Bab 9

6 0 0
                                    

Sheina menatap uluran tangan Liam dengan lemah. Entah mengapa perutnya semakin tidak nyaman. Dengan ragu gadis itu menerima uluran tangan pria itu dan turun dari mobil dengan pelan. Dia berjalan tertatih, sebelum tiba-tiba Sheina merasa sakit dan mual yang amat hebat menerjangnya.
Dengan segera Sheina mendorong Liam yang sukses membuat pria itu kaget dan gadis itu berlari kecil menuju selokan dengan wajah pucat.
'Hooeeekkk'
Sheina akhirnya muntah, namun yang keluar bukanlah makanan yang tadi dia makan, tetapi kerikil, bilah bambu kecil-kecil dan jarum diiringi bau busuk yang hebat.
Sheina menatap apa yang keluar dari perutnya dengan mata membelalak. Ada rasa takut dan tak percaya yang menghampirinya. Kenapa bisa makanan tadi berubah menjadi benda-benda seperti ini?
Berbagai pertanyaan dan spekulasi bermunculan di kepalanya, lalu saat mengingat bagaimana perlakuan keluarga padanya membuat Sheina mengepalkan tangannya, namun perutnya kembali mulas dan gadis itu kembali muntah.
Liam menghampiri Sheina yang masih setia muntah-muntah dan terkejut melihat apa yang keluar dari perut gadis itu. Segera pria itu memijat tengkuk Sheina dengan lembut sambil merapalkan beberapa mantra di pikirannya.
Sheina terkulai lemas. Dengan segera Liam menggendong gadis itu masuk ke rumah dan membaringkannya di sofa. Pria itu mengambil tissue dan bergegas ke ruang kerja pribadinya, mengambil sebotol air mineral dan memberikannya pada Sheina.
Sheina meminumnya sampai habis. Tubuhnya tiba-tiba melemah dan  nafasnya memburu dengan cepat.
Liam berjongkok di samping Sheina, memijat tengkuk gadis itu dengan pelan. Pria itu mengambil ponsel dan mengetik dengan cepat, lalu menunjukkan pada Sheina, "Sudah lebih baik? Apa yang terjadi?"
Sheina menatap Liam dengan ragu, namun melihat raut wajah menenangkan dan seolah-olah berkata 'jangan khawatir, aku ada di sini untuk melindungimu,' lalu dia menceritakan apa yang dia lihat di kantin sekolah.
"Tadi aku pergi ke kantin bersama Nadia. Aku nggak beli apapun. Lalu aku melihat ada sesosok anak kecil dengan bau busuk di sana. Lalu aku juga melihat sesosok makhluk berlendir yang menumpahkan lendir busuk di makanan yang di pesan Nadia. Dia juga menatapku tajam. Lalu aku merasa mual dan ingin muntah, tetapi tidak ada yang keluar."
Liam mendengarkan.
Sheina teringat dengan sisa bekalnya dan memutuskan memeriksa tasnya. Dia membuka kotak bekal dan mengernyitkan dari saat melihat isinya.
"Om, tadi aku udah makan ini setengah. Tapi kenapa yang keluar justru kerikil dan bilah bambu?" Tanya Sheina seraya menatap Liam dengan kebingungan.
Liam menggelengkan kepala tidak tau, namun instingnya mengatakan seseorang tengah mencoba mengirim guna-guna pada Sheina. Pria itu mengambil buku catatan dan pulpen, lalu menulis di sana dengan cepat, "Istirahatlah. Setelah ini kau akan membaik."
Sheina menatap Liam dengan ragu. Meski sudah satu setengah bulan tinggal bersama Liam, dia merasa benar-benar aman. Namun dia juga khawatir jika suatu Liam akan pergi dan dia tidak memiliki siapapun di sisinya di saat dia sudah terlalu bergantung pada pria itu.
"Aku harus mandiri." Pikir Sheina penuh tekad.
🐾
Sheina duduk di sofa sambil memeluk lututnya, membenamkan wajah diantara kedua lengannya. Sementara Liam duduk di sofa single dan tampak sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
Sheina menghela nafas panjang, tampak menimang sesuatu. Dia sudah tinggal sebulan lebih di rumah Liam dan memutuskan menceritakan kisah hidupnya pada pria itu.
Dia menatap Liam dalam diam. Entah mengapa dia mudah percaya begitu saja pada pria tampan yang bisu itu. Selain memberinya tempat tinggal dan memberi makan, pria itu juga memenuhi kebutuhan Sheina, hal yang tidak pernah dapatkan sejak kecil dari keluarganya.
"Om Liam." Panggil Sheina dengan nada ragu.
Jemari Liam berhenti menulis dan mengalihkan pandangannya ke arah Sheina.
"Aku udah sebulan lebih tinggal di sini. Om belum mengetahui apapun tentang aku, aku juga belum tau apapun tentang Om." Sheina menatap Liam yang kini menutup laptopnya, terlihat pria itu melemparkan tatapan penasaran dan serius di matanya, "Sebenarnya, Om. Malam itu aku kabur dari rumah ayah. Ayah menyiksaku dengan brutal, mengira aku mencuri perhiasan milik keluarganya. Dia memukulku dengan sabuk dan menamparku. Bahkan anak kesayangannya mengatakan aku sering pergi ke luar rumah bersama pria kaya raya, padahal aku nggak pernah ngelakuin hal kayak gitu. Aku juga nggak pernah pacaran." Sheina mengusap air matanya yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya.
Rahang Liam mengeras, menahan amarah yang siap meledak atas apa yang terjadi pada kehidupan Sheina. Namun dia berusaha mengendalikan emosinya.
Liam mengambil buku catatan dan menulis dengan cepat, "Mereka tidak pantas bersamamu."
Sheina tertegun sejenak dan melanjutkan ceritanya, "Aku tinggal bersama ayah sejak delapan bulan lalu. Awalnya mereka baik, namun setelah dua minggu, istri dan anaknya mulai menyiksaku perlahan. Nenek juga sering memakiku tanpa alasan yang jelas. Dan ayah percaya saja apa yang mereka ucapkan. Begitupun dengan bibi yang selalu memarahiku sejak aku masih sangat kecil."
Liam mendengarkan cerita Sheina dalam diam, berusaha menahan rasa marah yang siap membuncah saat mendengar kisah gadis itu.
"Ibuku, sudah menikah sejak lima tahun lalu. Tapi, dia tidak membawaku. Dia bilang aku hanyalah sebuah kesalahan. Kalau aku kesalahan, seharusnya aku tidak perlu dilahirkan, bukan?" Sheina terkekeh miris.
"Kau bukan kesalahan. Mereka yang seharusnya bersyukur sudah melahirkan mu. Bahkan mereka bukan orang tua yang baik untukmu." Tulis Liam dan menyodorkan ke arah Sheina. Pria itu menatap Sheina dengan khawatir dan prihatin.
Sheina terdiam setelah membaca catatan Liam. Pria itu tidak menghakiminya dan Sheina memutuskan melanjutkan ceritanya.
"Selama ini aku di besarkan oleh seorang kakek tua dan seorang paman preman. Mereka mengajarkanku banyak hal untuk bertahan hidup. Namun setahun lalu mereka menghilang entah kemana dan kata orang-orang, aku ini anak depresi karena tinggal seorang diri." Sheina mengambil nafas dalam, mencoba mengatur emosinya yang siap meledak.
"Mereka mengatakan aku gila. Bahkan karena itu suami baru ibu melarangku bertemu dengannya. Aku ingin bertemu ibu karena rindu, tapi aku benci tatapan mereka. Mereka juga mengancamku dengan mengirimi hantu kalau aku membuat keturunan mereka menangis. Bahkan aku melihat satu-satunya orang yang peduli padaku di bawa pergi saat aku masih kecil. Aku..., hiks...aku... Aku hanya menginginkan sebuah keluarga yang mau nerima dan menyayangiku. Bukan dilahirkan dan diperlakukan kayak sampah."
Liam mendekati Sheina dan menarik gadis itu ke pelukannya. Sheina yang baru pertama kali merasakan pelukan hangat yang memberi rasa aman tidak bisa mengontrol emosinya. Tangisan Sheina meledak hebat, tubuhnya terguncang dengan tangisan yang terdengar begitu memilukan.
Sheina tidak peduli. Dia mengeratkan pelukan seiring tangisan yang semakin keras di pelukan Liam. Selama ini dia selalu sendirian, merasa di buang dan tidak diinginkan.
Liam menepuk-nepuk punggung gadis itu dengan lembut, membiarkan bahunya basah dengan tangisan Sheina. Pria itu mengerti bagaimana beratnya kehidupan gadis belia berparas imut itu. Sorot mata keraguan dan kesepian yang sering kali dia lihat di manik opal itu menjelaskan luka yang berkepanjangan.
🐾
"Dimana anak itu?" Tanya seorang pria paruh baya dengan kacamata berbingkai perak dengan gagang biru gelap yang masih tampan di usianya yang berada di pertengahan empat puluh tahun. Pria itu tengah sibuk berkutat dengan setumpuk dokumen, mengabaikan beberapa orang yang menundukkan kepala di hadapannya.
"Kami sudah mencarinya, Tuan. Namun dia tidak terlihat dimanapun." Ucap salah satu diantara mereka.
Pria itu menghentikan kegiatannya dan menatap mereka dengan dahi berkerut. Kemana sebenarnya anak itu pergi?
"Baik. Kembalilah bekerja. Cari anak itu sampai ketemu!" Titahnya.
"Baik, Tuan!"
Setelah orang-orang itu pergi, pria tampan itu bersandar di sandaran kursinya. Dia adalah Arkan Aringga Kusuma, salah satu keluarga terkaya di kota.
"Kemana anak sialan itu pergi?" Gumamnya pelan, "Merepotkan saja."
'Cklek'
Seorang wanita cantik dengan dress putih memasuki ruangannya dengan sebuah nampan berisi secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Dia menghampiri Arkan dan meletakkan teh hangat di meja kerja pria itu.
"Sayang, ada masalah apa?" Tanyanya lembut.
"Anak itu menghilang. Aku khawatir dia akan membuat keluarga kita malu karena sudah berani kabur saat hamil." Ucap Arkan dengan kekesalan yang memuncak.
"Maksudmu, Sheina?"
"Ya. Anak sialan itu."
"Maafkan aku. Seandainya waktu itu aku tidak memarahinya, mungkin dia masih tetap di sini." Ucapnya penuh sesal, tak lupa dengan mata berkaca-kaca siap tumpah.
Arkan menarik wanita itu ke pelukannya, "Bukan salahmu. Tinggal bersama kita telah membuat anak itu tidak mengerti batasan sehingga membuatnya merasa bebas. Aku akan menemukannya dan menghukumnya saat kembali nanti." Ucapnya menggebu.
Wanita itu menyeringai mendengar perkataan Arkan. Sedikit lagi, dia akan berhasil menyingkirkan Sheina dari keluarga Kusuma.

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang