Liam menatap Sheina yang tertidur di pelukannya dengan sayang. Entah mengapa pria itu merasa ikatan emosional pada Sheina. Setelah mendengar cerita memilukan gadis itu, dia berjanji akan melindungi Sheina bagaimanapun caranya.
Liam membawa gadis itu masuk ke dalam kamar dan membaringkan di tempat tidur. Wajahnya terlihat damai meski sembap akibat terlalu lama menangis.
'Mereka beruntung telah melahirkanmu, tetapi keberuntungan mereka telah sirna setelah mencampakkan mu, Nak. Tinggallah di sini, anggaplah ini rumahmu. Aku bersyukur kau mau tinggal di sini.' Ucap Liam dalam hati sambil menyelimuti Sheina dengan selimut.
Namun Sheina tanpa sadar mengeratkan pelukannya, seakan takut menghilang jika di lepas membuat pria itu menghela nafas dan tersenyum tipis.
"Jangan pergi..." Gumam Sheina lirih.
Liam mengambil posisi dengan merebahkan tubuh di sebelah Sheina, membiarkan dirinya berada di sana hingga pagi.
Seekor kucing putih tiba-tiba melompat naik dan berdiri di dekat kaki Sheina. Dia menatap gadis itu dengan penasaran lalu menatap Liam yang menatapnya seakan ingin tahu dengan penasaran.
"Meo~ng"
Kucing itu mendengkur keras dan mendekatkan wajahnya ke arah Sheina yang tertidur lalu menggulungkan tubuhnya di dekat Sheina yang terlelap.
Sheina terbangun di tengah malam, merasakan kesunyian yang menyelimuti ruangan. Pandangannya melayang ke arah Liam yang tertidur di sebelahnya. Pria itu tampak tenang, meski ada garis-garis kelelahan di wajahnya. Dia tertidur dengan satu tangan di atas kepala dan nafasnya yang teratur membuat suasana terasa damai.
Dia menatap Liam, berusaha menyamakan napasnya dengan napas lelaki itu. Dalam hati, Sheina merasa bersyukur memiliki Liam di sampingnya. Bukan hanya sebagai walinya, tetapi juga sebagai teman yang bisa mendengarkan, memahami, dan tidak menghakimi. Air mata yang sebelumnya mengalir deras kini terasa kering di pipinya, dan dia merasa sedikit lebih ringan.
Sheina mengambil kesempatan untuk melihat lebih dekat ke wajah Liam. Ada sesuatu yang mendamaikan dalam ketenangan tidurnya. Dia mencatat garis rahang yang kuat, alis tebal yang melindungi mata yang biasanya tajam, dan ekspresi damai yang membuat hatinya bergetar. “Kenapa kamu harus selalu jadi orang baik, Om?” gumamnya pelan, terpesona dengan aura yang dimiliki Liam.
Dia ingin sekali membangunkannya dan berterima kasih, tetapi ada sesuatu yang menahan. Melihat Liam tertidur membuatnya merasa bersalah jika mengganggu ketenangan itu. Sebagai gantinya, Sheina meraih selimut dan menutupi bahu Liam, memastikan pria itu tetap hangat.
Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya Sheina merasa lelah dan tertidur kembali, tetapi sebelum menutup matanya, dia berbisik, “Aku berjanji akan berusaha lebih keras untuk tidak membebanimu lagi, Om. Terima kasih karena selalu ada untukku.”
🐾
Keesokan paginya, sinar matahari mulai merayap masuk melalui celah tirai, menciptakan pola-pola lembut di atas lantai. Suara burung berkicau di luar jendela membawa Sheina dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, merasakan hangatnya sinar pagi yang menyentuh kulitnya. Pandangannya segera mencari sosok Liam yang masih terlelap di sampingnya.
Liam terlihat sama seperti malam sebelumnya—tenang dan damai, wajahnya sedikit tersenyum. Sheina tersenyum melihatnya. “Om, bangun… sudah pagi,” katanya pelan, berusaha membangunkan Liam dengan lembut. Namun, Liam tidak juga terbangun.
Setelah beberapa kali memanggil, Sheina memutuskan untuk menggoyang bahunya perlahan. “Om Liam, bangunlah. Kita perlu sarapan,” ujarnya sambil menggoyang-goyangkan bahu Liam dengan lembut.
Liam akhirnya membuka matanya, sedikit kebingungan, kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum tersenyum. Dia mengambil ponsel dan mengetik dengan cepat sebelum menunjukkan pada Sheina, “Pagi, Sheina. Kenapa kamu tidak membangunkan aku lebih awal?”
Sheina tertawa kecil. “Karena aku tidak ingin mengganggu tidurmu yang nyenyak, Om. Lagipula, aku sudah merasa lebih baik setelah bercerita semalam.” Dia mengingat kembali momen-momen emosional yang terjadi tadi malam dan merasa sedikit lega saat berbicara tentang masa lalunya.
Liam bangkit duduk, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Dia kembali mengetik di ponselnya, “Baguslah kalau kamu merasa lebih baik. Kita bisa membuat sarapan bersama. Apa kamu mau pancake atau roti bakar?”
“Pancake! Aku mau pancake!” jawab Sheina dengan semangat, wajahnya bersinar penuh antusiasme. Momen kecil seperti ini—memasak bersama, bercanda, dan merasakan kebersamaan—adalah hal yang sangat dia hargai.
Liam tersenyum, beranjak dari tempat tidur dan menuju ke dapur. Sheina mengikuti di belakang, masih dengan rambutnya yang berantakan dan mata yang masih setengah mengantuk. Saat mereka sampai di dapur, Liam membuka lemari es dan mengeluarkan bahan-bahan untuk pancake.
“Kamu mau bantu, kan?” Liam menunjukkan ponselnya sambil memasang wajah bertanya. Tangannya mulai mengaduk adonan. Sheina mengangguk, bersemangat untuk ikut serta. Dia mengambil mangkuk dan mulai mengukur bahan-bahan dengan antusias, meskipun terkadang tangannya agak berantakan.
Selama mereka memasak, suasana di dapur dipenuhi tawa dan canda yang di dominasi oleh Sheina.
“Kita bisa buat pancake berbentuk hati! Atau mungkin wajah kucing?” Sheina menyeringai dengan imajinasi yang berlebihan.
Liam tertawa tanpa suara dan mengetik di ponselnya lalu menunjukkan pada Sheina, “Oke, kita buat pancake berbentuk kucing. Tapi kalau gagal, kita bisa bilang ini pancake alien.”
“Deal!” jawab Sheina seraya tertawa, merasa suasana hatinya semakin ceria.
Saat pancake selesai dimasak dan disajikan, mereka duduk bersama di meja makan. Pancake berwarna coklat keemasan dengan hiasan sirup dan potongan buah segar terlihat sangat menggugah selera. Sheina memandang Liam dengan senyuman lebar, “Terima kasih, Om. Ini adalah sarapan terbaik yang pernah aku buat!”
“Ini semua berkat kamu, Sheina. Tanpa bantuanmu, aku mungkin hanya akan memasak pancake biasa.” Tulis Liam tersenyum, menikmati momen kebersamaan itu.
Mereka menghabiskan waktu bersama di meja makan, berbagi cerita, dan saling menggoda. Hari itu dimulai dengan penuh semangat dan kehangatan, memberikan harapan baru bagi Sheina dan Liam, serta menguatkan ikatan di antara mereka.
🐾
Hari ini Sheina memutuskan tidak bersekolah, mengingat tubuhnya masih meriang. Setelah meminum obat yang di berikan oleh Reihan, gadis itu memutuskan berkeliaran di rumah.
Dia teringat dengan kucing putih bermotif mirip harimau di kamarnya. Gadis itu segera menuju kamar dan mendapati kucing itu tengah menggulung tubuhnya di sudut ranjang.
"Kau sudah baikan?" Tanya Sheina sambil memeriksa tubuh si kucing.
Kucing itu terbangun dari tidurnya dan menatap Sheina dengan polos, lalu kembali merebahkan diri sambil menghentak-hentakkan ekornya.
"Lukamu sudah sembuh, ya. Kalau gitu, kita mandi~" Seru Sheina sambil mengangkat kucing itu dari tempat tidurnya, membuat si kucing menatapnya tajam.
Kucing itu meronta-ronta di pelukan Sheina, namun sayang tenaga gadis itu lebih besar darinya.
Sheina bergegas menyambar sebuah handuk dan berjalan ke kamar mandi. Dan tiba-tiba saja terdengar jeritan kucing yang membuat Liam tersentak kaget. Buru-buru pria itu berjalan menuju kamar mandi, memastikan apa yang terjadi.
Liam membuka pintu kamar mandi dengan tenang, tapi suara jeritan kucing yang memekakkan telinga membuat alisnya berkerut. Di sana, ia mendapati pemandangan yang tak terduga—Sheina duduk jongkok di lantai, dikelilingi busa sabun, sambil memegang kucing basah kuyup yang meronta-ronta sekuat tenaga.
"Darling, honey bun~ ayo mandi yang bersih, biar ganteng dan jadi kucing laku," ucap Sheina dengan senyum jahil, sementara tangannya sigap menggosokkan sampo ke bulu si kucing yang malang. Suaranya terdengar manis, tapi nadanya seperti bos mafia yang tidak menerima penolakan.
Kucing itu terus mengeong keras, mencakar udara seperti mengirim SOS, tapi Sheina tak gentar. Ia malah tertawa kecil, "Nanti selesai, lu bakal jadi kucing paling cakep di kompleks, kan, Om?" katanya, seakan sedang mengajak Liam bersekongkol.
Liam berdiri di ambang pintu, menatap Sheina dan kucing itu dengan ekspresi datar—tapi sudut bibirnya terangkat sedikit, seperti ingin tertawa namun ditahannya. Ia hanya menggeleng pelan, menandakan: Ya ampun, ada-ada saja.
"Kucingnya drama banget, ya, Om. Nanti selesai mandi, kita kasih snack, deh," lanjut Sheina sambil menyeringai, sepenuh hati menikmati kekacauan kecil itu.
Liam hanya menghela napas dalam diam, lalu bersiap membantu kalau sewaktu-waktu kucing itu memutuskan untuk melarikan diri.
Liam melangkah masuk untuk membantu membuat kucing itu semakin panik dan berusaha melompat dari tangan Sheina. Namun, Sheina dengan cekatan menangkapnya kembali dan menatap Liam dengan tatapan puas. "Om Liam, nih, kucing udah kayak kamu waktu aku ajak ngomong! Sama-sama pengen kabur, ya?"
Liam hanya mengangkat alis, ekspresinya datar, tapi ada sedikit kilatan geli di matanya. Ia meraih handuk yang tergantung di dekat wastafel dan bersiap membantu Sheina.
"Om, coba pegang dia sebentar, ya? Biar aku bilas," kata Sheina sambil menyodorkan si kucing yang menggeliat seperti ikan lepas dari jaring. Liam, tanpa ragu, menerima kucing itu dengan satu tangan yang kuat tapi lembut. Ajaibnya, kucing itu seakan terdiam, mungkin karena aura tenang dan stabil yang dipancarkan Liam.
"Hah! Lihat tuh, Om, dia diem kalau sama kamu. Ini gak adil!" Sheina berdecak kesal, tapi senyumnya menunjukkan bahwa ia sebenarnya sangat menikmati momen ini. "Kucing, lu pilih kasih, ya. Sialan bener," gumamnya sambil mulai membilas bulu kucing dengan air hangat.
Liam memiringkan kepala, seolah berkata: Gimana lagi? Aku memang punya bakat alami, kan?
Setelah sesi memandikan kucing selesai, Sheina mengeringkan bulu kucing itu dengan handuk sambil bergumam, “Liat nih, gantengnya udah keluar. Abis ini pasti cewek-cewek kucing pada ngantri deh.”
Liam bersandar di kusen pintu, tersenyum kecil sambil memperhatikan. Tiba-tiba, kucing itu—yang semula diam pasrah—mengibaskan tubuhnya dan... bicara.
“Akhirnya, bebas juga dari sabun menyiksa itu!” suara si kucing terdengar serak namun jelas. Mata emasnya memandang Sheina dan Liam dengan sorot kesal. “Ngapain sih, kalian? Gue mandi sendiri juga bisa, tau!”
Sheina terdiam beberapa detik, mencoba memastikan apakah ia baru saja berhalusinasi. Kemudian dia menunjuk kucing itu sambil melongo. “Eh, eh, lu—LU NGOMONG? SERIUSAN?!”
Liam langsung tegang, alisnya mengerut. Ia memutar badannya sedikit, seolah memastikan tidak ada orang lain di sekitar yang bisa mendengar. Kucing bicara bukan hal biasa, bahkan untuk dunia paranormal.
“Yap, ngomong,” jawab kucing itu santai, menjilat bulunya. “Btw, thanks ya, sih, udah mandiin. Tapi, jujur aja, kayaknya lu lebih butuh mandi daripada gue, deh.”
Sheina tersentak. “Lu nyindir gue, kucing sialan? Mau gue masukin ember lagi?!”
“Gak usah marah-marah, boss,” balas kucing itu sambil menguap lebar. “Gue lagi males ribut.”
Sheina memelototi kucing itu, tetapi alih-alih marah, dia malah tertawa keras. "Ini kucing paling absurd yang pernah gue temuin!"
Sementara itu, Liam hanya bisa menahan tawa dengan bahu sedikit terguncang. Ia tidak tahu apakah ia harus khawatir atau terhibur dengan kejadian ini. Sebagai paranormal, ia sudah melihat banyak hal aneh, tapi ini jelas masuk daftar lima besar.
“Eh, Om Liam,” kata Sheina sambil menyenggol lengannya, “Kayaknya kita harus bikin kucing ini jadi partner bisnis baru. Om tau kan, kucing ngomong tuh laku keras buat konten!”
Liam hanya menggeleng, menatap kucing itu sambil berpikir: Kayaknya hidup sama Sheina bakal makin kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find My Home [End]
ParanormalSheina, gadis pemberani yang tidak memiliki rumah. Dalam keputusasaannya, dia bertemu dengan Liam Laksmana, pria bisu misterius. Tinggal bersama Liam membuat Sheina tak sengaja membangunkan kemampuan istimewanya. Di tambah dengan kehadiran Chakara...