16. Cinta dan Sakit

161 20 0
                                    

Cinta dan sakit adalah dua hal yang berdampingan. Ketika kamu jatuh cinta, maka harus merasakan sakit.

Itulah yang Novan bilang beberapa hari lalu. Kalimat itu menancap sangat dalam di hati Jovan. Apa yang Novan bilang adalah sebuah kebenaran. Tapi kenapa hatinya menolak?

Sejak malam itu, Jovan belum melihat keberadaan Novan di rumah ini. Pagi ini juga Novan memberikan pesan singkat padanya untuk berangkat bersama Zidan. Novan sudah menghubungi Zidan, begitu katanya.

Entah kemana perginya Novan hingga tidak pulang.

Kemarin begitu sampai rumah, Novan mendapatkan telpon. Saat mengangkatnya, terdengar suara laki-laki yang sepertinya menyuruh Novan untuk datang bertemu secepatnya.

Dan terbukti saat Novan langsung putar arah, keluar dari rumah tanpa bicara apapun pada Jovan. Bahkan Novan belum sempat melepas sepatunya.

Siapa laki-laki itu?

Jovan menghela nafas dengan keras, hingga menarik perhatian dari Zidan yang berada di sebelahnya. Jovan sudah di kampus, seperti kata Novan dia sudah menghubungi Zidan untuk berangkat bersama Jovan.

"Kenapa lo?" tanya Zidan dengan suara lirih, karena di depan temannya sedang presentasi.

Jovan menggeleng pelan, tidak mengalihkan pandangan dari buku yang sudah dia coret acak. Bibirnya maju beberapa centi, menandakan dia sedang sedih akan sesuatu.

"Novan ya?"

Zidan kembali bersuara, kali ini berhasil membuat Jovan menatap matanya. Zidan menghela nafas lelah saat melihat Jovan mengangguk. Kali ini apa lagi yang dilakukan dua kakak adik itu?

Zidan baru akan bertanya, tapi di depan sana, dosen sudah beranjak untuk pergi dari kelas. Ah bahkan mereka tidak sadar jika mata kuliah sudah habis.

Dengan segera Zidan memasukkan binder dan pulpen kedalam tasnya. Lalu menarik Jovan yang baru saja berdiri. Mereka akan bicara.

"Apalagi kali ini? Perasaan lo berdua kemarin masih kompak ngasih gue nasehat deh." ucap Zidan saat keduanya sudah duduk di gazebo depan fakultas.

"Novan gak pulang semalam. Dia bahkan pagi ini nyuruh lo buat jemput gue." jelas Jovan, tangannya memainkan ujung bajunya sendiri, matanya juga sudah siap menangis kapan saja.

"Lah kocak, dia gada bilang gitu mau kemana?"

Jovan menggeleng, tanda bahwa tidak ada pesan apapun dari Novan.

"Kemarin emang kalian berantem atau gimana? Kocak bener dah dia, baru bikin lo senyum bentar masa udah mau bikin lo nangis lagi sih?"

Jovan menatap Zidan ragu. "Kemarin Novan ada bilang sesuatu sih, tapi kita gak berantem kok. Soalnya gue gak jawab atau bantah perkataannya sama sekali."

"Bilang apaan?"

"Novan bilang tentang hubungan kita, gue sama Novan. Dia bilang kalau hubungan kita tabu di masyarakat. Iya gue tau, Novan masih bingung sama cinta gue ke dia, di pikirannya rasa cinta gue ini terlalu asing dan gak masuk akal. Tapi ini gue yang rasain, gue yang punya cinta itu, gue tau persis kalau cinta gue ini nyata. Emang salah ya gue jatuh cinta?"

"Gue cuma jatuh cinta, kenapa harus sesakit ini?" lanjutnya, suaranya semakin lirih diakhir.

Zidan segera menarik Jovan untuk dipeluk. Dia merasa dilema juga, satu sisi Jovan hanya jatuh cinta, tapi di sisi lain ada Novan yang tidak pernah mengenal cinta dari selain keluarganya, mungkin saja Novan masih bingung juga.

"Jova, lo inget kan apa yang gue bilang diawal? Cinta lo bakal banyak rintangannya, bakal ada banyak sekali hal yang buat air mata lo jatuh. Tapi lo bilang kalau pasti bisa laluin itu, karena lo begitu yakin Novan akan dukung lo. Sekarang lihat sendiri, bahkan alasan lo nangis aja orang yang lo cintai."

Zidan melepaskan pelukan keduanya, menatap tepat dimata Jovan. "Sekarang gue tanya untuk yang kesekian kalinya, lo masih mau berhenti berjuang tanpa hasil atau lanjut berjuang dengan ribuan pedang menancap di dada?"

Jovan bungkam. Dia memikirkan apa yang Zidan bilang barusan. Masih sanggupkah dia berjuang? Membuat Novan luluh padanya dan memperjuangkan cinta yang lama bersarang dihatinya?

Jovan sadar dari awal dia memulai semua ini, memang sudah Jovan pikirkan juga tentang norma. Dia hanya tidak menyangka jika Novan yang akan mengucapkan hal itu.

"Zidan, bawa gue ke Novan sekarang."

~Sarsnit~

Disinilah keduanya sekarang, sebuah cafe yang ada ditengah kota.

Zidan tadi sudah menghubungi Novan untuk bertemu, awalnya Novan menolak. Novan bilang jika dia sedang sibuk saat ini, tapi bukan Zidan namanya jika tidak memaksa.

Tidak lama terlihat Novan berjalan memasuki cafe.

Jovan yang melihat Novan segera berdiri dan berjalan cepat kearah Novan. Tubuh Novan menegang saat diterjang pelukan erat oleh Jovan.

"Kak, kenapa?" tanya Novan bingung.

Tapi Jovan diam tanpa mengucapkan apapun. Novan juga merasakan kemeja yang dia pakai basah. Novan mendorong pundak Jovan, berniat memisahkan pelukan keduanya. Tapi Jovan semakin erat memeluk tubuh Novan.

"Kak hei, kenapa? Kok nangis?" tanya Novan lagi, nadanya terdengar sangat khawatir. Tentu saja dia khawatir, apapun yang menyangkut Jovan itu penting baginya.

Melihat dua orang yang sedang berpelukan itu, Zidan memutuskan memanggil Novan untuk duduk. Novan dengan sedikit kesulitan mengangkat tubuh gempal Jovan dan berjalan mendekati Zidan.

Baru ingin menurunkan si manis, Novan merasakan pelukan yang diberikan Jovan semakin erat. Membuat Novan terpaksa memangku Jovan di depan publik.

"Ada apa?" tanya Novan begitu berhasil duduk.

Sedari tadi, tatapan mata Zidan sungguh menyeramkan. Novan bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa dia ada buat salah?

"Lo kemana aja dari semalam? Kata Jovan lo gk pulang?" tanya Zidan to the point.

"Iya..." Novan menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba saja gatal. "Gue emang gak pulang." jawabnya ragu. Sepertinya sekarang dia mengerti apa salahnya.

"Kemana?" tanya Zidan dengan nada yang lebih datar.

Jika saja tidak ada Jovan di pelukannya, sudah dipastikan Novan akan lari meninggalkan Zidan karena tidak tahan dengan suasana menyeramkan ini.

"Oh itu.... gue ke..." Novan mulai gelisah. Bagaimana ini, tolong selamatkan Novan sekarang.

Novan melihat tatapan menuntut dari Zidan. Semakin membuat perutnya mulas. Tangannya meremas pinggang Jovan, saking gugupnya.

Hal itu membuat Jovan mengangkat kepalanya dari bahu Novan. Tangan Jovan memukul lengan kanan Novan.

"Sakit!"

Novan meringis, bukan karena pukulan Jovan yang tidak seberapa, tapi karena merasa bersalah sudah tanpa sadar meremas pinggang Jovan.

Tangan Novan berpindah ke mata Jovan, ibu jarinya mengusap sisa air mata yang tertinggal.

"Maaf, jangan nangis lagi." ucap Novan bersalah.

Setelahnya Novan membubuhkan sebuah ciuman singkat pada kedua mata Jovan. Membuat Zidan memutar bola matanya, lelah dengan dua manusia di depannya ini.

~Sarsnit~

Tebece~

Sarsnit | JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang