Bab 6

5 0 0
                                    


Rian berdiri di depan pintu masuk taman kota, mengamati kerumunan orang-orang yang berjalan santai. Sudah sebulan sejak Sheina menghilang dari rumah, dan ia tidak bisa menahan rasa penasaran dan kemarahan yang berkecamuk di dalam dirinya. "Dia pasti bersembunyi di suatu tempat," pikirnya, menendang batu kecil di tanah dengan frustrasi. "Bisa-bisanya dia pergi tanpa memberitahuku."
Dengan jari-jari yang terlipat di saku celananya, Rian mulai menyusuri jalan setapak, matanya melirik ke setiap sudut. "Kalau aku menemukan dia, pasti dia akan merasakan rasa sakit yang lebih parah dari sebelumnya," ujarnya pada diri sendiri, senyumnya menyiratkan niat jahat.
Saat ia berjalan, Rian melihat sekelompok remaja di dekat taman bermain. “Hei, kalian lihat cewek bernama Sheina?” tanyanya, berusaha terdengar santai.
Salah satu remaja, yang mengenali nama Sheina, menjawab, “Oh, kamu maksud yang imut dan cengeng itu? Dia kabur dari rumah, kan? Aku dengar dia tinggal sama orang lain sekarang.”
Rian mendengus, wajahnya semakin meruncing. “Siapa orang itu? Dia tidak boleh bersembunyi selamanya.”
Remaja itu mengangkat bahu. “Tidak tahu, kami tidak berhubungan lagi. Tapi dia tampaknya lebih baik sekarang, tidak seperti dulu.”
Rian merasa kemarahan mulai membara di dalam dirinya. “Dia pasti hanya berpura-pura. Keluarga ini yang membuatnya kuat. Dia harus kembali.”
Ia melanjutkan pencariannya ke lokasi lain, berusaha mengingat semua tempat yang mungkin Sheina kunjungi. “Kalau aku bisa menemukan dia, aku akan membuatnya membayar semua penderitaannya,” ucap Rian sambil melangkah cepat.
Setelah beberapa jam mencari tanpa hasil, Rian berhenti sejenak di sebuah kafe. Ia memesan kopi dan duduk di pojok, otaknya masih berputar dengan rencana untuk menemukan Sheina. “Dia tidak akan bisa bersembunyi selamanya. Aku akan menemukanmu, Sheina, dan ketika aku melakukannya, kamu akan merasakan sakit yang lebih dalam dari sebelumnya,” gumamnya, menatap kosong ke luar jendela, seakan membayangkan wajah Sheina yang ketakutan.
Dengan hati yang penuh dendam, Rian bertekad untuk tidak berhenti sampai ia menemukan Sheina, yakin bahwa waktunya untuk membalas dendam akan segera tiba.

🐾
Sheina duduk di sofa ruang tamu sambil membaca beberapa buku pelajaran. Tinggal seorang diri membuat gadis itu bertekad mendapatkan setidaknya keringanan dalam biaya sekolah.
Sementara Liam tampak sibuk membaca buku yang entah apa judulnya. Sesekali pria itu menatap Sheina yang fokus belajar sebelum suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka.
Liam mendekati pintu dengan langkah mantap dan membukanya lebar-lebar. Di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya dengan tatapan kosong, wajahnya menyiratkan ketakutan dan kegelisahan. Liam mempersilahkan pria itu memasuki rumahnya.
"Tolong saya, Tuan." Lirihnya putus asa, "Saya tidak tau harus pergi kemana. Saya merasa Tuan bisa menyelamatkan saya."
Untuk pertama kali nya Sheina melihat seseorang bertamu ke rumah Liam, dan dia datang dengan kondisi kacau yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Ia masih belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya dilakukan Liam, dan ketika orang asing datang dengan ekspresi panik dan putus asa, perasaan aneh itu semakin kuat.
Sheina membereskan bukunya dan masuk ke kamar, memberikan ruang untuk mereka. Gadis itu berdiri agak jauh dari pintu, mengamati dengan seksama sambil melipat tangan di dada. Saat pria paruh baya itu masuk, suhu dingin mulai menyelimuti ruangan.
Sheina yang melihat itu berbisik dalam hati, "Kenapa dia datang ke sini seolah om Liam bisa menyelamatkan dia dari sesuatu yang sangat mengerikan? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Pria itu langsung berbicara terbata-bata tentang makhluk tak terlihat yang menghantui rumahnya, mengeluh tentang malam-malam tanpa tidur, dan benda-benda yang bergerak sendiri. Sheina merasa ada suasana yang semakin mencekam di dalam ruangan, namun memilih ikut mendengarkan.
Ketika Liam dengan tenang mendengarkan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sheina mulai merasa semakin tidak nyaman. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dia hanya bisa menonton sambil sesekali melirik Liam, berharap ada penjelasan.
Sheina bertanya dalam hati, "Kenapa orang ini datang kemari? Apa yang om Liam bisa lakukan untuknya? Ini mulai terasa semakin aneh."
Namun, meski perasaan aneh itu terus membayangi, Sheina juga merasakan ketertarikan. Dia ingin tahu bagaimana Liam akan menangani situasi ini dan seberapa dalam keterlibatannya dalam dunia supranatural ini. Seiring pria paruh baya itu semakin terisak, Sheina mulai merasakan campuran ketidaknyamanan dan rasa ingin tahu yang semakin membesar.
Sheina yang penasaran memutuskan mendekati Liam dan berbisik pelan, "Apa yang sebenarnya terjadi, Om?"
Liam menatap Sheina dalam diam dan memberi isyarat untuk membuat minum. Dengan ragu gadis itu berjalan menuju dapur dan kembali dengan membawa secangkir teh.
"Silahkan minum dulu, Pak." Ucap Sheina dengan nada ramah, merasa sedikit prihatin pada pria paruh baya itu.
Dengan gemetar pria itu mengambil teh dan meminumnya, lalu pria itu semakin terisak dan menceritakan bagaimana benda-benda di rumahnya bergerak sendiri dan suara-suara berbisik di telinganya setiap malam, Sheina yang mendengar cerita pria itu tidak bisa lagi hanya diam. Ia menegakkan tubuhnya, mencoba menahan rasa gelisah yang semakin memuncak. Pria itu terlihat benar-benar ketakutan, dan meskipun Sheina sering terlibat dalam perkelahian fisik dan kekerasan di masa lalu, menghadapi ketakutan semacam ini adalah sesuatu yang benar-benar asing baginya.
Sheina hanya bisa berbisik pada dirinya sendiri dengan pelan, "Ini nggak masuk akal, tapi... kalau orang ini datang ke sini, pasti ada alasan, kan?"
Gadis itu menatap Liam tetap tenang seperti biasa, mulai menyiapkan beberapa alat ritual di atas meja. Lilin, dupa, dan beberapa jimat ditata dengan rapi di hadapannya.
Sheina baru pertama kali melihat hal tersebut dan belum sepenuhnya mengerti fungsi benda-benda itu, dia tahu betul bahwa apa yang akan terjadi selanjutnya bukan hal biasa.
Pria tua itu terus berbicara, menyebutkan bayangan hitam yang selalu mengintai di sudut matanya, dan Sheina merasa bulu kuduknya meremang. Suasana ruangan mulai terasa semakin berat, dan udara di sekelilingnya seakan menjadi lebih dingin.
Sheina bertanya sedikit ragu, " Om Liam, apa kamu... serius mau membantu orang ini? Maksudku, kita bahkan nggak tahu apakah ini beneran hantu atau cuma halusinasi."
Liam menatap Sheina dengan mata yang tenang, seolah memberitahunya bahwa ini bukan hal baru baginya. Tanpa berkata-kata, Liam melanjutkan ritualnya, mulai menyalakan lilin dan menutup mata. Tangannya yang terampil bergerak dengan presisi, memperlihatkan bahwa dia sudah sangat ahli dalam menangani hal semacam ini.
Sheina yang pertama kalinya melihat kegiatan Liam, meski masih ragu memilih memutuskan untuk tetap di tempatnya, mengamati dengan cermat setiap gerakan Liam. Rasa penasarannya semakin kuat, meski diiringi dengan sedikit ketakutan. Dia belum pernah melihat Liam bekerja seperti ini sebelumnya, dan situasi ini benar-benar membuka matanya pada sisi lain dari kehidupan pria bisu yang selama ini dia anggap hanya diam dan penuh misteri.
Sheina bertanya dalam hati, "Apa yang sebenarnya kamu lakukan, om Liam? Kenapa orang-orang seperti dia datang padamu?"
Pria tua itu akhirnya duduk di kursi, bergetar dan memeluk dirinya sendiri, sementara Liam melangkah mendekat dengan lilin yang menyala di tangannya. Sheina memperhatikan dengan napas tertahan, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seiring Liam mulai melakukan ritualnya, Sheina mulai menyadari bahwa mungkin, ada lebih banyak hal yang belum ia pahami tentang dunia ini—dan tentang Liam.
Meskipun Sheina masih merasa asing dengan semua ini, ada sesuatu yang menariknya untuk tetap tinggal dan menyaksikan, seolah ia berada di ambang pengetahuan baru yang akan mengubah cara pandangnya terhadap dunia yang selama ini ia pikir sudah sepenuhnya ia pahami.
Sheina yang melihat itu hanya bisa berbisik pelan, "Mungkin... aku seharusnya tetap di sini dan melihat apa yang terjadi. Mungkin ini adalah bagian dari takdirku juga."
Dan dengan perasaan yang campur aduk, Sheina memilih untuk tidak melangkah keluar pintu, melainkan tetap berdiri di sana, mengamati dengan saksama apa yang akan Liam lakukan selanjutnya.
🐾
Suara teriakan mirip raungan terdengar di rumah tua itu. Seorang pria paruh baya berguling sambil melolong kesakitan saat Liam mengalungkan sebuah jimat di leher pria itu.
"Panas! Panas! Lepaskan benda ini!"
Liam tetap tenang dengan bibir komat kamit membacakan sebuah mantra. Mengabaikan jeritan kesakitan dari pria tua itu.
Sheina menatap pria itu dengan sedikit gemetar. Suara pria itu berubah serak seperti kakek-kakek, diiringi suhu yang terasa berat. Namun mata Sheina membelalak saat melihat sesuatu berwarna hitam keluar dari tubuh pria itu, membentuk sebuah sosok hitam tinggi dengan mata merah menyala yang menatap marah ke arah Liam.
"A-Apa itu?!" Seru Sheina kaget. Aura negatif terpancar begitu kuat, membuat nafas gadis itu terasa sesak. Air matanya menetes tanpa bisa di cegah.
Liam menatap sosok itu dengan tatapan tajam, tatapan yang baru pertama kali Sheina lihat. Sangat tajam dan membuat bulu kuduknya meremang. Pria itu melayangkan tangan di udara, membentuk simbol rumit dengan lihai. Gerakannya tenang namin penuh makna, membuat sosok itu mengaum marah sebelum hilang dalam kepulan asap diiringi jeritan yang menggetarkan seisi rumah.
Udara dalam ruangan itu kembali tenang. Pria tua itu mengerjapkan mata dengan nafas terengah-engah, wajah basah akan air mata, namun terlihat lega.
"Terimakasih, terima kasih banyak." Ucap pria itu penuh rasa syukur.
Liam mengambil catatan kecil dan menulis di sana dengan cepat, lalu menunjukkan pada pria paruh baya itu, "Dia sudah pergi. Bapak sudah aman sekarang."
Pria itu berdiri tertatih dan duduk bersandar di sofa. Dia merogoh saku dan mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan.
"Ini bayarannya, tolong terima." Ucap pria itu.
Liam menolaknya dengan menggeleng. Namun pria tua itu memaksa. Liam yang tidak punya pilihan memilih menerima uang itu sebanyak tiga lembar saja.
Liam menulis cepat di buku catatannya dan menunjukkan pada pria tua itu, "Sisanya untuk biaya perjalanan Bapak."
Dan pria itu menangis terharu. Baru pertama kalinya dia bertemu dengan orang sebaik Liam.
Sementara Sheina menatap kejadian yang baru saja terjadi dengan kebingungan. Siapa sebenarnya Liam?

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang