"Di antara semua kata yang pernah kupikirkan, senyummu yang tertahan adalah satu-satunya yang paling sulit kuterjemahkan."
-Gibran Wijaya Pradipta-
✧✧✧
Keesokan hari setelah kejadian itu, Kinara tidak lagi menghubungi Gibran, meskipun Gibran sudah menawarkan untuk memenuhi apapun yang Kinara inginkan. Suasana kelas terasa semakin sunyi saat ulangan harian matematika dimulai. Bunyi kertas yang dibalik dan keluhan dari anak-anak murid mengisi ruangan.
Di pojok kelas, Gibran tampak gelisah. Ia menatap lembar ulangan dengan fokus, namun pikirannya tidak bisa lepas dari apa yang terjadi. Tiba-tiba, suara Andhika teman sekelasnya memecah kesunyian.
"Anjir, soal nomor tiga bikin gue pusing aja," keluh Andhika, teman sebangku Gibran, sambil mengacak-acak rambutnya.
Gibran mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari soal. "Iya, emang susah. Tapi kita harus coba sebaik mungkin buat kerjain."
Andhika menatap Gibran dengan rasa ingin tahu. "Lo kelihatannya ke ganggu, Gib. Kenapa? Baru-baru ini lo sering ngelamun."
Gibran menghela napas. "Gak ada apa-apa. Cuma mikirin hal-hal pribadi aja," jawab Gibran sengena nya. Perihal kejadian kemarin Gibran tidak ingin ada seseorang yang tahu lagi kecuali Rafa saja. Sedangkan Rafa yang duduk di belakang Gibran dan mendengar perbincangan antara Gibran dan juga Andhika pun hanya bisa menahan tawa nya.
Guru matematika, Pak Ardi, yang berdiri di depan kelas, mendengar percakapan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya dari papan tulis dan mendekati meja Gibran. "Ada masalah, Gibran?"
Gibran sedikit terkejut dan menjawab, "Enggak, Pak. Saya cuma sedikit bingung dengan soal-soal ini."
Pak Ardi mengangguk, kemudian berkata dengan nada yang menenangkan. "Kalau ada yang membingungkan, jangan ragu untuk bertanya. Ulangan ini penting, tapi memahami materi jauh lebih penting."
Gibran mengangguk dan berusaha untuk fokus kembali. "Baik, Pak. Terima kasih."
Pak Ardi kembali ke mejanya, memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk menyelesaikan ulangan mereka. Gibran mencoba menenangkan pikirannya dan memusatkan perhatian pada soal yang ada di depannya, meskipun ketidakpastian mengenai hubungan dengan Kinara masih membayangi pikirannya.
✧✧✧
Bel istirahat berbunyi, dan kelas XI IPA 2 langsung dipenuhi keramaian saat murid-murid berbondong-bondong keluar untuk mencari makan. Suasana kelas yang sebelumnya hening kini berubah menjadi gaduh dengan suara obrolan dan tawa. Beberapa murid tetap berada di kelas, terutama yang ingin melihat pesona para anggota Cariozz yang terkenal.
Kenzo, dengan wajah yang masih tampak lelah dari ulangan, mengeluh, "Anjir lah, soal-soalnya susah bener, jadi pengen makan guru nya."
Renda, yang duduk di sebelahnya, mengangkat alis. "Emang berani?"
Kenzo menyeringai, "Kagak lah!"
Gilang, yang duduk di barisan belakang, ikut menyahut dengan nada mengejek, "Najong! Ngomong doang, tapi nggak berani dilakuin."
Beberapa teman sekelas tertawa mendengar percakapan tersebut. Rafa, yang duduk di belakang Gibran, menatap Gibran dengan rasa ingin tahu. "Gib, lo mau ikut keluar?," tanya Kenzo pada Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Pintu
Fiksi Remaja"cemara adalah kebohongan bagi seorang anak broken family." -Gibran Wijaya Pradipta Menurut mereka rumah adalah tempat untuk berpulang dimana mereka akan di sambut dengan pelukan dan tepukan yang lembut. Tapi itu tidak berlaku bagi Gibran. Rumah ad...