Setiap luka yang di ciptakan secara fisik tentu nya akan sembuh. Namun tidak dengan luka yang di ciptakan secara mental, luka mental akan selalu membekas sampai kapanpun.
—Kinan Rena Pradipta—
✧✧✧
Hari mulai semakin sore, dan jalanan Jakarta yang semula lengang kini penuh sesak oleh kendaraan yang saling berebut ruang. Gibran melajukan motornya perlahan, menyesuaikan diri dengan kepadatan lalu lintas. Ia baru saja selesai sekolah, dan rumah menjadi satu-satunya tujuan di benaknya saat ini. Meski badannya lelah, pikirannya terus saja dipenuhi oleh hal-hal yang tidak bisa ia jelaskan.
Saat ia mendekati lampu merah, pandangannya tersapu ke arah tepi jalan. Di sana, ada seorang anak kecil, kira-kira berusia lima atau enam tahun, yang terlihat panik. Ia berjongkok, berusaha mengambil beberapa jeruk yang terjatuh dari kantong plastiknya. Di sisi lain jalan, Gibran melihat seorang anak laki-laki lain, mungkin sedikit lebih tua dari anak pertama, berlari ke arah si bocah yang sedang mengambil jeruk. Gibran langsung merasa ada yang tidak beres.
Terlalu cepat.
Sebuah mobil sedan hitam melaju dengan kecepatan tinggi, tak peduli pada anak-anak yang sedang berada di pinggir jalan. Gibran, yang menunggu lampu merah berganti, mulai merasakan detak jantungnya meningkat. Ia melihat si anak yang berlari tadi mendekat dengan cepat ke arah anak yang berjongkok. Tanpa ragu, anak itu mendorong si bocah kecil ke samping, menyelamatkannya dari lintasan mobil. Namun, tubuh anak yang menyelamatkan itu tak sempat menghindar. Mobil itu melaju dengan kecepatan yang tak terhentikan—dan dalam sekejap, terdengar suara benturan keras.
Gibran terdiam. Waktu terasa berhenti.
Jeritan menggema di kepalanya. Jeritan yang sangat ia kenal.
Suara di sekitarnya memudar, hanya menyisakan dengungan yang menusuk telinga. Matanya terpaku pada tubuh anak kecil yang tergeletak di jalan, tanpa gerak. Orang-orang mulai berteriak, berkerumun di sekitar anak itu, namun bagi Gibran, semuanya seperti pemandangan yang kabur. Ia sudah pernah melihat ini sebelumnya. Bayangan masa lalu itu kini datang kembali tanpa ampun, mengisi setiap sudut pikirannya.
Suara benturan keras itu. Jeritan minta tolong. Darah.
Dadanya terasa sesak. Napasnya mulai tak teratur. Ia merasakan tubuhnya gemetar, seperti sedang berada di tengah mimpi buruk yang tak pernah usai. Tangannya mencengkeram erat setang motor, namun tidak ada kekuatan yang cukup untuk menggerakkannya.
"Tolong... tolong aku..." suara rintihan terdengar di kepalanya, menggema, membuat pikirannya semakin kacau. Itu bukan suara anak di jalan. Itu suara dari masa lalu, dari seseorang yang ia coba lupakan.
Lampu lalu lintas berganti hijau, namun Gibran tetap diam. Motor-motor di belakangnya mulai membunyikan klakson, namun suara itu tidak lagi masuk ke kesadarannya. Gibran hanya bisa memejamkan mata, berharap semua ini berhenti. Namun setiap kali ia menutup mata, gambarannya justru semakin jelas. Kenangan itu kembali menyerangnya, tanpa ampun.
✧✧✧
Gibran menutup pintu kamar dengan bunyi klik yang pelan, tapi di telinganya, suara itu terdengar seperti gemuruh yang menggema. Tangannya yang masih gemetar meraih kunci, memutarnya dengan perlahan hingga pintu terkunci rapat. Tidak ada yang bisa masuk. Tidak ada yang boleh melihatnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Pintu
Teen Fiction"cemara adalah kebohongan bagi seorang anak broken family." -Gibran Wijaya Pradipta Menurut mereka rumah adalah tempat untuk berpulang dimana mereka akan di sambut dengan pelukan dan tepukan yang lembut. Tapi itu tidak berlaku bagi Gibran. Rumah ad...