24. Hidup Baru

512 77 9
                                    

"Saya diizinin buat seret Mbak Arumi keluar dari mobil sama Bapak kalau nggak mau nurut."

Itu ucapan Pak Seno, sopir ayahnya, hampir satu bulan yang lalu, orang pertama yang dikenali yang menemuinya di rumah sakit setelah insiden penganiayaan. Orang yang mengurusi seluruh administri rumah sakit, kemudian membawanya ke tempat yang begitu asing.

Singkatnya Arumi dibuang, tanpa dibekali uang sepeser pun bahkan kartu ATM dan alat komunikasi, hanya dibekali kartu identitas saja.

Hari demi hari berlalu. Berbeda dengan sepuluh hari pertama kedatangannya ke tempat ini yang hanya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, setiap hari berikutnya Arumi selalu keluar dari kamar untuk sekadar menemui dan mengobrol dengan Wulan, orang yang dikirim ayahnya mungkin untuk menemani. Tugas perempuan itu memasak dan beres-beres rumah, semua kebutuhan Arumi sepertinya diserahkan ayahnya kepada Wulan sehingga kini ia hanya tinggal melanjutkan hidup saja.

Di rumah asing, di rumah yang baru diketahui ternyata milik ayahnya.

"Ada yang mau saya bantu nggak Wulan?" tanya Arumi, berbasa-basi.

"Enggak ada Teh."

Arumi lantas mengangguk saja, tidak berusaha memaksa perempun hamil itu. Sejujurnya ia pun terlalu malas membantu Wulan dan memang tidak pernah membantu, setelah menghampiri perempuan itu ia hanya akan langsung mendudukan bokong di kursi meja makan dan menontoni kegiatannya. Arumi memang hobi memasak, beres-beres rumah juga bukan sesuatu yang sulit untuknya. Namun sekarang entah mengapa Arumi tidak bergairah untuk melakukan dua hal tersebut. Sejak di rumah ini, Arumi lebih suka berongkang-ongkang kaki dan tinggal menikmati apa yang Wulan sediakan.

Mereka terus mengobrol selagi Wulan mengerjakan pekerjaannya. Mencuci, memotong-motong bahan makanan, menumis, hingga di tengah-tengah aktivitasnya Wulan secara tiba-tiba menghampiri, menyodorkan ponsel yang layarnya menampilkan panggilan telepon yang sudah menunjukan beberapa detik panggilan tersebut tersambung.

"Ini Pak Hendra mau bicara sama Teteh," ucap perempuan itu.

Arumi mengulurkan tangannya menerima ponsel tersebut, tetapi alih-alih menempelkan benda tersebut ke telinganya, ia menekan ikon telepon berwarna merah di sana seraya menatap Wulan tanpa berkedip.

"Tinggal matiin aja sambungan teleponnya, gampang kan?"

"Wulan nggak berani Teh!" sahut perempuan itu seraya membalas tatapan Arumi dengan ekspresi memelas.

Arumi langsung mendesis kesal. Ia memasang wajah pasrah. "Ya udah. Lagian aneh kenapa ngehubungin mulu, udah dikasih tahu jangan hubungin lagi juga!"

"Mungkin kangen kali Teh?"

"Kangen apanya!" gumam Arumi setengah mengejek.

Arumi berniat mengembalikan benda tersebut kepada pemiliknya secara bersamaan dengan sebuah pemikiran baru saja hinggap di kepala.

"Eh, saya boleh pinjem hp kamu nggak sih?"

"Pakai aja Teh!"

Arumi mengembuskan napas, merasa lega untuk suatu alasan seraya menarik tangannya kembali. Menggenggam benda tersebut sedikit lebih erat, menatap layarnya dengan penuh harap.

"Saya boleh ikut login email terus login akun Shopee saya nggak di HP kamu?" .

"Boleh-boleh aja!"

"Makasih ya!"

Wulan mengangguk-angguk saja, meski heran melihat kelakuan Arumi yang tiba-tiba.

Arumi kemudian menyibukan diri. Sesuai perkataannya, menautkan akun email yang nama pengguna dan kata sandinya sangat ia hapal di luar kepala, kemudian membuka akun aplikasi belanja online miliknya juga di ponsel perempuan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

We Are CheatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang