14. Jalan satu-satunya

1K 88 27
                                    

"Aku mau punya anak!" ucap Arumi tidak ada angin tidak ada hujan, tanpa memberikan aba-aba sama sekali sebelumnya. Belum lagi, nada bicara yang digunakan seperti sedang menantang, tidak peduli orang yang diajak bicara menganggap dirinya seperti sedang mengajak bertengkar.

Reigan baru saja menginjakkan kaki di kamar begitu seruan tersebut tertangkap indra pendengaran.

Ia langsung menatap Arumi detik itu juga. Mencari keseriusan pada raut wajah serta netra perempuan itu, takut justru hanya sedang mengajak bercanda di saat jantungnya hampir lepas mendengar empat kata tersebut.

Namun tentu saja, Reigan tidak menemukan ekspresi main-main di wajah Arumi. Perempuan itu justru membalas tatapannya tepat di mata dengan rahang yang terlihat mengetat, mata melebar sedikit memerah, menandakan bahwa dirinya memang sangat serius dengan keinginannya.

"Kenapa tiba-tiba?" responsnya kemudian.

"Nggak tiba-tiba!" Arumi langsung membantah.

Meski keberanian mengungkapkan ingin memiliki anak adalah buah dari kebohongan bertubi-tubi pria itu yang baru Arumi ketahui beberapa hari kemarin. Namun pemikiran ingin memiliki anak bukan pemikiran instan seperti apa yang Reigan kira.

"Aku emang udah mikirin ini dari awal pernikahan kita!" Arumi mengungkap dengan jujur.

Sejak kedatangan tamu yang menginterupsi pembicaraan antara dirinya, Reigan, dan Gyna tiga hari yang lalu, Arumi belum membuka suaranya lagi kepada Reigan, maklum kalau pria itu merasa apa yang Arumi katakan begitu tiba-tiba.

Saking marah karena merasa tidak dihargai, permintaan maaf atas kebohongan yang pria itu lakukan tidak membuatnya luluh sama sekali, ia mogok bicara.

Dan meski setelah kebohongannya terungkap, pria itu bersikap cukup baik dengan tidak lagi diam-diam keluar dari kamar mereka saat tengah malam, serta pergi dan pulang kerja di waktu yang normal, Arumi tetap belum bisa memaafkan begitu saja.

Selama tiga hari tanpa interaksi apa pun bersama Reigan, Arumi merenungi banyak hal, seperti mengapa pria itu begitu banyak berubah, mengapa pria itu membohonginya, mengapa usaha keras yang ia lakukan agar hubungan pernikahan mereka menjadi lebih baik seperti tidak ada apa-apanya dan harus berakhir sia-sia.

Selama itu juga Arumi merenungi, untuk apa waktu itu Reigan menikahinya kalau pria itu masih begitu mencintai Laras dan masih begitu ingin mengutamakan keluarga wanita itu, untuk apa waktu itu Reigan menikahinya kalau ternyata pria itu belum siap membagi perhatian antara dirinya dan keluarga mendiang istri pertamanya yang bagi Arumi bisa saja pria itu tidak melakukannya karena sekarang sudah memiliki istri lain yang perlu diberi perhatian secara lebih dan perlu pria itu hargai keberadaannya.

Merenungi mengenai bagaimana cara agar pria itu kembali ke sifat yang Arumi kenal, seperti saat mereka baru bertemu dan saat baru dua minggu usia pernikahan mereka.

Merenungi mengenai apa yang harus Arumi laukan lagi agar setidaknya pria itu menganggap keberadaannya.

Di antara rasa frustrasi dan putus asa yang Arumi rasakan, sebuah pemikiran secara tiba-tiba hinggap di kepala, mengenai bagaimana kalau ia dan Reigan memiliki anak. Arumi melihat, tidak jarang orang-orang mempertahankan hubungan pernikahan mereka yang sudah di ujung tanduk dengan alasan anak-anak. Arumi pikir, hal itu juga berlaku untuk kasusnya.

Anak adalah satu-satunya jalan agar hubungan pernikahan mereka menjadi kuat dan berjalan sebagaimana mestinya meski kenyataan di pihak lain, Reigan sepertinya menganggap sepele pernikahan mereka.

Apalagi sejak awal Arumi memang sudah berkeinginan memiliki anak. Keinginan itu kemudian menjadi semakin menggebu seiring dengan mencuatnya pemikiran tersebut.

Jadi, apa salahnya kalau mereka memiliki anak saja?

Arumi tidak peduli apakah pria itu siap atau tidak, yang terpenting di sini adalah dirinya sendiri yang sudah siap memiliki anak sehingga tanpa pikir panjang, langsung mengutarakan keinginan tersebut meski tanpa aba-aba, bahkan ketika rasa kecewa yang dirasakannya kepada pria itu masih begitu besar dan belum sepenuhnya padam.

Arumi pikir, setidaknya dengan mereka memiliki anak, Reigan pasti akan fokus dengan anak mereka saja. Memberikan perhatian sepenuhnya kepada anak mereka dan mengurangi perhatian kepada hal-hal yang tidak perlu.

Apalagi sampai harus berbohong. Pria itu pasti akan berpikir ribuan kali lebih dahulu sebelum melakukannya setelah ada anak di antara mereka.

Iya kan?

"Kamu pasti mau kan?" lanjut Arumi tidak memberikan pria itu pilihan menerima atau menolak keinginannya.

Reigan belum menjawab, pria itu justru terdiam dengan pandangan kosong.

Ia benar-benar merasa keinginan Arumi terlalu tiba-tiba sebab sebelumnya mereka tidak pernah menyinggung soal ini sama sekali. Dalam bayangannya sedikit pun, dirinya tidak pernah berpikir bahwa Arumi menginginkan seorang anak.

Jujur saja Reigan tidak pernah berpikir sampai ke sana. Ia heran, di antara banyak permintaan, mengapa Arumi justru menginginkan hal tersebut.

Apakah keinginan Arumi ini berhubungan dengan kebohongan yang dirinya lakukan? Sebab untuk pertama kalinya lagi setelah beberapa hari, perempuan itu bersedia kembali berbicara dengannya dan itu langsung mengutarakan keinginan yang tidak pernah ia duga-duga sebelumnya.

Memiliki anak adalah impiannya dulu bersama dengan Laras, bahkan menjadi impian terbesar wanita itu selama mereka menikah. Namun, sebelum mereka meraih impian tersebut, Laras sudah lebih dahulu berpulang.

Kini Arumi memiliki keinginan yang sama. Begitu mendengar permintaan yang tanpa aba-aba itu, separuh raga milik Reigan rasanya seperti ditarik paksa. Di benaknya langsung timbul pertanyaan, apa dirinya mampu mewujudkan mimpi Laras dengan wanita lain?

Rasanya Reigan tidak sanggup. Terbayang bagaimana kesedihan mendiang istrinya setelah kegagalan yang selalu mereka dapatkan ketika menjalankan dan mengikuti program kehamilan, dan kini Reigan justru akan kembali menjalankan program tersebut bersama wanita lain.

Berat sekali rasanya membayangkan jika harus memiliki anak dengan wanita selain Laras.

"Mas?"

Reigan tersentak merasakan sentuhan di lengannya. Baru ia sadari Arumi kini berdiri begitu dekat, berada di hadapannya.

Kamu nggak mau punya anak?" tanya perempuan itu kembali.

Reigan belum siap untuk memberikan jawaban. Kini justru ia menyalahkan diri sendiri, andai saja ia tidak pernah berbohong dan andai saja kebohongannya tidak pernah terungkap, Arumi pasti tidak akan pernah mengajukan permintaan sulit ini.

Reigan mengambil napas banyak-banyak, dengan terpaksa kemudian ia mengangguk. Untuk saat ini tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain menyetujui lebih dahulu keinginan Arumi.

We Are CheatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang