Bab 8

7 0 0
                                    

Sembari menunggu jam pulang, Sheina hanya bisa menelungkupkan kepalanya di atas meja. Rasa mual menderanya membuat gadis itu lemas tak bertenaga.
Dia sempat muntah di toilet sesaat setelah makan, namun tidak ada sesuatu yang keluar dari mulutnya. Bahkan sosok itu masih mengikutinya hingga  ke dalam kelas.
Janchuukk!!
Dan beruntung saat ini jam kosong, sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar di dalam kelas.
"Shei, kamu kenapa?" Tanya Nadia khawatir saat melihat Shieina menelungkupkan kepala sejak datang dari kantin.
"Nggak apa-apa, Nad. Sepertinya perutku tidak nyaman dan dadaku terasa pedih. Kayaknya maag ku kambuh, deh." Sahut Sheina sambil tersenyum lemah.
"Ya ampun! Wajahmu pucat banget!" Nadia berseru panik dan menghampiri Sheina. Gadis itu meletakkan punggung tangannya di kening Sheina, "Kau demam, Shei. Kita ke UKS aja, ya."
"Nggak apa, kok. Ntar aja baikan." Tolak Sheina
"Mending kamu ke UKS aja, Shei. Nanti kenapa-kenapa loh." Lalu dia menatap ke sekeliling dan meminta bantuan teman sekelasnya yang lain, "Hei! Bisa tolongin, nggak? Bantu bawa Sheina ke UKS, yuk! Dia demam!"
Seisi kelas menoleh ke arah Nadia dan beberapa menghampirinya dengan penasaran.
"Njir! Ini bara api bukan, sih?! Panas banget!" Ucap sang ketua kelas seraya menatap beberapa teman-temannya, "Tian, bisa bantu Nadia buat nganter Sheina ke ruang kesehatan, nggak?"
"Nggak usah. Aku nggak apa,"  Tolak Sheina lemah.
Pemuda bernama Tian itu menjawab dengan semangat, mengabaikan perkataan Sheina, "Oke!"
🐾
'Brakh!'
Pintu UKS terbuka lebar dengan kaki berbalut celana abu-abu menjulur ke dalam. Tak berapa lama, terlihat tiga orang siswa; dua perempuan dan satu laki-laki, salah satu diantaranya terlihat lemas tak bertenaga.
"Pak! Bantuin temen kami, Pak! Dia sekarat!" Seru Nadia panik sambil membopong Sheina di bantu Tian.
Petugas UKS, seorang pria dengan kacamata berbingkai hitam, segera berlari dari meja kerjanya dan membantu memindahkan Sheina ke tempat tidur. Keringat dingin mengalir di pelipis Sheina, matanya setengah tertutup, napasnya pendek dan tidak beraturan. Nadia dan Tian menatapnya dengan khawatir, cemas akan keadaan temannya.
"Apa yang terjadi padanya?" tanya petugas UKS dengan nada tegas namun tenang, sembari memeriksa denyut nadi Sheina.
Nadia yang masih terengah-engah mencoba menjelaskan. "Dia tiba-tiba aja pingsan di kelas. Dia bilang perutnya mual, dadanya perih terus demam. Terus, tiba-tiba... dia lemas kayak gini."
Tian menambahkan dengan suara rendah, "Kayaknya dia nggak makan siang, Pak. Dia bilang malas ke kantin."
"Tadi dia ke kantin kok. Dia bawa bekal dan makan setengah. Setelah itu  wajahnya mendadak pucat." Jelas Nadia.
Petugas UKS mengangguk sambil memeriksa kondisi Sheina. "Sepertinya asam lambung Sheina naik dan dia mengalami maag ringan. Tapi kita tetap harus waspada. Sebaiknya aku panggilkan paramedis kalau kondisinya memburuk.”
Nadia menggigit bibirnya, terlihat menahan air mata. "Sheina, bangun dong, kamu nggak apa-apa, kan?"
Sheina hanya bergumam pelan, tidak cukup jelas untuk dipahami, tapi terlihat mencoba berjuang untuk tetap sadar.
Petugas UKS dengan name tag Reihan menatap Sheina dengan prihatin. Mungkin gadis seusianya menderita tekanan berat sehingga mengalami halusinasi.
"Kita harus menghubungi keluarganya terlebih dahulu."
Sheina yang mendengar perkataan Reihan merasa tegang. Dia tidak mau lagi berurusan dengan keluarganya.
"Jangan hubungi mereka, ku mohon..." Lirih Sheina dalam keadaan setengah sadar, "Aku nggak mau kesana. Mereka akan memukulku lagi."
"Tapi, mereka harus tau, Shei." Nadia mencoba membujuk, namun dia merasa prihatin dengan kondisi Sheina yang memburuk, "Atau kau memiliki kerabat lain?"
"Om Liam. Dia yang merawatku." Sheina menatap Nadia dengan mata terbuka lemah, "Berikan ponselku, Nad. Biar aku yang menghubungi nya."
"Baiklah."
Nadia sedikit perihatin dengan keadaan Sheina, begitu pun dengan Tian. Mereka tidak tahu masalah apa yang dimiliki gadis itu sampai-sampai tidak ingin menghubungi keluarganya. Namun mereka tidak ingin ikut campur.
Sheina segera menghubungi Liam. Setelah tiga sambungan, panggilannya diangkat oleh pria itu.
"Om, maaf kalau aku ngerepotin." Sheina menggigit bibirnya pelan, menahan rasa mual yang kembali menderanya, "Bisa jemput aku, nggak? Tunggu aku di depan gerbang sekolah, ya." Suara Sheina terdengar lirih.
Lalu panggilan terputus.
Ponsel Sheina bergetar, terdapat satu pesan masuk yang berasal darinya.
[Kau baik-baik saja, Shei? Aku akan segera menjemputmu.]
"Bagaimana?" Tanya Reihan dengan tatapan khawatir, apalagi tubuh gadis itu dipenuhi dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
"Dia akan datang sebentar lagi, Pak."
"Baik. Kalau begitu beristirahatlah sejenak. Aku akan mengambilkan obat untukmu." Pria itu berlalu meninggalkan mereka.
"Tian, bisa ambilkan tas Sheina, tidak? Biar aku yang menunggunya di sini." Pinta Nadia sambil menatap Sheina dengan khawatir.
"Ah, baiklah."
🐾
Sheina memejamkan matanya, mengabaikan beberapa sosok tak kasat mata yang mengerubunginya dengan wajah yang menyeramkan.
Gadis itu ingin mengumpati dan berteriak pada mereka, namun dia masih menyangkal jika sosok itu merupakan halusinasinya.
Setelah minum obat yang di berikan oleh Reihan, perlahan kondisi Sheina mulai membaik. Kini wajah gadis itu tidak terlihat sepucat tadi.
"Shei, hari ini sekolah pulang cepat. Coba deh, cek grupnya," Kata Nadia memecah keheningan diantara mereka, "Para guru tengah rapat komite. Jadi kita pulang lebih awal."
Sheina membuka matanya pelan lalu mengambil ponsel dan memeriksa chatnya. Dan benar, ada pemberitahuan dari Sean di room grup chatnya.
"Ho oh. Aku bisa beristirahat dengan tenang di rumah." Kata Sheina sambil berusaha mengabaikan beberapa penampakan yang wara-wiri melintas di sekitarnya.
Entah mengapa beberapa hari sejak melihat kegiatan spiritual Liam, Sheina semakin sering melihat berbagai menampakkan. Bahkan awalnya dia sempat lari ke kamar hanya dengan tubuh tertutup handuk, tak lupa dengan kepala yang masih berbusa, mengingat sesosok makhluk hitam menyeramkan tiba-tiba muncul dari kamar mandi tepat saat gadis itu tengah mandi saat malam, membuat Sheina malu setengah mati.
'Cklek'
Tian datang bersama Sean, tak lupa pemuda itu membawa dua tas milik Sheina dan Nadia, lalu menyerahkan pada dua gadis itu.
"Sheina, bagaimana kabarmu? Apa kau sudah lebih baik?" Tanya Sean mendekati Sheina yang masih berbaring di ranjang UKS.
"Sudah lebih baik, Pak." Sahutnya sedikit canggung, "Tadi sudah di kasi obat sama pak Reihan."
Sean mengangguk dan meletakkan punggung tangannya di dahi Sheina, "Kau masih demam. Beristirahatlah selama beberapa hari."
"Ya, Pak."
"Ini ada surat undangan komite." Sean menyerahkan sebuah amplop putih pada Sheina dan Nadia. Keduanya menerima surat itu dan mengucapkan terimakasih.
"Oh, ya. Kau sudah menghubungi orang tua atau wali untuk menjemput mu?"
"Sudah, Pak. Sebentar lagi dia akan tiba."
Sean menatap Tian dan Nadia yang masih setia berdiri di sana, "Oke, kalau begitu, kalian berdua bantu Sheina, ya."
"Baik, Pak." Jawab keduanya kompak.
"Kalau begitu, aku duluan, ya. Kalian hati-hati di jalan." Pamit Sean meninggalkan ketiga siswanya.
"Ya, Pak. Bapak juga hati-hati di jalan." Balas Tian dan diangguki oleh Nadia dan Sheina.
Setelah kepergian Sean, Sheina memutuskan segera pulang, dipapah oleh Nadia. Entah mengapa Sheina merasa perutnya perih dan mual, seperti ada sesuatu yang tajam menusuk perutnya. Setiap melangkah, perutnya terasa seperti di tusuk dari dalam. Gadis itu meringis menahan sakit, membuat Nadia dan Tian menatapnya khawatir.
"Kamu nggak apa?" Tanya Nadia cemas.
"Aku baik aja. Perutku agak tidak nyaman."
"Mau aku gendong?" Tawar Tian dengan senyum manisnya.
"Boleh." Sahut Sheina dan menyerahkan tasnya pada pemuda itu, "Tolong gendong, ya."
Tian menerima tas Sheina dengan memasang wajah cemberut dan Nadia menahan tawa. Segera dua gadis itu keluar dari ruang UKS di susul Tian dengan wajah tertekuk di belakangnya.
Di luar gerbang sekolah yang ramai, Liam berdiri dengan tenang, meskipun ada kerumunan siswa yang berkerumun di sekitarnya. Meskipun tidak berbicara, aura misterius dan pesona wajahnya menarik perhatian banyak orang. Para siswa saling berbisik, mengamati Liam dengan penasaran.
Seorang siswa perempuan.enatap Liam dengan mata berbinar, "Siapa sih dia? Kenapa dia di sini?" Bisiknya pada teman di sebelahnya.
"Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Dia tampan banget!" Sahut temannya sambil mengernyitkan dahi, berusaha mengenali Liam.
Liam yang cemas dengan kondisi Sheina berusaha menembus barisan siswa yang menghalanginya. Dia menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha membuat jalan sambil tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya.
Liam menggunakan gerakan tangan meminta izin untuk lewat, mengedipkan mata ke arah siswa yang menghalangi jalan.
Beberapa siswa mengangguk, terpaku oleh pesona dan keberanian Liam. Namun, kerumunan tidak mudah dibelah dan Liam terpaksa mengambil napas dalam-dalam untuk tetap fokus.
Sementara Sheina, Nadia dan Tian tiba di depan gerbang dan melihat kerumunan siswa. Sheina melihat Liam terjebak di sana berbisik pada Nadia, mengatakan jika pria yang terjebak itu adalah walinya.
Nadia mengangguk dan mengambil nafas dalam-dalam, sebelum berteriak kencang, membuat Tian berjengit kaget mendengar suara Nadia yang menggelegar.
“Om Liam! Di sini! Sheina ada di sini!”
Nadia memanggil Liam yang sukses menarik perhatian siswa yang semula beralih dari Liam ke arah Nadia yang sedang membantu Sheina. Dengan cepat Nadia dan Tian berjalan keluar dari kerumunan, memapah Sheina yang tampak lemah.
Liam akhirnya berhasil membelah kerumunan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam saat melihat Sheina dipapah. Dia cepat-cepat melangkah maju dan menghampiri mereka, matanya tidak lepas dari Sheina.
Liam mengeluarkan catatan dan bolpoin, lalu menulis dengan cepat dan menunjukkan pada Tian dan Nadia, “Mengapa dia bisa sampai seperti ini?”
“Dia demam dan maag kambuh. Kami sudah membawanya ke UKS dan dia sudah mendapatkan pertolongan pertama," Jawab Tian sambil menyerahkan tas Sheina pada Liam.
“Kami sudah berusaha, tapi sepertinya dia perlu istirahat di rumah. Bisa tolong dia?” Ucap Nadia dengan ekspresi serius. Dia menyerahkan Sheina pada Liam.
Liam mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. Dia menatap Sheina, berusaha memberikan semangat tanpa kata-kata. Dengan lembut, dia menempatkan tangan di punggung Sheina, membantu menyeimbangkan langkahnya saat dia mulai berjalan.
Dengan perlahan, mereka mulai berjalan menuju gerbang sekolah, meninggalkan kerumunan yang terpesona, tak percaya bahwa Liam, si tampan misterius, menjemput Sheina. Sementara itu, bisikan dan gosip mulai menyebar di kalangan siswa tentang hubungan mereka yang tampak semakin dekat.

 I Find My Home [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang