Blaze) 5. Ice Eisner Alvion...