22.b Perasaan Terlarang

642 90 7
                                    

Sampai di rumah, Arumi berniat langsung masuk ke kamar. Namun di ambang pintu utama, ia disambut oleh seseorang yang tidak ingin dirinya temui sama sekali. Baik saat suasana hatinya baik-baik saja, maupun saat suasana hatinya sedang tidak stabil seperti ini.

Reigan. Melihat Arumi yang berjalan dengan tubuh lunglai, pria itu dengan segera menghampirinya, dan baru ia sadari bahwa mata Arumi memerah selaras dengan wajahnya yang sembab dan terlihat sedikit berair.

"Kamu nangis?" Reigan refleks bertanya, rasa khawatir segera menyelimuti, takut sesuatu yang buruk menimpa suaminya itu.

Namun Arumi tidak menanggapi sama sekali, ia terus berjalan menuju kamarnya, tidak peduli pria itu setia mengikuti setiap langkahnya.

Tidak tahan dibaikan, begitu mereka sampai di ambang pintu kamar, Reigan langsung menahan lengan perempuan itu. "Terjadi sesuatu sama kamu?"

"Bukan urusan kamu!" jawab Arumi ketus, suasana hatinya kini semakin buruk lagi.

Reigan menarik napas panjang, berusaha untuk tenang mendapati keketusan Arumi. "Jelas itu urusan saya. Kamu istri saya, saya khawatir sama kamu!"

Mendengar pengakuan tersebut, Arumi sontak memutar kedua bola mata malas. Ia berusaha menepis kedua tangan Reigan yang hinggap di pundaknya, tetapi tangan pria itu tetap bergeming.

Reigan justru menatap Arumi dengan begitu dalam membuat Arumi yang tidak sengaja menatapnya buru-buru menatap ke arah lain, menolak menatap pria itu.

"Apa yang harus saya lakukan biar kamu nggak cuekin saya lagi?" tanya Reigan, berharap sekali Arumi berhenti bersikap seperti ini kepadanya, ia mulai lelah memperbaiki hubungan dengan Arumi karena tidak kunjung disambut dengan baik. Ia sangat merindukan Arumi yang banyak omong kepadanya dan selalu menempel padanya bahkan ketika dirinya baru pulang bekerja.

Tidak ada lagi Arumi yang seperti itu, yang ada ia yang harus mendekati Arumi.

Sementara Arumi, menggeleng tak habis pikir. Sekian banyak kesalahan yang pria itu lakukan dan pria itu masih bertanya apa yang harus dirinya lakukan atas sikap cuek Arumi?

Pria itu benar-benar ....

"Pikir aja sendiri!" Arumi menatap Reigan, menepis tangan pria itu di pundaknya yang kini tidak menolak sama sekali. Arumi melanjutkan langkah lebih dalam masuk ke kamar.

Pria itu, alih-alih pergi ke kamarnya sendiri ia justru mengikuti langkah Arumi. Reigan ingin malam ini juga mengetahui apa mau perempuan itu. Ia kembali menyentuh kedua bahu Arumi, memutarnya hingga mereka kembali berhadapan.

"Apalagi, Mas? Ngapain kamu masih di sini?" tanya Arumi tidak bisa menahan amarah, kening perempuan itu berlipat menatap pria di hadapannya.

Mendengar pertanyaan Arumi, Reigan sontak tertawa. "Kenapa? Ini kan rumah saya dan kamar saya, saya bebas mau ke mana aja."

"Oh," ucap Arumi, tidak menyangka kini pria itu sudah berani mendebatnya. Ia kemudian menepis kasar tangan pria itu hingga kembali terlepas.

Perempuan itu melangkah ke arah lemari, pada koper yang disimpan di sebelahnya yang belum ia kembalikan ke tempat asal sejak liburan satu bulan yang lalu, menarik benda tersebut dan membaringkannya di lantai.

Ia membuka koper tersebut, kemudian membuka lemari dan mengambil beberapa isinya. Sebelum ia meletakan isi lemari tersebut ke koper, lebih dahulu Arumi menatap Reigan. "Maaf ya aku kelamaan numpang di sini. Udah cukup deh sekarang, aku mau pergi aja."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Arumi meletakkan beda yang sudah di ambilnya. Ia tidak sekadar mengancam, sudah tidak bertenaga lagi kalau harus berdebat dengan pria itu setiap mereka bertatap muka dan pilihan pergi dari rumahnya kini menjadi pilihan yang tepat.

We Are CheatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang