Bab 16

171 8 0
                                    


Mata itu bergerak gelisah. Keringat yang terus bercucuran. Kepalanya berisik, sungguh sangat berisik.

Mati.

Mati.

MATI.

"Argghhh."

Dia mengerang kesakitan. Bayang-bayang itu terus menghantuinya.

Seharusnya kamu yang mati!

Kamu harus mati!

Kamu pembunuh!

"Iya gue juga mau mati."

"Gue juga ga mau hidup."

"Please, nanti gue juga bakal mati. Tapi biarin gue tenang sebentar dulu." Nafasnya memburu terengah-engah.

Kejadian itu terus berputar dikepalanya.

Kenapa disaat dia sudah kembali kemasa lalu, bayang-bayang itu masih saja terus menghantuinya? Kenapa?

Pembunuh!

Tidak, dia bukan pembunuh.

Kenapa kamu membunuh kakakku?

Kamu harus mati seperti kakakku!

Bukan keinginannya untuk membunuh. Bukan keinginannya. Dia dipaksa.

Ya, dia akan mati seperti orang-orang menyumpahinya untuk 'Mati'.

Bergerak gelisah. Matanya berkaca-kaca saat mengingat dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Menatap tangannya yang kini gemetar.

Tangannya dengan gemetar memegang pistol yang diserahkan ayahnya. Menaikkan tangannya untuk menembak sasarannya.

"Daddy.. aku tidak bisa.."

Pistol itu jatuh dari tangannya. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa melanjutkan hal ini.

Ayahnya menatapnya dengan tajam. Sang ayah mengambil pistol yang telah jatuh dan kembali menyerahkannya ketangan anaknya.

Membuka tangan itu dan meletakkan pistol itu diatas tangan anaknya, kemudian mengepal tangan itu, sehingga menggenggam pistol dengan sempurna.

"Theo, ingat baik-baik."

"Pilihanmu hanya dua. Dibunuh atau membunuh. So? Apa yang kamu pilih?"

William mengarahkan tangan anaknya kearah seorang pria yang kini duduk dikursi dengan posisi terikat.

"Lihat baik-baik Theo. Jangan tutup matamu, jika kau menutupnya maka kau tau apa yang akan terjadi bukan, Theo?"

Theo mengangguk. Ya, jika dia tidak menuruti setiap perkataan ayahnya dia akan diberi hukuman. Hukuman yang seakan merenggut kewarasannya.

Dan juga tugas yang ikut merenggut kewarasannya.

Memposisikan pistol itu dengan baik dan..

Dor!

Darah pria itu mengenai baju putihnya.

Pistol itu jatuh dengan tangan yang gemetar. Tangannya gemetar setelah melakukan hal keji tersebut.

"Bagus Theo. Setelah ini kau akan sering melakukan ini."

Theo menutup matanya, menahan perasaan yang bergejolak ingin memaki dirinya yang lemah.

Kenapa dia bisa lemah seperti ini.

Kenapa dia tidak bisa melawan ayahnya.

"Kakak.. KAKAK BANGUN!"

"KAKAK JANGAN TINGGALKAN AKU.."

Tangisan dan teriakan seorang anak kecil mengalihkan perhatiannya. Anak kecil itu merupakan keluarga pria yang telah ditembaknya.

Anak itu menatapnya dengan mata penuh kebencian. Tatapan marah terlihat jelas dimata anak itu.

"Pembunuh!"

"Dasar pembunuh!!"

"Arrgghh."

"Tidak aku bukan pembunuh.." lirihnya dengan penuh kesedihan.

Ya tuhan. Kenapa takdirnya harus seperti ini?

Air matanya mengalir tanpa diminta. Meraung dengan pilu. Tangisannya terdengar sangat menyedihkan.

***

"Aku bukan pembunuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku bukan pembunuh."
~Askara Theo~

Theo's Second Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang