Bab 11

2 0 0
                                    

"Eh, ada mbak Noni cantik~ Sedang apa, mbak?"
Liam yang tengah memetik beberapa sayuran di kebun belakang menatap ke arah Sheina dengan dahi berkerut. Tidak ada siapapun di sana, kecuali sebuah aura berwarna hitam samar membentuk penampakan tipis.
"Eh, ada om poci juga. Ini masih siang, loh. Kok masih keliaran?"
Liam mendekati Sheina dan menepuk pundaknya, membuat gadis itu menatap Liam dengan kaget, lalu nyengir lebar, "Eh, Om. Tadi ada noni sama om poci lewat. Katanya pengen jalan-jalan, gitu. Nyari bahan gibah di dunia perhantuan katanya."
Liam menatap Sheina dengan alis berkerut lalu mengambil ponsel dan mengetik sesuatu di sana, "Hati-hati. Tidak semua hantu itu baik."
Sheina tersenyum lebar, "Iya, Om. Tapi mereka ramah, kok. Bahkan tanpa mereka, mungkin aku udah bunuh diri sejak dulu."
Liam menatap Sheina dengan tatapan prihatin dan menepuk-nepuk punggungnya lembut.
"Tapi, aku juga berpikir. Kalau aku mati bunuh diri, berarti aku tidak bersyukur lahir menjadi manusia."
Liam tersenyum tipis dan merangkul Sheina, seolah-olah mengatakan jika Liam selalu ada di sisinya.
"Makasih, Om. Sekarang aku punya Om yang selalu menyayangiku."

🐾
"Mau buat perjanjian denganku?" Tanya kucing itu sambil meregangkan tubuhnya. Dia duduk dengan angkuh seraya menatap Sheina yang sibuk belajar.
"Perjanjian apa?"
"Kalau kamu mau berburu hantu, aku akan mengabulkan apapun permintaanmu." Tawar si kucing sambil menatap Sheina dengan pose angkuh yang justru terlihat menggemaskan.
Sheina menutup bukunya lalu menatap kucing itu dengan sebelah alis terangkat, "Serius? Nggak tertarik."
"Aku bisa mengabulkan apapun permintaanmu. Asalkan kau bisa membantu satu hantu selama satu hari."
Sheina menghentikan kegiatannya dan menatap si kucing dengan skeptis, "Jangan konyol. Memangnya lu bisa mengabulkan apa? Kalau beneran, gue pengen minta duit yang banyak."
"Tentu saja. Aku ini bukan kucing sembarangan, loh. Asalkan kau membantu satu hantu, maka apapun permintaanmu akan aku kabulkan."
Sheina tampak berpikir. Jika apa yang di tawarkan oleh kucing itu benar, maka dia tidak akan merepotkan Liam dan menjadi beban pria itu.
"Baik."
"Mari tos dulu." Kucing itu mengangkat tangannya yang di sambut oleh Sheina, "Kontrak sudah selesai. Jadi, misi pertama kau harus pergi mencari hantu di rumah kosong."
"Oke. Itu kecil. Kalau lu boong, gue bakal jadiin lu hiasan meja." Ucap gadis itu  mengancam dan bergegas keluar kamar.
"Sheina, ya. Menarik." Seringai kucing itu.
"Om mau kemana sore-sore begini?" tanya Sheina saat melihat Liam keluar dengan pakaian rapi namun sederhana. Hoodie hitam, jeans dan sepatu kets dengan warna gelap, berbeda saat dia pergi keluar atau bekerja.
Liam mengambil buku catatan dan menulisnya dengan cepat, lalu memperlihatkan pada Sheina, "Urusan paranormal. Kau diam di rumah."
"Ikut, ya Om~ Aku ingin tau seperti apa pekerjaan Om yang satu ini." Nada suara Sheina berubah manja.
Liam menggeleng pelan dan menuliskan sesuatu di buku catatan yang selalu dibawanya.
“Shei, ini urusan serius. Tidak untuk anak-anak.”
Sheina cemberut, lalu dengan cepat mengganti ekspresinya menjadi senyum memohon yang paling manis. "Tapi aku bukan anak-anak lagi, Om. Aku kan tangguh, bisa jaga diri. Aku juga mendapatkan misi."
Liam menaikkan sebelah alis, mengangkat papan lagi dengan tulisan baru. “Misi apa?”
Sheina mengangkat bahu, berpura-pura misterius. "Rahasia! Pokoknya, Chaka mau aku bantu mengusir sesuatu. Mungkin hantu? Mungkin makhluk aneh? Lagian, Om. Aku tahu Om juga sering urus yang kayak gitu, kan?"
Liam menatap Sheina lebih lama kali ini, matanya memancarkan sedikit kekhawatiran. Tapi sebelum dia bisa menuliskan penolakan, Sheina mendekat, meraih tangannya, dan menatap penuh harap. "Ayolah, Om. Aku janji nggak bikin masalah. Lagian, kalo ada hantu, siapa tau dia mau ngobrol sama aku. Kan aku bisa liat mereka juga."
Liam berhenti dan berpikir sebentar.
Sheina langsung menyadari keraguannya dan menambahkan, "Dan kalo aku di rumah sendirian, siapa tau Chaka ngajak tawuran sama hantu. Bahaya, Om!"
Liam menghela napas panjang. Tanpa kata-kata, dia mengusap kepala Sheina dengan lembut, lalu menulis cepat di buku catatan. “Pakai jaket. Jangan jauh-jauh dariku.”
Senyum Sheina langsung mengembang lebar. "Yes! Terima kasih, Om!" Dia melompat kecil kegirangan dan segera lari mengambil jaket, bersiap untuk petualangan pertamanya.
Chaka, si kucing misterius, hanya mengeong malas dari sudut ruangan, seolah setuju dengan misi yang sedang berlangsung. Mungkin, perjalanan malam itu akan membawa lebih banyak kejutan dari yang Sheina atau Liam bayangkan.
🐾
Sheina mengikuti Liam ke hutan pinggiran kota untuk ekspedisi supranatural. Mereka akhirnya tiba di sebuah tempat terbengkalai.
"Jadi, ini tempatnya, Om?" Tanya Sheina sambil mengamati sekitar dengan binatang penasaran.
Liam mengangguk bertepatan dengan munculnya seorang pria dari balik semak-semak. Wajahnya enak dilihat dengan senyum lebar menghiasi. Tak lupa kumis tipis menghiasi bibirnya. Pakaiannya terlihat lusuh dan rambutnya sedikit berantakan. Dia adalah Raka, sahabat baik Liam yang merupakan seorang konten horor yang baru naik daun. Pria itu mendekati Liam dengan memasang wajah minta penjelasan saat melihat seorang gadis berparas imut berkeliaran di sekitar pria itu.
Raka menatap Sheina dari atas ke bawah dengan ekspresi heran.
“Ini anak siapa, Liam? Kenapa bawa bocah? Jangan-jangan kamu pensiun jadi paranormal terus jadi babysitter, ya?”
Sheina langsung menatapnya tajam dan melipat tangan di dada. “Babysitter? Denger ya, Om. Gue ini bentar lagi sweet sixteen! Nggak bocah lagi, tahu?”
Raka tertawa kecil, menatap Liam sambil menyikut lengannya. “Seriusan? Jangan-jangan dia cuma numpang jalan biar bisa ikut-ikutan nempel sama kamu?”
Sheina menyipitkan mata. “Yang nempel siapa? Gue tuh ngikutin ekspedisi ini buat belajar, bukan buat liat om-om aneh kayak lo!”
Raka mengangkat tangan pura-pura menyerah sambil terkikik. “Wah, galak banget ya. Kamu ngikutin Liam pasti mau jadi paranormal juga, ya? Atau jangan-jangan mau jadi influencer horor?”
Sheina mendengus, “Hah! Setidaknya gue nggak kayak lo. Penampilan berantakan kayak habis berantem sama kambing. Ntar hantunya lari duluan, bukan karena takut, tapi karena jijik.”
Raka terbahak-bahak mendengar itu, sementara Liam hanya menahan senyum tipis di sudut bibirnya, seolah menikmati pertengkaran konyol ini.
