25MPdL

182 34 1
                                    

"Astaaa bagaimana inii?" rengekan terbata-bata Awan mengiris sendu kabut dingin malam ini. Tubuhnya limbung pada sofa ruang keluarga menanti kabar dari Ray yang pergi lebih 5 jam lamanya.

Berlebihan memang. Namun setelah perdebatan tadi, otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak.

Handphone sedari tadi tak lepas dari genggaman Awan dengan log panggilan yang terus tersambung pada Asta.

'Nikmati aja dulu, jadiin buat pelajaran'

Bukan lagi solusi yang keluar dari mulut Asta, dirinya sudah jengah dengan tingkah sahabat bodohnya itu. Selalu alasan, begini-begitu. Sungguh membosankan, jadi pilihan nya jatuh dengan tak membela sahabatnya itu.

"Tapi Ray, ko ngga pulang-pulang ya Asta! Ungh! Awan bingung" ujar si manis dengan menggigit-gigit resah kuku ibu jari nya.

'Dari kemaren kemana aja lo?! Udah kaya gini aja nangis-nangis! GOBLOG!'

Ocehan Asta tak terhenti disitu saja, mulut nya sedari tadi mencacimaki kebodohan sahabat nya.

'Gausah lebay! Baru ditinggal beberapa jam aja dah mewek! Orang aneh! Diaksih yang lembut penuh kasih sayang. Malah banyak bertingkah!'

'Dominan lo itu dah makan belum! Daripada mewek ngga jelas mending masakin sesuatu buat dia!— eunghh apasih kakkk ih!' lenguhan akhir kalimat Asta spontan membuat Awan terdiam.

Ia melupakan fakta bahwa kondisi Asta tak jauh berbeda dari nya, namun lebih baik. Pemikiran sahabat nya itu lebih simpel dari nya, Asta lebih memilih melanjutkan pendidikan nya di universitas dalam negeri.

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Asta begitu saja, meninggalkan sahabat nya yang masih saja dengan rengekan nya meratapi hidup nya.

Jam termakan menit bersama dengan detik, sayup-sayup netra jernih itu mula teredam air mata mulai sayu kantuk menyambut tubuh nya yang letih.

Sunyi ruang utama depan, menjadi begitu dingin memeluk tubuh kecil yang semakin meringkuk bulat di atas sofa. Wallpaper handphone menyala indah menampilkan seorang dominan yang berbalut jas kerja nya, aura nya tegas, wajah terlihat serius dengan mata yang seolah membidik lensa lensa kamera.

Suara langkah sepatu mendekat menepi di samping sofa, Ray menekuk lutut nya wajah nya yang kembali kaku menatap dalam diam si manis kelopak mata nya mengerat beberapa saat sepertinya sedang bermimpi buruk.

Helaan napas kasar Raycane menerpa kembali pipi si manis. Setelah nya berdiri, berlalu meninggal kan Awan begitu saja. Kepedulian nya kian menipis termakan kesabaran yang ia berikan selama ini. Entah lah.

****

Di lain sisi, Dean kembali sibuk dengan huru-hara pemindahan berkas yang anaknya pinta agar segera di alihkan kembali.

"Tenggat waktu dalam berkas perjanjian yang disetujui putri Bapak masih sekitar satu bulan lagi jika dihitung dari sekarang, dari pihak kami pun tak bisa begitu saja menyetujui ide ini. Untuk hal yang secara mendadak, kami tidak mempunyai hak untuk menyetujui nya"

Dean berdesis lirih mendengar penuturan pengacara keluarga Lucas. Satu bulan? Ia harap itu bukan neraka untuk anaknya, apalagi yang utama nya Awan, menantu nya.

"Percuma berbicara dengan mu, yang pada akhirnya sama saja. Namun untuk keamanan kedua nya aku mengambil tindakan—" ucapan Dean terpotong sebelum melanjutkan nya.

"Jangan pantau anak ku. Lepaskan ia dari bidikan merah yang menghantui setiap langkah nya. Kalian terlalu gila"

Asad terdiam. Tak menyangka bahwa seseorang di depan nya mengetahui tindakan dari pihak Lucas selama ini.

Jemari Asad mengait telinga mug kopi kemudian meneguk nya perlahan.

"Kau menggenggam putri ku, dan aku menggenggam keluarga mu. ASAD ZAIDANE COLLINE. Camkan hal itu Pak pengacara yang terhormat"

Dean berdiri dari duduk nya, menyingkap helaian coat tebal hitam selutut nya dengan sombong. Angkuh, begitulah kesan yang dirinya bawa. Lalu berjalan keluar dari area Cafe.

"Dasar pria seenaknya! Memang nya aku ini tak pusing memikirkan tindakan-tindakan selanjut nya. Cinta? Cih! Makan saja untuk dirimu sendiri Pak tua otoriter! Sedih nyaaa, Mamaaa" rengek nya, menumpuk beberapa map tebal yang mengurung masa muda nya dengan berbagai masalah.

****

Ray terkapar kosong diatas ranjang, memikirkan betapa semrawut hidup nya akhir-akhir ini. Terlalu stres untuk dikatakan cukup baik.

"Sudahlah Ray, mari tidur. Semoga besok menjadi lebih baik" ungkap nya memberi wejangan pada diri sendiri.

Tak ayal ia mencoba menekankan pada dirinya sendiri untuk bersikap biasa saja dan sekena nya pada Awan.





Ada yang punya tele? Kaya nya lucu kalo bisa ngobrol disana bareng kalian.

1 secret chapter

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANOTHER Marriage (FEMDOM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang