Begitu Sheina tiba di sekolah diantar Liam, suasana di sekitar gerbang langsung berubah. Para siswa yang sedang bergerombol seketika memperhatikan mereka dengan penuh rasa ingin tahu, heran, dan bisik-bisik penasaran.
“Itu siapa? Kakaknya? Pacarnya? Wah, tampan banget, sumpah!” bisik seorang siswi dengan mata berbinar.
“Gila, Sheina dianter cowok modelan kayak gitu? Kok dia nggak pernah cerita, sih?” tambah yang lain, sambil berusaha menebak-nebak hubungan mereka.
Tian dan Nadia, dua sahabat dekat Sheina, sudah menunggu di dekat gerbang. Begitu melihat Sheina turun dari mobil bersama Liam, Tian langsung menahan tawa sambil berbisik, “Selamat! Sekolah langsung heboh berkatmu! Aku jadi patah hati~” Ucap Tian mendramatisir sambil mengusap air mata imajinernya.
Nadia memukul lengan Tian pelan dan bergumam, “Udahlah, yang penting dia aman. Tapi serius, Sheina, siapa dia? Pacar lo? Atau... om-om sugar daddy, nih?” godanya dengan cengiran lebar.
Sheina mendengus kesal sambil memutar mata. “Kalian ini otaknya mesum banget! Dia itu wali aku, oke? Udah, jangan banyak tanya.”
Tian mengerling usil sambil melirik Liam lalu menggoda Sheina, “Serius wali? Jangan-jangan pacarnya lagi.”
Sheina mendelik. “Diam, Tian. Nanti lo gue tinggal, loh!”
Saat itu, beberapa siswa yang suka mencari masalah mendekat, tampak ingin mengganggu seperti biasa. Namun, begitu mereka menangkap tatapan dingin Liam—yang walaupun bisu mampu berbicara banyak dalam sunyi—para siswa itu langsung berpaling dan pura-pura sibuk dengan urusan masing-masing.
Nadia melirik mereka yang lari terbirit-birit dan menahan tawa. “Wah, Om kamu kayak punya jurus intimidasi, nih! Gak perlu ngomong, tapi auranya bikin mereka ciut.”
Sheina hanya mendengus pelan sambil tersenyum sedikit, merasa lebih tenang. “Ya, begitulah Om Liam.”
Liam memberi isyarat sederhana kepada Sheina agar ia masuk ke kelas dan tidak terlambat.
Nadia menepuk pundak Sheina sambil bercanda, “Jadi... kapan-kapan kenalin kita beneran dong sama Om Liam?”
“Mimpi aja, Nad. Dia bukan untuk konsumsi publik,” jawab Sheina sambil berjalan pergi, meninggalkan Tian dan Nadia yang masih terkikik dengan wajah penuh rasa penasaran.
Setelah Sheina melambaikan tangan dan beranjak masuk ke sekolah, Liam tetap berdiri di dekat mobil, menyaksikan kepergian mereka. Namun, suasana di sekitar gerbang sekolah masih hangat dengan pembicaraan.
Nadia dan Tian tak berhenti membahas Liam dengan bersemangat. “Gila, Shei Dia benar-benar wali kamu? Seharusnya kita foto bareng dia!” Nadia berbisik sambil melirik ke arah Liam yang masih berdiri tenang.
Tian mengangguk setuju. “Iya, dia tampak seperti model. Nggak heran semua orang langsung melirik!”
Sementara itu, beberapa siswa lain yang sebelumnya berbisik-bisik kini mulai mendekati mereka, penasaran dengan keberadaan Liam. “Eh, siapa sih orang itu? Ganteng banget, kayak di drama!” salah satu siswa berkomentar.
“Dia wali Sheina? Nggak mungkin!” kata siswa lainnya.
Nadia dan Tian saling berpandangan, kemudian Nadia berkata, “Dia beneran wali, dan dia tinggal sama Sheina sekarang. Kalian harus lihat dia secara langsung.”
Dalam keramaian itu, Sheina berusaha fokus untuk tidak mendengarkan semua bisikan tentang dirinya dan Liam. Namun, ada sedikit rasa bangga dalam dirinya. “Dia kan wali gue. Kenapa gue harus malu?” pikirnya dalam hati.
Bel sekolah berbunyi, tanda waktu pelajaran dimulai, Sheina segera menuju kelas. Di dalam kelas, teman-temannya masih membahas tentang Liam. “Gue dengar, dia bisa ngeliat hantu juga. Coba tanya aja!” kata salah satu teman.
Sheina hanya bisa tersenyum dan berpura-pura tidak mendengar, namun di dalam hatinya, dia merasa tenang. “Setidaknya, kali ini ada yang bisa melindungi gue,” pikirnya, mengingat semua kenangan pahit yang pernah dialaminya.
Di sisi lain, Liam akhirnya beranjak dari tempatnya, menuju mobilnya dengan perlahan. Dia menyadari ada beberapa siswa yang mengamatinya, namun dia tak peduli. Dalam pikirannya, dia hanya ingin memastikan Sheina baik-baik saja dan merasa aman.
Setelah beberapa saat, Liam memutuskan untuk pergi, tetapi sebelum itu, dia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Sheina. “Semangat belajar ya. Om akan jemput sore.”
Sementara di dalam kelas, Sheina merasakan getaran ponselnya. Dia melihat pesan dari Liam dan tersenyum lebar, merasa lebih bersemangat untuk menjalani harinya. “Mungkin hari ini tidak akan buruk,” gumamnya, merasa lebih positif dengan kehadiran Liam di hidupnya.
Di akhir pelajaran, Sheina berasa cemas menunggu waktu pulang. Dia membayangkan bagaimana Liam akan datang menjemputnya dan bagaimana reaksi teman-temannya saat melihat mereka bersama lagi. “Kira-kira, Om Liam akan datang lebih awal atau tidak ya?” pikirnya sambil melirik ke arah jam dinding.
Waktu berlalu begitu cepat. Bel sekolah berbunyi tanda akhir pelajaran, Sheina langsung bergegas keluar menuju gerbang, hatinya berdebar menantikan kedatangan Liam. Di luar, dia melihat mobil Liam sudah terparkir di dekat gerbang.
Begitu melihat Liam, wajah Sheina bersinar cerah. Dia berlari mendekati Liam, mengabaikan tatapan penasaran dari teman-temannya. “Om, ayo kita pulang!” serunya ceria.
Liam tersenyum tipis dan mengangguk. Pria itu mengeluarkan buku catatannya dan pulpen lalu menulis dengan cepat, “Ayo, Sheina. Bagaimana harimu?” Liam menunjukkan tulisannya sambil memasang ekspresi bertanya saat Sheina masuk ke dalam mobil.
“Baik! Teman-teman banyak yang ngomong tentang kita. Tapi aku nggak peduli, yang penting aku senang!” jawab Sheina dengan penuh semangat.
Mereka melaju pulang, menikmati perjalanan yang penuh tawa dan canda. Dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa ikatan mereka semakin kuat, dan kehadiran satu sama lain adalah pelindung dari segala badai kehidupan yang akan datang.
🐾
“Itu orangnya, Om.” Tunjuk Sheina pada seorang pemuda yang berjalan santai.
Liam menatap tajam pemuda yang berdiri di hadapannya—sosok yang mengganggu Sheina. Wajah Liam terlihat tenang, tapi aura dingin memancar dari setiap gerak-geriknya. Pemuda itu awalnya tampak arogan, tetapi perlahan mulai merasa tidak nyaman di bawah tatapan bisu Liam.
“Cuma bercanda, Bang,” ujar pemuda itu sambil tertawa gugup, mencoba mengalihkan suasana. “Nggak serius kok, Bang, santai aja.”
Liam tetap diam, tidak terpengaruh oleh kata-kata itu. Dia memberi isyarat agar pemuda tersebut mendekat, namun pemuda itu ragu-ragu. Liam kemudian melangkah maju, menipiskan jarak di antara mereka dengan langkah tenang namun mengancam.
Tanpa berkata apa-apa, Liam meraih pergelangan tangan pemuda itu, menggenggamnya dengan kuat. Raut wajahnya tetap datar, tetapi genggamannya cukup kuat untuk membuat pemuda itu meringis.
“Eh, Bang… sakit, Bang!” Pemuda itu mencoba menarik tangannya, tapi Liam tidak melepaskannya begitu saja. Sebaliknya, Liam menggunakan bahasa tubuhnya untuk menunjukkan satu pesan yang jelas: Kamu tidak akan menyentuh Sheina lagi.
Liam kemudian melepaskannya, tapi hanya untuk menepuk bahu pemuda itu dengan pelan. Namun, sentuhan itu terasa seperti peringatan terakhir—lembut, tapi menyiratkan bahaya jika pesan ini diabaikan.
“Kalau kamu berani macam-macam lagi...” Liam memegang leher baju pemuda itu, wajahnya semakin dekat. Meski tak berkata apa-apa, matanya berbicara banyak—seolah-olah mengatakan: Kamu tak akan suka konsekuensinya.
Pemuda itu menelan ludah, ketakutan mulai terpancar di matanya. “Oke, Bang. Oke, gue janji nggak ganggu dia lagi.”
Liam akhirnya melepaskannya dan menepuk dada pemuda itu sekali lagi, kali ini lebih keras. Setelah itu, dia hanya mengangkat dagunya, memberi isyarat agar pemuda itu pergi.
Pemuda itu segera kabur tanpa banyak bicara, tak berani menoleh lagi
Saat pemuda itu menghilang dari pandangan, Liam berbalik dan menemukan Sheina yang memperhatikannya dari kejauhan. “Om Liam, kamu keren banget!” serunya sambil tersenyum lebar. “Makanya aku Cuma percaya sama Om!”
Liam hanya tersenyum tipis, lalu menepuk kepala Sheina dengan lembut. Dia tahu bahwa perlindungan tak selalu harus dengan kekerasan, tetapi kali ini—pelajaran sederhana tentang batas dan rasa hormat sudah cukup.
🐾
“Nggak mau! Lepasin gue, asu! Gue nggak kenal lu, sat!” Teriakan diiringi cacian terdengar di telinga Liam. Pria itu menoleh dan melihat seorang pemuda memaksa Sheina masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang terparkir di seberang sana.
“Gue nggak mau nerima penolakan! Kalau lu nggak nurut, gue nggak segan nyakitin lu!” Bentak pria itu sambil memasukkan Sheina ke dalam kursi penumpang.
Setelah berhasil memasukkan Sheina ke dalam kursi penumpang, dia berjalan menuju kursi pengemudi. Tetapi, sebelum masuk ke dalam mobil, dia melemparkan tatapan mengejek ke arah Liam.
Mobil mewah itu segera meluncur di jalanan dengan kecepatan tinggi, berbaur dengan kendaraan lainnya yang berlalu lalang.
Dengan panik, Liam segera memasuki mobil sedan civic dan menyalakan mobilnya. Saat baru saja menyalakan mesin mobilnya, ia mendapati Sheina sudah duduk manis di kursi penumpang, menyeringai puas seperti kucing yang baru saja menangkap tikus.
Liam menatapnya dengan alis terangkat, bertanya tanpa suara, “Apa yang baru saja terjadi?”
Sheina tertawa kecil sambil melirik ke luar, melihat mobil pemuda yang menculiknya melaju jauh. “Om, ada cowok nekat narik aku masuk ke mobilnya tadi.”
Ekspresi Liam langsung berubah dingin. Tubuhnya menegang, dan tatapan tajamnya seperti pisau yang siap menusuk siapa pun yang berani menyentuh Sheina. Ia mulai mengulurkan tangannya untuk membuka pintu, siap turun dan mengejar mobil itu.
Tapi Sheina segera menghentikannya dengan menepuk bahunya. “Tenang, Om. Aku udah kasih ‘hadiah’ kecil.”
Liam memiringkan kepalanya, meminta penjelasan.
Sheina menyeringai penuh kenakalan sambil memamerkan jari-jari yang masih sedikit lengket. “Stella jeruk. Aku taruh di mobilnya sebelum kabur.”
Liam memandangnya, sedikit bingung, tapi Sheina melanjutkan dengan tawa pelan. “Itu tuh kayak semacam jimat... Kalau naruh Stella di mobil orang jahat, mereka bakal kena apes seharian. Orang-orang bilang sih begitu.”
Liam menghela napas panjang dan menatap Sheina dengan pandangan “Serius?” —tapi kali ini ada sedikit kilatan geli di matanya.
“Nggak apa-apa, Om. Aku aman kok,” kata Sheina sambil menyender ke kursi. “Om Liam kan selalu jadi tempat pulang yang paling nyaman buat aku.”
Mendengar itu, ekspresi Liam sedikit melunak. Meski tetap diam, ia mengulurkan tangannya dan menepuk kepala Sheina dengan lembut, memberi rasa aman tanpa harus berkata-kata.
Mobil pun melaju pelan, meninggalkan kejadian tadi di belakang mereka—dan Sheina hanya bisa tersenyum puas, tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia selalu bisa kembali ke sisi Liam.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find My Home [End]
ParanormalSheina, gadis pemberani yang tidak memiliki rumah. Dalam keputusasaannya, dia bertemu dengan Liam Laksmana, pria bisu misterius. Tinggal bersama Liam membuat Sheina tak sengaja membangunkan kemampuan istimewanya. Di tambah dengan kehadiran Chakara...