29. Kena mental gak tuh?

143 28 44
                                    

Halilintar berdiri di belakang gedung sekolah, mencoba menenangkan diri setelah kejadian semalam. Di sampingnya, ada Blaze yang wajahnya masih pucat dan matanya sedikit berair. Hali tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Lo tahu gak sih, Blaze? Lo udah bikin gue khawatir kemarin," ujar Halilintar.

Blaze mengangkat bahu. "Gue tahu, Hali. Tapi itu cuma kesalahan sepele," jawab Blaze, suaranya datar.

"Kesalahan sepele? Lo mabuk, Blaze! Lo tahu apa konsekuensinya?" Halilintar melanjutkan.

Blaze mendengkus. "Gue udah bilang, itu cuma sekali. Lagipula, siapa yang peduli?" ucapnya dengan nada meremehkan.

Halilintar menatap Blaze dengan sinis. "Gue peduli! Lo tahu apa yang terjadi kalau lo terus-terusan kayak gini? Gempa sama Duri bakal sedih lihat saudaranya kayak gini," katanya.

Blaze menggigit bibir bawahnya, sial, kenapa harus membawa nama kakak dan adiknya Blaze sih? Dia kan jadi merasa bersalah karena sering pulang dalam keadaan seperti itu.

Blaze mendengkus kasar sebelum melangkah pergi, Halilintar menghela napas sebelum berlari mengejar Blaze. Parah sekali temannya itu, padahal Halilintar baru saja menggunakan kemampuannya untuk melihat musibah yang akan menimpa Blaze di masa depan lewat tatapan mata.

Halilintar terus mengejar Blaze yang berjalan dengan langkah cepat. Ia ingin sekali membuat sahabatnya itu sadar akan kesalahannya. Namun, sebelum ia berhasil meraih tangan Blaze, sebuah dahan kayu besar tiba-tiba patah dan hampir menimpa mereka berdua.

Dengan refleks, Halilintar mendorong Blaze menjauh dari bahaya. Namun, karena dorongan yang kuat itu, mereka berdua terjatuh dengan keras. Blaze terduduk di tanah dengan telapak tangannya yang sedikit perih karena menahan tubuhnya agar wajahnya tak menghantam tanah, sedangkan Halilintar hanya bisa meringis kesakitan karena kakinya terkilir.

"Lo kenapa sih, Hali?" tanya Blaze, matanya melirik dahan kayu yang nyaris saja mengenai Halilintar jika dia hanya mendorong Blaze saja.

Halilintar menatap Blaze tajam. "Lo lihat sendiri kan? Kalau tadi gue nggak dorong lo, mungkin sekarang lo udah jadi pancake!" bentaknya.

Blaze terdiam. Ia merasa bersalah karena telah merepotkan Halilintar lagi. Namun, di sisi lain, ia juga merasa kesal karena Halilintar selalu saja menyalahkannya.

"Gue nggak minta lo nyelamatin gue," ucap Blaze dengan ketus.

Halilintar menghela napas panjang. "Lo bodoh, Blaze! Gue nyesel udah peduli sama lo!" teriaknya.

Blaze berdiri dan menatap Halilintar dengan marah. "Lo juga nggak usah sok peduli sama gue! Biarin aja kalau gue kenapa-napa!" balasnya.

Mereka berdua saling menatap dengan tatapan penuh kebencian. Seolah-olah persahabatan mereka sudah berakhir sampai di sini.

"Lo pikir gue mau peduli sama lo? Gue cuma nggak mau nyesel seumur hidup karena udah ngebiarin sahabat sendiri kenapa-napa!" ucap Halilintar.

"Sahabat? Lo pikir kita masih sahabat?" tanya Blaze dengan nada mengejek.

Halilintar terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Pemuda itu merasa sangat lelah dengan sikap Blaze yang selalu saja keras kepala.

"Lo pergi sana! Gue nggak mau ngelihat muka lo," lanjut Blaze.

Tanpa menunggu jawaban dari Halilintar, Blaze langsung berlari meninggalkan Halilintar yang terduduk sendirian di tanah. Halilintar hanya bisa menatap kepergian Blaze.

Halilintar mencoba berdiri. Namun, kakinya terasa sangat sakit. Pemuda itu memukul tanah sambil mendengkus kasar ketika dia jatuh terduduk di tanah lagi. "Kaki gak bisa diajak kerja sama, padahal gue masih mau ngejar si Blaze," gumamnya.

Tatap Mataku (Halilintar fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang