Bab 12

4 0 0
                                    

Hawa terasa semakin dingin dan berat mengiringi langkah ketiganya. Raka tampak terlihat sibuk merekam sambil menjelaskan pada para permisi tentang situasi yang dia hadapi, sementara Sheina tampak mengamati sekitar dengan antusias, mengabaikan beberapa penampakan roh penasaran yang menatap mereka dengan kosong.
"Jadi, guys! Dulu tempat ini adalah gedung asrama yang di tinggalkan entah karena apa. Konon katanya, di sini di huni oleh sesosok hantu perempuan dan beberapa sosok lainnya. Yuk ikuti perjalanan Raka. Jangan lupa follow, ya~"
"Ya ampun. Ini bekas apaan, sih?" Sheina mengerutkan kening seraya memasang ekspresi jijik saat melihat bekas kondominium berserakan di lantai. Apalagi udara pengap dan bau pesing menusuk penciumannya.
"Itu kondom bekas. Sepertinya tempat ini dijadikan tempat zina oleh orang-orang tak punya otak." Sahut Raka sambil mengarahkan kamera ponsel ke lantai, dimana kondom bekas terlihat berserakan seraya menutup hidungnya.
"Oh. Seharusnya mereka nyari tempat yang lebih baik, kan? Bukan tempat kek gini. Kenapa nggak di rumah aja gitu?"
"Mereka belum menikah atau bisa jadi mereka sedang selingkuh dari pasangan. Jadi, tempat sepi dan terbengkalai adalah tempat terbaik untuk melakukan pelepasan hasrat." Sahut Raka dan melanjutkan ekspedisi nya, meninggalkan Sheina dan Liam yang masih sibuk mengamati setiap ruangan yang ada.
Liam mengambil ponsel dan mengetik sesuatu di sana, sebelum menepuk pundak Sheina lembut dan menunjukkan pada gadis itu, "Melakukan hubungan badan tanpa pernikahan bukanlah sesuatu yang dibanggakan. Kau tidak tahu seperti apa orang yang mengajakmu melakukan hubungan intim. Mungkin dia bisa menyebarkan penyakit atau hanya memanfaatkan lalu meninggalkannya begitu saja dan tidak mau bertanggung jawab. Apalagi di tempat sepi seperti ini. Kita tidak tahu apakah tempat itu ada penghuni atau tidak yang bisa saja membuat pelakunya celaka."
Sheina membaca tulisan Liam dan meresapinya. Dia menatap pria tampan namun bisu itu dengan tatapan berbinar namun terselip rasa penasaran.
"Ya, Om. Tapi seriusan, deh. Apakah pacaran harus melakukan hubungan badan?" Tanya Sheina penasaran penuh akan ingin tahu.
Liam tersenyum tipis saat melihat rasa ingin tahu di wajah imut Sheina. Gadis remaja itu terlihat rentan dengan rasa penasaran dan ingin tahu di usia yang masih muda.
Liam kembali mengetik di ponselnya dengan cepat dan menunjukkan pada Sheina sambil memasang ekspresi sungguh-sungguh, "Jika dia benar-benar menyayangimu, dia akan menjagamu dan tidak melewati batasan. Bukan merusak dan mencari keuntungan pribadi."
"Om udah kayak bapak-bapak aja." Sheina terkekeh dan melanjutkan jalannya. Dia menoleh ke arah Liam dan tersenyum tipis, "Makasih, Om udah mau ngasih tau aku."
Liam tersenyum tipis dan memberi isyarat untuk melanjutkan penelusuran.
🐾
Raka dan Liam memasuki salah satu ruangan yang cukup luas dengan dua ranjang susun yang terletak di sana. Terdapat empat kabinet, dua meja belajar rendah yang mulai rapuh di makan usia maupun rayap. Mereka menduga jika ruangan itu merupakan bekas kamar asrama.
Raka berceloteh seraya merekam situasi, sementara Liam memperhatikan situasi dengan waspada tanpa menyadari Sheina yang berjalan menjauhinya. Gadis berparas imut itu menatap lorong dan berlari kecil hingga dekat tangga.
Liam menoleh saat merasa sebuah bayangan melintas di dekatnya. Pria tampan itu memutuskan memeriksa sekitar, membuat Raka penasaran.
"Ada apa, Liam? Eh, mana tuh, bocil?"
Liam menggeleng sebagai jawaban dan melirik ke samping. Namun sorot matanya terlihat panik saat menyadari Sheina tidak berada di dekatnya.
"Kyaaa~ Lu tampan banget, anjir! Boleh minta nomor togel, nggak? Atau mau jadi pacar gue aja? Pliss, ya~ Lu ganteng banget!"
Liam, yang selama ini tenang dan terlatih menghadapi situasi supranatural, terkejut mendengar teriakan Sheina. Ia menatap Raka dengan alis terangkat, seolah bertanya apakah dia juga mendengar apa yang baru saja diucapkan Sheina. Raka langsung memucat, gemetar dengan ketakutan saat mendengar suara girang Sheina yang seakan tidak menyadari bahaya di sekitarnya.
"Sheina, tunggu!" Liam mengisyaratkan, tetapi suara itu tidak keluar dari mulutnya, membuatnya terlihat lebih cemas. Dia mencoba untuk bergerak cepat menuju arah suara Sheina, tetapi di tengah jalan, ia mendapati Raka berdiri kaku di tempatnya, matanya terbelalak melihat sosok hantu yang mendekat.
Raka menggigit bibirnya, “Ya ampun, Sheina! Jangan bercanda! Itu hantu, dan kamu mau minta nomor togel?” Ia berusaha berbisik, tetapi nada suaranya penuh kepanikan. Hantu yang ditunjuk Raka memang terlihat aneh dengan penampilan menyeramkan, tetapi Sheina tampaknya tidak melihatnya seperti itu.
Sementara itu, Liam berlari menuju ruangan tempat Sheina berada, berusaha menghentikannya. Dia menggelengkan kepala, merasa frustrasi, tetapi tidak bisa menahan senyum saat melihat betapa cerianya Sheina meski di tengah situasi yang menegangkan.
Liam berharap Sheina tidak terlalu dekat dengan hantu itu, dan dalam hati dia berdoa agar sosok penampakan itu tidak terlalu terpengaruh dengan usahanya untuk berpacaran. Saat dia akhirnya sampai di sisi Sheina, dia menggenggam bahunya dan menatapnya dengan tatapan serius, memberi isyarat agar dia kembali.
Raka, yang masih ketakutan, berusaha menyusul dan berbisik, “Kita harus pergi! Sebelum dia berubah jadi jahat atau semacamnya!”
Namun, Sheina masih terpesona dengan sosok hantu itu, tidak peduli dengan kerisauan teman-temannya. "Ayo, kita ngobrol! Gimana rasanya jadi hantu?!"
Liam dan Raka hanya bisa saling memandang, merasakan campuran ketakutan dan kebingungan.
Liam menggenggam bahu Sheina lebih kuat, mencoba menariknya menjauh dari sosok hantu yang tampak bingung dengan interaksinya. Dia menggelengkan kepala, berusaha keras untuk memberi isyarat bahwa ini bukan saatnya untuk bercanda. Sementara itu, Raka berdiri di belakang Liam, tampak semakin gelisah dengan situasi yang tidak biasa ini.
“Sheina, kita tidak bisa tinggal di sini!” Liam berusaha menyampaikan pesan tanpa suara, dengan ekspresi wajah yang tegas. Namun, Sheina justru tersenyum lebar, mengabaikan segala peringatan.
“Ayolah, Om Liam! Coba lihat dia! Dia terlihat sangat menarik! Kita bisa bertanya-tanya tentang dunia hantu!” Sheina balas menatap Liam dengan mata berbinar, seakan semua ketegangan di sekitarnya lenyap.
Sosok hantu yang didekati Sheina, terlihat semakin bingung, seolah tidak tahu harus berbuat apa menghadapi gadis ceria di depannya. Ia mengeluarkan suara gemerisik, tetapi itu lebih terdengar seperti tawa kecil yang tidak bisa dimengerti.
Raka, yang mulai merasa tidak nyaman dengan suasana, berbisik kepada Liam, “Kita harus melakukan sesuatu. Dia mungkin tidak bermaksud jahat, tetapi kita tidak bisa membiarkan Sheina terlalu dekat!”
Liam mengangguk, berusaha menenangkan Raka. “Kita harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian Sheina,” bisiknya.
Dia lalu beralih ke Sheina, mencoba menarik perhatian gadis itu. “Sheina, bagaimana kalau kita cari hantu lain? Ada banyak yang bisa kita temui di sini, kan?” Liam berusaha mengalihkan perhatiannya.
Sheina menatap Liam dengan ragu. “Tapi… aku sudah menemukan yang satu ini!” Dia menunjuk ke arah hantu, yang kini tampak semakin santai.
Menyadari bahwa usaha Liam untuk bernegosiasi tidak berhasil, Raka mengambil langkah berani. “Ayo, Sheina! Jika kita tidak pergi sekarang, kita mungkin tidak akan bisa pergi sama sekali!” Dia berusaha memberi nada mendesak, berharap bisa mempengaruhi keputusan Sheina.
Liam mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk merayu Sheina lebih jauh. Dia mengingat satu hal yang selalu berhasil, “Sheina, kamu ingat film horor yang kita tonton kemarin? Di mana karakter utamanya terjebak karena terlalu dekat dengan hantu? Kita tidak ingin itu terjadi padamu, kan?”
Akhirnya, kalimat itu menarik perhatian Sheina. Dia menatap Liam, kemudian kembali melihat sosok hantu yang kini tampak tidak berdaya. “Baiklah, Om,” dia mengalah, meskipun dengan sedikit enggan. “Tapi aku akan kembali lagi!”
Liam tersenyum lega, dan Raka menghela napas panjang, seolah beban di pundaknya berkurang. “Ayo, kita pergi sebelum hantu itu berubah pikiran,” Raka berkata sambil berjalan mundur, menatap hantu dengan rasa ingin tahunya.
Begitu mereka berbalik untuk pergi, Liam melemparkan satu tatapan terakhir ke arah hantu, berharap hantu itu tidak akan mengganggu mereka lagi. Mereka bertiga pun keluar dari bangunan asrama terbengkalai, diiringi suara samar dari hantu yang tampak berusaha memanggil Sheina kembali, tetapi tidak ada yang mendengar.
🐾
Sheina kembali ke sekolah dengan wajah merengut kesal. Pasalnya, semalam Liam menyeretnya pulang begitu saja dan mengancam akan melarangnya ikut lagi.
"Shei! Kamu sudah baikan?" Tanya Nadia saat melihat Sheina datang ke sekolah. Lalu alisnya berkerut saat melihat wajah Sheina yang tampak kusut, "Kamu kenapa?"
"Nggak apa, kok," Sahut Sheina sambil menengkulupkan kepalanya di meja.
"Sekolah jadi heboh karena kamu bersama om Liam. Apa kau tinggal bersamanya?" Tanya seorang siswi penasaran. Sheina mendongak dan melihat sejumlah siswi lain tengah mengerubungi mejanya.
Sheina menatap gadis itu sebentar. Perkataannya memancing rasa penasaran teman-temannya yang melihat kejadian dua hari lalu, dimana Liam datang menjemput Sheina dalam kondisi sakit.
"Ya. Aku tinggal bersamanya. Dia... Pamanku."
"Sungguh? Sayang sekali dia bisu. Aku tidak tahu bagaimana kau menjalani harimu dalam kesunyian." Celetuk salah satu siswa bernama Arina dengan prihatin  sambil tersenyum mengejek.
"Lalu, apa masalahnya denganmu?"
Arina hendak menjawab, tetapi bel jam masuk lebih dulu berbunyi membuat gadis itu beranjak dari sana dengan ekspresi kesal.
"Haah~ Ada-ada saja." Gerutu Nadia sambil mengeluarkan buku pelajaran, "Mereka terobsesi dengan pria tampan yang sempurna."
"Karena fisik lebih menarik daripada attitude. Jadi, wajar aja nyesel belakangan." Balas Sheina sarkas.
Nadia menatap Sheina dengan bingung. Apakah Sheina tengah patah hati? Meski baru beberapa hari bersama, namun Sheina tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis, meski gadis itu menjadi perbincangan hangat di sekolah karena parasnya yang imut.
🐾
"Gue kasi lu tantangan." Ucap Arka sambil tersenyum smirk saat melihat Sheina pulang dengan berjalan kaki bersama Nadia.
"Tantangan apa?" Tanya salah satu temannya penasaran.
"Lu lihat cewek berambut cokelat itu? Siapa yang mau nyium dia bakal gue kasih duit." Tantang Arka sambil mengeluarkan sejumlah uang yang berjumlah besar.
"Lu gila?! Dia anak orang, goblok! Masa lu tega gitu?!" Pekik salah satu diantara mereka tak percaya.
"Emang gue peduli. Gue yakin tuh cewek bakal suka. Jadi lakuin apa aja ke dia, bebas."
Di sisi lain, Sheina dan Nadia berjalan bersama bertepatan dengan seorang pemuda yang berjalan mendekati Sheina. Tanpa di duga, pemuda itu mencium Sheina sekilas sambil meremas dadanya, membuat gadis itu tertegun sejenak sebelum suara tawa dan sorakan menyadarkan gadis berparas imut itu.
"Apa yang kau lakukan padanya, hah!" Marah Nadia seraya menatap tajam pemuda itu.
"Bukan urusan lo, Njir! Lagipula jadi cewek kok murahan banget."
Sheina menatap pemuda itu dengan mata berkaca-kaca siap tumpah, namun kilatan kebencian menari-nari di matanya, "Murahan lu bilang? Lu seenaknya nyuri ciuman gue dan lu ngatain gue murahan?! Bangsat lu, njing!" Teriak Sheina histeris sambil memukul pemuda itu dengan brutal.
"Sudah, Shei! Dia bisa mati!" Seru Nadia mencoba menenangkan Sheina yang mengamuk.
"Gue nggak peduli! Dia ngelecehin gue dan harus di beri pelajaran! Biar nggak sembarang anak orang yang dilecehkan  sama dia!" Amuk Sheina sambil menghajar pemuda itu dengan brutal.
"Sheina! Hentikan!" Teriak Aska sambil mendorong Sheina kasar, "Nggak usah banyak drama, lu! Gitu doang!"
"Gitu doang? Kata lo gitu doang, hah?! Gue yang hidup hancur gara-gara ayah lu masih pantes ngomong kek gitu?! Lu yang udah ngerebut ibu gue, membuat gue jadi piatu menahan rindu karena kalian larang ketemu ibu gue masih pantas ngomong kek gitu, hah?! Kenapa nggak bunuh gue aja sekalian, bangsat! Lu buat taruhan buat ngancurin gue, kan? Gue juga nggak mau punya saudara kek lu!" Sheina berteriak histeris sambil melayangkan  pukulan kepada Arka.
Arka tertegun mendengar penuturan Sheina, mengabaikan rasa sakit akibat bogeman mentah yang dilayangkan oleh gadis itu.
Beberapa orang mencoba meleraikan mereka meski kesusahan. Tenaga Sheina benar-benar luar biasa membuat Nadia berusaha menenangkan gadis itu. "Shei, udah, ya. Kita pulang."
Sheina terengah-engah dan menatap Arka dengan  kebencian. Gadis itu segera pergi meninggalkan Arka yang tertegun, dengan luka memar menghiasi wajahnya.

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang