Liam memperhatikan Sheina yang duduk melamun sambil menggumam tidak jelas dengan penasaran. Pria itu menyesap kopi seraya memiringkan kepala sambil memasang wajah penasaran.
Ada apa dengan gadis itu pagi ini? Apakah karena penampakan semalam atau karena mimpi buruknya?
"Dia jelek. Wajahnya hitam."
Liam menatap Sheina dengan sebelah alis terangkat.
"Dia bau. Jorok. Kain kafannya lusuh."
Liam mencerna perkataan Sheina dan seketika menahan tawa saat mengerti maksudnya. Apakah itu karena penampakan semalam?
Liam melambaikan tangan di depan wajah gadis itu, membuat Sheina kaget dan mengerjapkan matanya, "Eh. Ada apa?"
Liam menulis dan menunjukkan pada Sheina, "Ayo sarapan dulu. Kita janji belanja hari ini, kan?"
"Oh, ya."
Sheina memutuskan memakan sarapan buatan Liam dengan pikiran masih melayang pada kejadian kemarin. Sejak tinggal di rumah ayahnya, Sheila kerap kali bermimpi seram. Bahkan sesekali gadis itu melihat penampakan mengerikan di waktu-waktu tertentu.
Setelah selesai mencuci piring kotor bekas sarapan, Liam segera pergi menuju garasi untuk memanaskan mobil dan mengecek kondisinya, sebelum memanggil Sheina agar segera bersiap.
setelah masuk mobil dan memakai sabuk pengaman, mereka akhirnya pergi meninggalkan rumah tua itu dalam keheningan. Sheina menatap ke arah luar, dimana beberapa rumah tampak berjejer berjauhan. Ternyata rumah Liam terletak di ujung perumahan yang berbatasan langsung dengan perkebunan.
Mobil sedan civic melaju di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Suasana hening menghiasi dalam mobil. Liam yang memang tidak bisa berbicara dan Sheina sibuk menatap pemandangan dari balik kaca mobil.
Sheina menatap heran saat Liam menghentikan mobil di depan pasar tradisional. Keramaian itu membuat telinganya berdering—suara penjual berteriak, pembeli tawar-menawar, dan aroma sayur-mayur bercampur dengan bau ikan segar langsung menyergapnya.
Dia menoleh ke arah Liam dengan mata menyipit. "Om Liam, serius nih kita belanja di sini? Kenapa enggak sekalian ke mal aja? Kan lebih adem."
Liam hanya tersenyum tipis, mengangkat bahu seakan mengatakan, “Ada pengalaman yang berbeda di sini.”
"Duh..." Sheina mendesah, lalu keluar dari mobil dengan malas. Namun, begitu kakinya menginjak lantai beton yang penuh genangan, ia langsung meringis jijik. "Aku gak suka ini, Om!"
Liam hanya menepuk puncak kepalanya ringan, kemudian memberi isyarat agar Sheina mengikutinya.
Mereka mulai melangkah di antara kios-kios, Sheina mulai memperhatikan. Ada penjual buah dengan tumpukan mangga harum, penjaja ikan yang sibuk membersihkan sisik, dan ibu-ibu yang menawarkan kerupuk di ujung lorong.
"Ih, ini sih kayak dunia lain. Kayak labirin, mana rame banget!" keluhnya. Tapi perlahan, rasa penasarannya tumbuh.
Liam berhenti di sebuah kios sayur dan memberi isyarat kepada penjual, menunjuk beberapa sayuran yang ingin dibelinya. Sheina memperhatikan dengan penuh minat bagaimana Liam berkomunikasi menggunakan gestur tangan dan sedikit catatan yang dibawanya.
“Om hebat juga ya, meski bisu masih bisa tawar-menawar,” gumamnya kagum. Liam hanya tersenyum sambil melirik ke arahnya, seolah berkata, “Lihat, tidak sesulit itu.”
Tak lama kemudian, Liam menyerahkan sekantung kecil buah mangga kepada Sheina. Gadis itu mengerjap, lalu tersenyum tipis. “Mangga? Buat aku?”
Liam mengangguk. Sheina mencicipi sepotong kecil dan ekspresinya langsung berubah cerah. “Wah, enak banget! Gak nyangka pasar punya mangga seenak ini.”
Saat mereka melanjutkan belanja, Sheina tak lagi terlihat bosan. Dia malah mulai mengobrol dengan para pedagang, tertawa, dan bahkan mencoba beberapa sampel makanan di sepanjang jalan.
Saat perjalanan pulang, Sheina menatap Liam dengan senyum jahil. “Om Liam, kapan-kapan kita ke sini lagi, ya? Aku jadi suka nih, kayak petualangan!”
Liam mengangguk, bibirnya tertarik dalam senyuman hangat. Meski tidak berkata apa-apa, kehadirannya sudah cukup memberi Sheina perasaan nyaman dan aman. Mereka pun meninggalkan pasar dengan kantong belanja penuh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Sheina merasa bahwa dunia luar tidak seburuk yang ia bayangkan.
Setelah belanja di pasar, Liam dan Sheina sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Saat mereka berada di dalam mobil, Sheina bersandar di kursi penumpang sambil menatap Liam penuh rasa penasaran.
"Jadi, Om Liam... habis ini kita mau ke mana? Jangan-jangan rumah, deh? Yah, bosen tau!" ucapnya, memainkan rambutnya dengan malas.
Liam meliriknya sejenak dan memberi senyum tipis, lalu mengambil jalan menuju arah pegunungan.
"Hah? Kita mau ke gunung?" Sheina menegakkan badan. "Om, serius nih?"
Tanpa menjawab—karena bisu—Liam hanya memberi tanda dengan anggukan ringan dan terus menyetir. Semakin jauh mereka melaju, pemandangan berubah menjadi pepohonan hijau dan udara yang semakin sejuk.
Tak lama, mereka tiba di sebuah hutan kecil. Liam memarkir mobil di tepi jalan setapak, lalu mengajak Sheina berjalan kaki.
"Kita mau ke mana, sih? Jangan bilang ini semacam ekspedisi supranatural," kata Sheina dengan cemberut, meski tampak sedikit bersemangat.
Liam menuntunnya hingga mereka mendengar suara gemericik air. Semak-semak terbuka, dan di hadapan mereka terdapat air terjun kecil dengan kolam jernih di bawahnya. Cahaya matahari menembus dedaunan, membuat pemandangan terlihat magis.
Sheina terdiam sejenak, terpesona. "Wah, keren banget!" serunya, melompat-lompat kecil di tempat. "Kenapa Om gak bilang dari tadi?"
Liam hanya menggeleng pelan, tersenyum seperti berkata, “Lebih baik lihat sendiri.”
"Kita berenang gak, nih?" tanya Sheina antusias, sudah mulai melepas sepatunya tanpa menunggu jawaban.
Melihat Liam hanya duduk tenang di batu besar, Sheina mengerling jahil. "Om, kalau gak mau ikut, aku siram, loh!" candanya sambil menyiduk air dengan tangannya.
Liam mengangkat alis, pura-pura tak peduli. Namun, begitu Sheina benar-benar melempar air ke arahnya, dia tak punya pilihan selain bergabung. Keduanya pun bermain air di bawah air terjun dengan tawa yang jarang terdengar dari Sheina.
Saat mereka beristirahat di tepi kolam, Sheina bersandar pada batu sambil memandang Liam. "Om Liam, tempat ini keren banget. Ini kayak... tempat rahasia kita sekarang."
Liam hanya tersenyum, lalu memberikan sepotong mangga yang tadi mereka beli di pasar. Sheina memakannya dengan bahagia. "Om tau aja cara bikin aku senang."
Sore itu, mereka menikmati ketenangan alam, dan untuk pertama kalinya Sheina merasa bebas—seolah masalah-masalah yang pernah menghantuinya sirna bersama gemericik air yang terus mengalir.
🐾
Setelah puas menikmati air terjun, Liam dan Sheina memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Saat kembali ke mobil, Sheina yang masih basah kuyup dan bersemangat menatap Liam dengan mata berbinar.
"Om, kita mau ke mana lagi? Aku masih pengen jalan-jalan!"
Liam menatap Sheina sejenak sambil menyeringai tipis, lalu menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan ke arah kota kecil yang tidak jauh dari sana. Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah kafe buku kecil dengan suasana hangat dan tenang.
Sheina melompat turun dari mobil dan langsung memperhatikan papan nama kafe itu. “Wah, tempatnya lucu banget! Kafe kayak gini biasanya cuma ada di drama-drama!” serunya, tak sabar masuk.
Begitu mereka melangkah ke dalam, aroma kopi dan kayu memenuhi udara. Dindingnya penuh rak buku dengan pencahayaan temaram yang memberikan nuansa menenangkan. Sheina langsung menghampiri salah satu rak dan melihat-lihat buku yang berjejer rapi.
"Om Liam, sini lihat! Buku-buku horor nih! Ada yang tentang poltergeist!" panggil Sheina sambil menunjukkan sebuah buku tebal dengan ilustrasi menyeramkan di sampulnya.
Liam hanya tersenyum dan menggeleng, lalu memesan dua minuman di meja kasir: satu cokelat panas untuk Sheina dan teh herbal untuk dirinya.
Mereka duduk di sudut ruangan, Sheina dengan antusias membaca beberapa halaman sambil menyeruput minuman. Sesekali dia mengomentari isi buku itu. "Coba deh, kalo aku beneran bisa jadi pemburu hantu profesional, pasti seru banget!"
Liam mendengarkan dengan sabar, terkadang tersenyum kecil mendengar celoteh Sheina yang penuh semangat.
“Om Liam, aku suka banget tempat ini. Kamu tau aja, ya, cara bikin hariku jadi seru?” ucap Sheina sambil tersenyum lebar.
Liam hanya menepuk kepalanya pelan, seolah mengatakan, “Tentu saja. Kan, aku selalu tahu apa yang kamu butuhkan.”
Setelah meninggalkan kafe, mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota yang dipenuhi lampu-lampu kecil. Angin malam terasa sejuk, dan suasana damai menyelimuti area tersebut. Sheina dan Liam berjalan beriringan di sepanjang jalan setapak, menikmati keheningan tanpa merasa canggung.
"Om, liat tuh! Ada anak-anak main bianglala. Kita naik, yuk?" ajak Sheina sambil menarik tangan Liam.
Liam awalnya ragu, tapi melihat antusiasme Sheina, dia akhirnya mengalah. Mereka naik bianglala dan menikmati pemandangan kota dari atas.
"Om Liam... terima kasih ya. Aku gak pernah ngerasa sebahagia ini," ucap Sheina pelan, sambil menatap lampu-lampu kota di kejauhan. "Rasanya... kayak semua masalah aku hilang."
Liam menatap Sheina dengan lembut, lalu menepuk bahunya, seolah berkata, “Aku selalu ada buat kamu.”
Malam itu, mereka menikmati momen kebersamaan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
🐾
Sheina sedang duduk santai di bangku taman bersama Liam, mengunyah permen kapas yang baru saja dibelinya. Sepoi angin menerpa rambutnya, dan suasana damai membuatnya lupa akan segala masalah. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Di kejauhan, seorang gadis dengan gaya angkuh berjalan bergandengan tangan dengan seorang pria. "Kak Aksa...?" gumam Sheina pelan, bibirnya menyusut dalam kesal. Itu salah satu kakak tirinya—yang paling membencinya sejak mereka kecil.
Rasa damai tadi langsung buyar. Sheina memperhatikan Aksa yang sedang tertawa dan bercanda dengan pacarnya. Perasaan campur aduk menghantam dirinya—kesal, bingung, dan sedikit canggung.
Liam melirik Sheina, menangkap perubahan ekspresinya. Ia menyentuh bahu Sheina, seolah bertanya, "Ada apa?"
"Itu kakak tiriku, Om. Yang paling benci sama aku," jawab Sheina pelan, matanya tak lepas dari Aksa. "Aku gak nyangka bakal ketemu dia di sini.
Seolah mendengar namanya disebut, Aksa akhirnya menyadari keberadaan Sheina. Ia berhenti melangkah, matanya terbelalak, dan bibirnya menyunggingkan seringai kecil. "Oh, jadi kamu ada di sini juga?" katanya sambil melipat tangan di dada. "Berani-beraninya kamu keluyuran santai, ya?"
Sheina bangkit dari bangku dan mendekat dengan langkah tenang, tapi ekspresinya dingin. "Emang kenapa kalau aku di sini? Taman ini bukan punya kamu."
Pacar Aksa, yang berdiri di sampingnya, terlihat bingung dengan ketegangan di antara mereka. "Kakak... masih benci sama aku, ya?" tanya Sheina tiba-tiba, nadanya terdengar tenang namun tajam.
Aksa mengangkat alis dan tersenyum sinis. "Benci? Apa coba yang harus aku suka dari kamu?"
Liam, yang mengikuti dari belakang dengan sikap tenang namun waspada, menatap Aksa tanpa ekspresi. Tapi di balik tatapannya, ada ketegasan seolah berkata: Kalau kamu menyakiti Sheina, aku tidak akan tinggal diam
Sheina mendekat, matanya menyipit dengan tatapan penuh luka bercampur keteguhan. "Aku selalu mikir, mungkin suatu hari kamu bakal berubah. Tapi ternyata enggak. Kamu masih sama, ya? Masih suka ngerendahin aku, kayak dulu."
Aksa tampak terganggu, tapi tetap berusaha mempertahankan sikapnya. "Hah, emang kamu pikir aku harus berubah buat kamu?" katanya dengan nada sinis.
Sheina tersenyum tipis, tapi ada kepedihan di baliknya. "Iya, aku bodoh ya, berharap kita bisa jadi keluarga... Padahal kamu gak pernah anggap aku apa-apa."
Liam menyentuh pundak Sheina pelan, mengingatkannya agar tidak larut dalam emosinya. Sheina menarik napas panjang dan melirik Liam sejenak, sebelum kembali menatap kakak tirinya dengan tatapan tajam.
"Tapi tahu gak, Kak?" lanjut Sheina. "Aku gak butuh lagi persetujuan kamu atau siapapun. Aku baik-baik aja tanpa kalian."
Aksa terlihat sedikit terkejut dengan ucapan Sheina, tapi sebelum sempat membalas, pacarnya menarik tangannya, tampak tak nyaman dengan situasi itu.
"Ayo, Aksa, gak usah ribut di sini. Malu dilihatin orang.
Aksa akhirnya menghela napas dan memalingkan wajahnya. "Terserah kamu mau ngomong apa," katanya datar, sebelum pergi bersama pacarnya.
Sheina menatap kepergian kakak tirinya dengan perasaan campur aduk. Liam tetap di sampingnya, memberikan kehadiran yang diam namun menenangkan.
"Terima kasih, Om," ucap Sheina pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke Liam. "Untung Om ada di sini. Aku gak tahu apa yang bakal terjadi kalau gak ada Om."
Liam hanya tersenyum samar, lalu menuntun Sheina kembali ke bangku taman. Mereka duduk dalam keheningan, tapi kali ini ada perasaan lega di hati Sheina. Ia tahu bahwa meski keluarganya tak pernah menerimanya, Liam selalu ada untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find My Home [End]
ParanormalSheina, gadis pemberani yang tidak memiliki rumah. Dalam keputusasaannya, dia bertemu dengan Liam Laksmana, pria bisu misterius. Tinggal bersama Liam membuat Sheina tak sengaja membangunkan kemampuan istimewanya. Di tambah dengan kehadiran Chakara...