"Jika bisa memilih ingin keluarga yang harmonis atau hancur. Aku lebih memilih untuk tidak di lahirkan ke dunia, sebab rasa sakit yang semesta akan sangat terasa berkali-kali lipat sakit nya."
—Kinara Lavender—
✧✧✧
Kinara berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya terasa berat seolah tertancap di lantai dingin. Matanya menyapu ruangan dengan hati yang terluka saat matanya melihat sosok seseorang, memperhatikan setiap detail yang begitu akrab namun kini tampak asing. Meja tua yang biasanya menjadi saksi kebersamaan keluarganya kini hanya menjadi saksi bisu dari penderitaan yang berkepanjangan. Sofa usang di sudut ruangan masih tetap sama, tapi aura yang mengelilinginya berubah kelam dan suram.
Sesaat ia hanya bisa terdiam, tubuhnya terasa kaku. Hatinya mencelos melihat ibunya yang duduk terpuruk di lantai, wajahnya penuh dengan kesedihan yang begitu mendalam. Isakan ibunya, yang meski pelan namun menusuk, seolah menjadi lagu sedih yang tiada habisnya. Kinara ingin mendekat, ingin menenangkan, tapi rasa takut dan kecewa menahannya. Sejak kapan rumah ini, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, berubah menjadi sarang penderitaan?
Pandangan Kinara lalu beralih ke sosok ayahnya yang berdiri tegak, seolah tak terganggu oleh apa yang terjadi. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya ada kelelahan dan rasa jengkel, seakan konflik ini adalah beban yang ia tanggung, bukan sesuatu yang ia sebabkan. Di sebelah ayahnya, wanita itu—istri baru ayahnya—berdiri dengan senyum sinis yang membuat hati Kinara semakin panas. Wanita itu bukanlah bagian dari hidup mereka, tapi kini ia berdiri di tengah rumah, seakan telah menguasai segalanya.
Kinara merasakan rasa sesak di dadanya semakin kuat. Sejak kehadiran wanita itu, kehidupan mereka tak lagi sama. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh cinta kini telah berubah menjadi serpihan yang berantakan, tak lagi bisa dikenali. Setiap kali Kinara pulang, bukan rasa nyaman yang ia rasakan, melainkan kehampaan dan ketidakpastian.
Perlahan, tangan Kinara mengepal erat. Ia merasa harus melakukan sesuatu, tapi tubuhnya terasa lemah. Amarah yang berkecamuk dalam dirinya bercampur dengan rasa tak berdaya. Setiap kata yang ingin ia ucapkan terasa tercekik di tenggorokan, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.
"Kenapa kalian selalu memaksakan sesuatu pada Ibu?" tanya Kinara akhirnya, suaranya gemetar meski ia berusaha terdengar tegas. Kata-kata itu keluar dengan berat, namun ia tahu bahwa ia harus mengatakannya. Ini bukan pertama kalinya ia melihat ibunya diperlakukan seperti ini. Sudah terlalu sering, terlalu banyak malam di mana ia mendengar suara ibunya menangis pelan di kamarnya, namun kali ini ia tidak bisa lagi berdiam diri.
Saat ayahnya mulai berbicara, nada suaranya membuat Kinara merasa semakin jauh. Kata-kata ayahnya terasa dingin, seolah-olah hati di dalam dadanya telah mati. Kinara berusaha keras untuk tetap mendengarkan, namun ia merasa setiap kalimat itu hanyalah alasan yang tak berarti.
Sementara wanita di sebelahnya—istri baru ayahnya—berbicara dengan senyum mengejek, seolah-olah ia tahu lebih banyak daripada siapa pun di ruangan itu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti racun bagi Kinara. Dia tidak akan pernah mengerti rasa sakit yang mereka alami, apalagi ibunya. Wanita itu adalah penyebab kehancuran ini, dan kini dia berdiri dengan percaya diri, seolah-olah dialah yang benar.
Kinara mengalihkan pandangannya ke arah ibunya lagi. Melihat ibunya yang tertunduk dengan air mata yang tak henti mengalir, Kinara merasa hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana bisa seorang ibu yang begitu kuat, yang dulu selalu tersenyum meski dalam keadaan sulit, kini terlihat begitu lemah dan tak berdaya?
Setiap kali ia memikirkan masa lalu, ingatan tentang keluarganya yang harmonis terasa semakin jauh. Mereka dulu adalah keluarga yang bahagia, saling mendukung dan menguatkan. Ibunya selalu menjadi pilar, seseorang yang selalu bisa diandalkan. Tapi sekarang, wanita itu telah menggantikan posisinya. Dan yang paling menyakitkan bagi Kinara adalah kenyataan bahwa ayahnya membiarkan hal itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Pintu
Ficção Adolescente"cemara adalah kebohongan bagi seorang anak broken family." -Gibran Wijaya Pradipta Menurut mereka rumah adalah tempat untuk berpulang dimana mereka akan di sambut dengan pelukan dan tepukan yang lembut. Tapi itu tidak berlaku bagi Gibran. Rumah ad...