Raka menepuk dadanya dengan dramatis, “Astaga! Anak ini berbisa. Liam, kamu ajarin dia ngomong sepedas ini, ya?”
Liam hanya mengangkat bahu dengan ekspresi datar, lalu menggunakan bahasa isyarat sederhana: Dia memang begitu dari sananya.
Sheina tersenyum licik penuh kemenangan, “Mending sekarang lo fokus sama kerjaan lo deh, Om. Soalnya, kalau ada hantu muncul, gue nggak mau lo jadi yang pertama kabur. Deal?”
Raka menunjuk Sheina sambil tertawa, “Liat ya, kalau ada yang muncul, gue justru bakal biarin kamu yang maju dulu. Biar kamu yang nyelesain.”
Sheina mendekat dan menggerakkan alisnya naik-turun penuh tantangan, “Cuma omong besar. Tapi kalau takut, boleh kok sembunyi di belakang gue. Gue janji nggak bakal ngadu ke om Liam.”
Raka terkekeh, sementara Liam, yang menyaksikan mereka berdua beradu mulut seperti anak kecil hanya bisa menepuk keningnya perlahan. Ini akan jadi ekspedisi panjang dengan dua orang berkepribadian besar yang tak bisa berhenti saling sindir.
“Om-Om, yuk jalan,” ujar Sheina, melangkah duluan dengan gaya sok memimpin. “Hantunya nunggu tuh. Siapa tahu kalian berdua bisa jadi temen arwah di sini.”
Raka mendengus, “Liam, dari mana kamu dapet anak ini? Aku jadi pengen nyerah sebelum mulai.”
Liam hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.
Mereka bertiga berjalan menyusuri hutan yang semakin gelap dengan Sheina di depan, Raka di belakangnya, dan Liam berjalan paling belakang, memperhatikan sekeliling dengan tenang. Suasana hutan yang hening terasa menusuk, tapi bukannya tegang, suasana malah terasa konyol berkat Sheina dan Raka yang tak berhenti adu mulut.
Sheina berhenti mendadak dan menatap ke depan dengan alis berkerut. “Eh, bentar-bentar. Ada suara kayak orang jalan, tuh. Denger nggak?”
Raka menyipitkan mata, pura-pura serius. “Mungkin itu... arwah mantan yang belum move on dari kamu.”
Sheina memutar mata. “Yah, kalau mantan gue arwah, mending langsung gue exorcism. Biar dia tahu diri nggak balik-balik lagi.”
Liam, meski bisu, mengeluarkan suara napas seperti tawa tertahan dan itu langsung membuat Sheina menoleh penuh kemenangan. “Tuh, Om Liam aja ketawa. Kamu kalah!”
Raka melambaikan tangan acuh tak acuh. “Ya ampun, anak ini. Punya mulut kayak gergaji mesin.”
Sebelum Sheina bisa membalas, semak-semak di depan mereka bergoyang, dan sosok hitam tiba-tiba muncul. Raka spontan melompat ke belakang Sheina dan berteriak kecil. “WOAH! Liam, hantu beneran!”
Sheina malah tertawa terbahak-bahak. “Yah, pantesan yang pertama mundur duluan. Om Raka pengecut ya, ternyata?”
Raka mengangkat jari telunjuk, wajahnya merah karena malu. “Hei! Itu tadi cuma refleks, tahu nggak? Bukan takut!”
Sementara mereka berdua terus berdebat, Liam dengan tenang mendekati sosok itu—ternyata hanya burung hantu besar yang bersembunyi di semak. Liam memberi isyarat kepada mereka berdua dengan ekspresi datar: Burung doang. Santai.
Sheina menahan tawa, lalu menepuk punggung Raka dengan nada mengejek. “Tenang, Om. Masih lama kok perjalanan kita. Kamu bakal punya banyak kesempatan buat malu lagi.”
Raka menunjuk Sheina dengan ekspresi kesal. “Liam, kenapa kamu nggak ngomong sama anak ini buat stop ngejek aku?”
Liam hanya mengangkat bahu, wajahnya tanpa dosa tapi jelas-jelas menikmati kekacauan itu. Dalam diamnya, Liam tahu bahwa Sheina dan Raka bakal sering berdebat sepanjang ekspedisi ini. Tapi setidaknya, mereka membuat malam penuh misteri ini jadi lebih hidup.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Sheina menoleh pada Liam dengan senyum lebar. “Om Liam, nanti kita foto bareng hantu, ya? Biar Om Raka punya kenang-kenangan buat terapi trauma.”
Raka menghela napas panjang, sementara Liam hanya tersenyum tipis. Ini akan menjadi malam panjang, dan entah bagaimana, Liam merasa ini baru awal dari banyak petualangan absurd bersama dua orang ini.
Perjalanan semakin jauh dan udara malam mulai terasa semakin dingin, Sheina berjalan mendekat ke Liam, menarik jaketnya sendiri dengan erat. Mereka tiba di sebuah lapangan terbuka, di mana bangunan tua dengan jendela pecah-pecah terlihat samar dalam cahaya bulan.
“Kayaknya ini tempatnya,” ujar Raka sambil menyalakan senter dan menyinari bangunan di depan mereka. “Gedung bekas asrama. Katanya banyak penampakan di sini.”
Sheina menyeringai sambil mengintip ke dalam. “Oke, siapa yang mau masuk duluan? Aku atau pengecut yang tadi teriak duluan?”
Raka melotot. “Denger ya, anak kecil! Aku ini cuma menghargai hantu, oke? Kasih mereka ruang, biar nggak lansung kaget sama manusia yang berisik kayak kamu.”
Sheina pura-pura menyilangkan tangan di dada sambil mengangkat alis. “Ohhh, begitu, ya? Jadi kamu pencinta hantu? Apa harus aku kasih nomor mbak kuntilanak buat kencan, biar makin mesra?”
Liam tak bisa menahan senyumnya lagi. Meski ekspedisi ini awalnya serius, dia tak menyangka kalau justru suasana seperti inilah yang membuat segalanya terasa lebih ringan. Dia mengisyaratkan mereka berdua untuk berhenti bercanda dan fokus.
Sheina terkikik, tapi kemudian berhenti ketika melihat bayangan melintas di salah satu jendela gedung. “Tuh, tuh! Aku lihat sesuatu.”
Mata Raka membelalak. “Serius? Kamu lihat apa?”
“Kayak... bayangan putih, cepet banget.”
Raka menelan ludah, tapi berusaha bersikap tenang. “Y-ya, mungkin cuma burung lagi.”
Sheina mendekatkan wajahnya ke Raka dengan tatapan penuh ejekan. “Burung putih di tengah malam? Burung apaan, merpati insomnia?”
Liam menepuk kepala Sheina pelan, menandakan agar dia berhenti mengusili Raka. Lalu, dengan isyarat tangan, dia menunjukkan bahwa mereka akan masuk bersama-sama.
Begitu mereka melangkah masuk ke gedung tua, suara lantai berderit di bawah sepatu mereka. Di dalam, ruangan itu penuh dengan debu dan sarang laba-laba. Namun, rasa penasaran di mata Sheina terlihat jelas. Dia suka dengan suasana seperti ini—misterius, penuh teka-teki, dan sedikit mengerikan.
Raka berjalan agak di belakang, jelas masih waspada. “Kalau kita nemu hantu beneran, kamu duluan ya, Sheina. Biar kamu bisa negosiasi, kan kamu pinter ngomong.”
Sheina terkekeh. “Kalau nemu hantu ganteng, aku tawarin jadi pacar kamu aja. Biar hidup kamu ada tantangan.”
Liam memberi mereka isyarat untuk diam, tapi senyumnya tipis tetap bertahan di wajahnya. Dalam hati, dia tahu dua orang ini mungkin akan terus beradu mulut, tapi dia senang melihat Sheina begitu hidup dan ceria.
Mereka berjalan lebih dalam ke gedung itu, Sheina menggandeng lengan Liam sambil berbisik, “Om, kalau nanti ada yang seru, kita abadikan, ya. Ini malam yang nggak bakal aku lupain.”
Liam menepuk kepalanya lembut, mengisyaratkan setuju. Tanpa kata, dia berjanji dalam hatinya untuk selalu ada bagi Sheina, bahkan dalam petualangan paling aneh sekalipun.

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang