Bab 2

9 0 0
                                    

Liam menatap Sheina seraya memperlihatkan catatannya, 'Jika kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu memberitahu ku. Kita bisa mencarinya bersama.'
Sheina mengangguk. "Aku ijin ke kamar dulu untuk mengatur barang-barang ku." Pamit Sheina dan bergegas ke dalam kamar setelah mendapatkan persetujuan dari Liam.
Sheina mulai mengatur barang-barangnya. Meski tidak banyak, namun dia merasa bersyukur jika beberapa berkas pentingnya tidak tertinggal di rumah ayahnya.
Setelah selesai mengatur kamar dan menata barang, Sheina memutuskan keluar kamar dan tidak mendapati Liam di sana. Dia mulai berjalan perlahan di dalam rumah, melihat-lihat dengan rasa ingin tahu. Setiap sudut rumah yang dia telusuri memberikan rasa nyaman dan aman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Tanpa Sheina sadari, sepasang mata cokelat memperhatikan kegiatan menjelajahnya dari balik pintu. Terlihat kekhawatiran terpancar di mata Liam. Pria itu berharap Sheina tidak mengalami trauma lebih lanjut dan mau tinggal di sini bersamanya.
Liam merasa senang saat Sheina menerima tawarannya. Dia berharap menjadi orang yang bisa melindungi gadis itu apapun yang terjadi. Liam berjanji pada dirinya untuk melindungi gadis itu dan menyembuhkan traumanya.
Sheina membuka sebuah lemari yang berada di sana dan melihat beberapa buku tebal yang terpajang di sana. Dengan penasaran gadis itu mengambil salah satu buku yang membuatnya penasaran lalu membacanya dengan semangat.
Liam tersenyum kecil memperhatikan Sheina yang tampak sibuk membaca buku yang ada di sana dengan tatapan rasa ingin tahu.
"Semoga kau betah di sini, Nak." Pria itu menggerakkan bibirnya tanpa suara diiringi senyum tipis di wajahnya.
🐾
Sheina menghampiri Liam yang tampak duduk di sofa sambil membaca buku, "Ada yang bisa aku bantu? Misalnya memasak atau bersih-bersih?"
Liam menutup bukunya dan menatap Sheina dengan senyum dan memperlihatkan tulisan pada catatannya, "Boleh. Ayo kita masak bersama."
Sheina ingin menunjukkan kemampuan memasaknya pada Liam. Dia ingin mengucapkan terimakasih pada pria itu dengan memasak makan malam.
"Aku bisa masak! Apa kau punya bahan-bahannya?" Tanya Sheina semangat.
Liam terkejut karena Sheina begitu semangat. Dia menulis dan menunjukkan catatannya pada Sheina, "Baik. Hati-hati saat menggunakan dapur."
Sheina mulai membuka lemari penyimpanan dan melihat banyak stok makanan. Gadis itu kebingungan memilih bahan makanan untuk makan malam. Dia memutuskan membuat sop ikan dan tumis buncis.
Bunyi talenan beradu dengan pisau membuat suasana rumah itu terasa hidup. Liam menoleh ke arah Sheina yang tampak sibuk berkutat di dapur dengan perasaan cemas, khawatir gadis itu menghancurkan dapurnya.
Sementara Sheina yang bersemangat tidak sengaja menjatuhkan pisau yang hampir mengenai kakinya, dan gadis itu memiliki reflek yang bagus, sehingga pisau itu mendarat beberapa inchi dari kakinya.
Liam meringis saat melihat itu. Pria tampan itu segera beranjak mendekati Sheina yang tampak sibuk berperang dengan peralatan dapur. Liam bahkan melihat bagaimana semangatnya Sheina hingga nyaris memecahkan beberapa peralatannya.
Liam mendekati gadis itu dan menepuk pundaknya pelan, membuat gadis itu menoleh. Segera pria itu menunjukkan catatannya yang bertuliskan, 'Biar aku bantu.'
"Tidak usah. Biar aku saja! Sebaiknya kau tunggu di sana." Tolak Sheina sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di sana.
Liam terpaksa menurut dan mengawasi Sheina dari kejauhan dengan perasaan cemas, khawatir jika gadis itu membuat kekacauan.
'Klontang!'
Dan seperti yang dia duga, Sheina menjatuhkan wajan saat berusaha meletakkan di atas kompor.
"Maaf! Aku akan berhati-hati!" Seru Sheina dari dapur. Lalu gadis itu menghidupkan kompor dan Liam hanya mengangguk cemas.
"Astaga! Minyaknya tumpah!"
'Prank!'
"Kenapa sendoknya harus jatuh?"
'Klontang! 'Brakh'
"Eh! Eh! Pecah!"
Liam menghela nafas dan memutuskan ikut terjun ke dapur. Pria itu khawatir jika Sheina menghancurkan dapurnya, mengingat ini adalah hari pertama gadis itu di rumahnya dan dia mungkin sangat tegang atau canggung.
"Eh, biar aku saja."
"Kita kerjakan bersama saja biar cepat selesai," Tulis Liam di layar ponselnya.
Sheina mengangguk. Mereka akhirnya masak bersama dalam suasana canggung. Saking canggungnya, Sheina memasukkan merica pada tumisan yang sukses membuat keduanya bersin-bersin.
"Astaga! Sepertinya aku memasukan merica!" Seru Sheina tertawa canggung.
Liam mengeluarkan ponsel dan mengetik di sana dengan cepat lalu menyodorkan ponselnya, 'Kau hebat dalam membuat bom pedas.'
Sheina terkikik.
Liam menyendok sedikit tumisan yang dibuat Sheina untuk mencicipi. Lalu pria itu mengangguk dan menatap Sheina dengan puas.
Pria itu juga menyendok sedikit kuah ikan dan menyuruh Sheina mencicipinya.
"Sepertinya ini terlalu asin!"
Liam mengetik sesuatu di ponselnya dsn menunjukkan pada Sheina, 'Sepertinya ini tantangan rasa.'
Keduanya tertawa.
Setelah matang, mereka menyajikan makanan dan makan malam bersama. Keduanya merasa canggung. Liam yang pertama kali makan malam bersama seseorang dan Sheina pertama kali makan bersama di meja makan.
Liam menyendok nasi ke piring dan menyodorkan pada Sheina. Pria itu mengetik sesuatu di ponsel, "Aku tidak jago masak, tapi semoga ini cukup enak."
Sheina menatap Liam sedikit ragu sambil melihat makanan, "Terlihat... lumayan." Dia tertawa canggung.
Liam tersenyum dan kembali menulis, "Kau pasti terbiasa dengan makanan yang lebih baik."
Sheina menggeleng sambil memulai makan, "Tidak juga. Aku jarang makan di rumah, bahkan sering makan makanan sisa mereka..." Ucapnya lemah penuh kebencian saat mengingat perlakuan keluarganya.
Liam tertegun mengenali nada sedih dan kebencian dalam suara Sheina  mencoba mengalihkan pembicaraan. Pria itu menulis lagi dan menunjukkan pada Sheina, "Kalau begitu, anggap saja kita sama-sama belajar masak. Aku bisa bantu kalau kau mau coba masak di sini."
Sheina tersenyum tipis, "Boleh juga. Aku bisa coba buat sesuatu nanti. Tapi jangan berharap terlalu tinggi."
Liam kembali mengetik, "Kalau kita gagal, selalu ada mi instan sebagai penyelamat."
Keduanya tertawa kecil. Makan malam berlanjut dengan tenang selama beberapa menit.
Perlahan Sheina merasa agak nyaman dengan Liam. Lalu dia menatap pria itu penasaran, "Kenapa kau mau aku tinggal di sini? Maksudku... kau kan bisa saja bilang tidak."
Liam berhenti sejenak dan menatap Sheina. Dia mengetik sesuatu dan menunjukkan pada gadis bersurai cokelat itu, "Semua orang butuh tempat untuk merasa aman. Dan... aku tahu bagaimana rasanya tidak punya tempat seperti itu."
Pria itu kembali melanjutkan makan.
Sheina ber'oh' ria sebagai jawaban.
"Jangan terlalu dipikirkan. Kita bisa mulai dari sini. Kau aman di sini, dan kita lihat saja bagaimana selanjutnya." Tulis Liam.
"Terima kasih, Liam." Ucap Sheina tersenyum kecil. Setidaknya gadis itu memiliki tempat berteduh untuk sekarang.
Liam tersenyum lembut dan kembali menulis, "Sama-sama. Sekarang makanlah sebelum dingin."
🐾
Sheina menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran berkecamuk. Kenapa mereka tega menyiksa dan membuangnya?
Ayahnya pergi bersama wanita lain yang sekarang menjadi ibu tirinya sejak usia Sheina menginjak tujuh tahun. Tiga tahun berikutnya, sang ibu menikah lagi dan tidak membawanya ikut serta.
Sheina hidup berpindah-pindah, baik di rumah ayah, ibu maupun neneknya. Tetapi mereka hanya memperlakukan Sheina seolah-olah gadis kecil itu adalah sebuah kesialan, mengingat dia terlahir dengan mata berbeda.
Sheina yang saat itu masih kecil pernah mendengar pembicaraan keluarga ibunya yang tidak mau menampungnya. Kakek dan neneknya hanya memberikan uang yang cukup besar sebagai bentuk kasih sayang tanpa pernah mau mengerti apa yang Sheina inginkan. Sementara paman dan bibinya tidak ingin merawatnya. Mereka menganggap Sheina adalah beban dan menitipkan pada ayahnya.
Keluarga ayahnya berbeda. Dia hanya menganggap Sheina sebagai anak yang tidak tau terimakasih. Perlakuan yang dia dapatkan dengan saudari tirinya pun berbeda. Meski sama-sama perempuan, namun saudara tiri Sheina menjadi kesayangan semua orang, sementara dia menjadi sasaran kemarahan dan kebencian mereka.
Kata-kata menyakitkan sudah terbiasa dia dengar. Bahkan Sheina kerap kali mengalami perundungan di sekolah. Semua karena cerita saudara tirinya yang mengatakan jika Sheina selalu menyiksanya di rumah.
Sheina merasa kehadirannya tidak diinginkan. Dia pernah mencoba untuk melakukan bunuh diri, tetapi di urungkan. Bahkan sesekali dia melihat berbagai penampakan yang mengerubunginya, mencegah melakukan tindakan konyol itu.
Sheina menangis sesegukan saat mendapatkan perhatian dari Liam.
"Aku nggak tahu harus bagaimana. Ini sangat membingungkan," ucap Sheina sambil meneteskan air mata.
"Aku merasa nyaman dan hangat, tapi kenapa bukan dari keluarga aku sendiri? Kenapa mereka memberikanku banyak luka? Haruskah aku berhenti berharap? Apa yang aku harapkan dari mereka? Aku saja di buang dan di kecewakan. Benar-benar lelucon kalau meminta perhatian dari mereka," Sheina berkata sambil tertawa, namun air matanya mengalir deras membasahi pipinya.
Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun dan perhatian itu dia dapatkan dari orang lain, tanpa menyadari Liam yang hendak mengetuk pintu mendengar tangisannya yang memilukan.
Pria itu mengurungkan niatnya dan membiarkan Sheina menangis. Dia memberi ruang pada gadis itu untuk melupakan semua emosinya.
Liam meletakkan selimut di sofa. Pria tampan itu mengambil hoodienya dan bergegas pergi ke luar saat melihat sesuatu yang terbang ke arah rumahnya.
Liam duduk di teras. Menatap beberapa cahaya kemerahan yang menyerang rumahnya. Di perhatikan lebih jelas, mereka adalah sosok-sosok tak kasat mata yang merupakan kiriman dari seseorang. Mungkin dukun lain yang merasa keberadaannya terancam.
Dia duduk bersila, meminum air mineral sambil menatap sosok itu dengan mengejek. Ayolah, itu bukan sesuatu yang sulit untuknya.
Ledakan-ledakan kecil dan besar terjadi secara beruntun seperti kembang api dan menyisakan sampah yang berisi tanah dan serbuk tulang yang terbungkus dalam sebuah potongan kasa kecil di depan pagar rumahnya.
Tak berapa lama, muncul seekor kucing hitam dari kegelapan. Dia menghampiri sampah-sampah itu dan memakannya dengan girang. Setelah habis, kucing itu meregangkan tubuhnya dan menghilang dalam gelap.

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang