"Gue lari, bukan karena gue pengecut. Tapi karena gue gak tau ke mana lagi harus pulang."
—Gibran Wijaya Pradipta—✧✧✧
Gibran duduk di atas motornya yang terparkir di pinggir jalan, matanya memandangi aspal yang basah oleh sisa hujan. Tetesan air yang masih turun dari langit tak sebanding dengan hujan yang mengguyur di dalam pikirannya. Dia menarik napas dalam-dalam, namun udara seakan tak cukup untuk mengisi rongga dadanya yang sesak.
"Gue lari, bukan karena gue pengecut. Tapi karena gue gak tau ke mana lagi harus pulang."
Suara di kepalanya bergema, mengingatkan bahwa tak ada satu pun tempat di dunia ini yang benar-benar bisa membuatnya merasa aman. Rumah, sekolah, bahkan sosok Kinan yang biasanya menjadi pelarian, semua terasa jauh dan hampa. Pelarian ini hanya membawa dia lebih dalam ke dalam labirin pikirannya sendiri.
Motor itu belum bergerak, tapi pikirannya berlari—tak tentu arah. Mencoba menemukan celah, berharap ada jalan keluar dari semua ini. Trauma itu menghantamnya lagi, seperti badai yang datang tanpa peringatan, menghempaskannya ke dalam kegelapan.
Gibran memejamkan mata, mendengarkan hujan yang mulai mereda, tetapi ketakutan dalam dirinya justru semakin menderu. Dia menggenggam erat setang motor, menahan gemetar di tangannya. Setiap detik terasa semakin berat, seolah waktu enggan bergerak dan malah mengunci dirinya dalam momen ini.
Dalam diam, dia mulai bertanya-tanya, "Apa gue bakal terus lari kayak gini? Sampai kapan?" Tapi tak ada jawaban. Karena di antara semua jalan yang dia tempuh, tak ada yang memberinya arah. Semua jalan tampak sama—tak berujung.
Setelah beberapa menit terdiam, Gibran mulai merasa canggung dengan kehadiran Kinara yang masih duduk di sampingnya. Namun, berbeda dengan perasaan canggung yang biasanya dia rasakan ketika bertemu orang lain, canggung kali ini terasa lebih hangat—seolah keberadaan Kinara tak memaksa, tapi juga tidak sepenuhnya lepas.
"Lu gak pulang?" Gibran akhirnya membuka percakapan, meski hanya untuk memecah keheningan.
Kinara menoleh, bibirnya melengkungkan senyum tipis. "Gue rasa lu butuh temen dulu sebelum gue pulang."
Jawaban itu membuat Gibran sedikit terkejut. Biasanya, orang lain akan langsung menyuruhnya berhenti bersikap seperti ini atau memberinya nasihat yang klise. Tapi Kinara... dia berbeda. Dia menawarkan kehadirannya tanpa syarat. Hanya ada di sana. Gibran menghela napas panjang, membiarkan udara dingin malam mengisi paru-parunya.
"Gue gak ngerti, Kenapa lu masih mau ada di sini?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Kinara tersenyum kecil, menatap Gibran dengan mata yang teduh. "Karena gue percaya setiap orang punya titik terendahnya masing-masing. Dan lu gak harus menghadapinya sendirian."
Diam lagi. Tapi kali ini keheningan terasa lebih ringan. Gibran menyandarkan punggungnya di bangku, memandangi langit yang perlahan mulai cerah. Meski begitu, awan hitam masih menggantung di ujung langit, seolah tak rela meninggalkan malam sepenuhnya.
"Gue capek." Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa rencana. Gibran terkejut sendiri mendengarnya, tapi di sisi lain, dia merasa lega. Akhirnya, dia mengucapkannya—sebuah pengakuan yang selama ini terkunci rapat di dalam dirinya.
Kinara tidak menjawab. Dia hanya mendengarkan, memberinya ruang untuk berbicara lebih lanjut jika Gibran mau. Dan untuk pertama kalinya, Gibran merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—dia bisa berbagi sedikit tentang apa yang ada di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Pintu
Novela Juvenil"cemara adalah kebohongan bagi seorang anak broken family." -Gibran Wijaya Pradipta Menurut mereka rumah adalah tempat untuk berpulang dimana mereka akan di sambut dengan pelukan dan tepukan yang lembut. Tapi itu tidak berlaku bagi Gibran. Rumah ad...