4. Taufandra

230 34 17
                                    

Waktu seolah membeku saat tatapan mereka bertemu. Halilintar terperangkap dalam kedalaman mata Solar, sebuah cerminan jiwa yang terluka dan penuh keputusasaan. Di balik matanya itu, tersirat bayangan kematian yang begitu nyata.

Dalam sekejap, ingatan akan penglihatan sebelumnya kembali menyeruak. Detik demi detik, Halilintar menyaksikan ulang momen tragis itu. Solar, tubuhnya tergantung lemah, wajahnya pucat pasi.

Halilintar memegang erat gerbang yang baru saja dibuka oleh Solar. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahinya. Ia merasakan sebuah kejadian yang mengerikan setiap kali melihat mata Solar.

Solar akan mengakhiri hidupnya entah kapan waktunya.

"Agni ...," lirih Halilintar, suaranya serak.

Solar terkesiap, menatap Halilintar dengan tatapan penuh tanya. Namun, sebelum Solar sempat bertanya, Halilintar telah berlari mendekatinya.

"Jangan lakuin itu!" teriak Halilintar, mencengkram lengan Solar yang gemetar.

Solar berusaha melepaskan diri, Halilintar menahannya erat. "Lepasin gue!" jerit Solar.

"Gue nggak akan ngebiarin lo kenapa-kenapa!" ucap Halilintar dengan tegas.

Solar tersentak kaget, dia mencoba mengatur napasnya agar tidak terlalu cepat. "Tangan gue sakit," katanya.

Halilintar segera melepaskan cengkramannya pada lengan Solar.

"Lo nggak ngerti apa-apa!" ucap Solar, suaranya bergetar.

Halilintar menatap dalam ke mata Solar. "Gue tau lo lagi sakit. Tapi lo nggak sendirian. Gue ada buat lo."

Solar terdiam, dia mulai luluh. Ia merasakan ada setitik harapan yang tumbuh di dalam dirinya.

"Tapi, apa yang bisa lo lakuin?" tanya Solar sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Gue akan selalu ada buat lo. Kapanpun dan di manapun."

Solar menatap Halilintar dengan penuh keraguan. Namun, perlahan-lahan, ia mulai percaya pada kata-kata Halilintar.

"Gue janji, gue akan nolongin lo," ucap Halilintar.

Solar mengangguk pelan. Ia merasa hatinya sedikit lebih tenang.

Hari-hari berikutnya, Halilintar sering berkunjung ke rumah Solar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membuat Solar merasa lebih baik. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan berbagai aktivitas, mulai dari belajar bersama, bermain game, hingga sekadar duduk-duduk sambil mengobrol.

Suatu hari, Halilintar mengajak Solar untuk bermain ke rumahnya Ice. Di sana, Solar diperkenalkan pada Ice. Ketiganya pun menjadi akrab. Mereka menghabiskan waktu dengan belajar main basket di halaman belakang rumahnya Ice.

"Kalian boleh manggil gue Solar, Agni itu panggilan gue kalau di rumah," kata Solar tiba-tiba setelah Ice membawakan jus buah padanya.

Halilintar dan Ice menjawab secara bersamaan, "Oke."

"Nggak nyangka bentar lagi kita SMA," kata Solar.

Ice mengangguk. "Kita lebih baik satu SMA aja nggak sih? Biar ketemu tiap hari," ujarnya.

Halilintar hanya mengangguk setuju dengan ucapan Ice. Dia menyembunyikan luka pada kepalanya dengan topi.

Kemarin sang ayah benar-benar memukulnya dengan botol alkohol. Halilintar bersyukur karena kejadian yang dia lihat dari penglihatan matanya saat bercermin tidak terjadi saat Ice menginap di rumahnya dulu.

Solar melihat Halilintar seperti menyembunyikan sesuatu, tetapi dia ragu untuk bertanya karena dia merasa Halilintar khawatir kalau Ice tahu.

Hari mulai gelap ketika Halilintar berjalan pulang seorang diri. Jalanan sepi, hanya beberapa lampu jalan yang menerangi kegelapan. Pikirannya melayang pada Solar dan Ice. Ia merasa bersyukur memiliki dua orang teman yang begitu baik.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang