Jangan lupa untuk vote terlebih dahulu ya 💓
Happy reading
✧✧✧
Tidak ada kebahagiaan yang di dasarkan oleh kepura-puraan.
✧✧✧
Keesokan harinya Gibran sudah siap dengan pakaian seragam sekolahnya yang sudah tertata rapi di badannya. Gibran merapikan rambutnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar, setelah di rasa rapi ia mengambil tasnya lalu menyempirkan tali tasnya pada bahu.
Gibran keluar dari kamar, menuruni anakan tangga, dari arah meja makan Viola ibunya sudah lebih dulu melihat keberadaan Gibran. Lantas Viola pun tersenyum lalu menghampiri Gibran. Sesampainya di depan cowok itu Viola meraih tangan Gibran dan membawanya ke arah meja makan untuk sarapan bersama. Tanpa mau menolak dan berontak Gibran lebih memilih untuk menurutinya.
"Ayo duduk," Viola menggeser kursi membiarkan Gibran untuk duduk. Setelah di pastikan cowok itu duduk baru juga Viola juga ikut duduk. Di tatapnya Viola pada Gibran.
Perihal kejadian semalam Gibran sudah melupakannya meskipun masih tersisa sakit di hatinya. Gibran menundukkan kepalanya tidak ingin jika Wijaya papa nya melihat. Viola yang melihat itu pun mengangkat tangannya lalu mengelus punggung Gibran lembut. Sontak Gibran pun mendongakkan kepala dan menatap Viola yang mengangguk tanda bahwa dia mengucapkan 'tidak apa-apa'
"Ma, Pa, Gibran berangkat dulu," pamit Gibran pada kedua orang tuanya. Ia tidak mau berlama-lama dengan Wijaya meskipun masih ada Kanina dan Viola. Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tuanya Gibran pun langsung menyalami tangan kedua orang tuanya dan langsung pergi dari sana.
Sedangkan Viola hanya diam memperhatikan Gibran. Ia tahu perasaan Gibran saat ini, ia tahu mengapa Gibran memilih untuk pergi tanpa sarapan bersama, dan sudah di pastikan lagi suara langkah kaki yang Viola dengar kemarin malam itu adalah Gibran. Ingin sekali Viola menangis saat ini juga melihat anaknya kembali hancur seperti ini, dan juga ingin sekali Viola menghentikan waktu agar Gibran bisa beristirahat terlebih dahulu sebelum mendapatkan luka lagi.
"Maafin Mama, Gib," batin Viola.
✧✧✧
Sesampainya di sekolah Gibran langsung menaruh tas nya di kelas lalu pergi untuk ke kantin sekolah menemui yang lain ya g sudah di pastikan berada di sana. Setelah sampai di depan kantin Gibran melihat sekeliling, lalu ia mulai melangkahkan kakinya setelah minat objek yang ia cari.
"Tumben banget lo datang terakhir dari kita-kita?" tanya Rafa pada Gibran yang sudah duduk di samping Gio.
"Iya. Sarapan dulu bareng keluarga," jawab Gibran bohong. Percayalah Gibran selalu berbohong perihal keluarganya sendiri yang katanya cemara. Padahal tidak sama sekali. Gibran hanya tidak ingin sahabat-sahabat nya tahu tentang keluarganya, tentang ayahnya yang menuntut nya untuk mengikuti semua keinginan dia, tentang semua luka yang Gibran terima dari ayahnya.
"Beruntung banget punya keluarga cemara, gue juga pengen, tapi nahas gue di tinggal di panti," sahut Kenzo. Ya, Kenzo memang tinggal di panti, ia di besarkan di panti asuhan karena orang tuanya membuang nya. Tega sekali orang tua Kenzo membiarkan anak mereka hidup sendiri tanpa sesosok orang tua.
"Kalau soal keluarga kita juga kurang beruntung, Ken," timpal Andhika. Ya, mereka adalah sesosok anak yang kehilangan peran orang tua di dalam hidup mereka, terkecuali Renda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Pintu
Teen Fiction"cemara adalah kebohongan bagi seorang anak broken family." -Gibran Wijaya Pradipta Menurut mereka rumah adalah tempat untuk berpulang dimana mereka akan di sambut dengan pelukan dan tepukan yang lembut. Tapi itu tidak berlaku bagi Gibran. Rumah ad...