9. Jovan sakit

313 30 3
                                    

Jovan demam.

Kemarin malam tubuhnya menggigil, meskipun AC di kamarnya sudah dimatikan. Dan pagi ini, Jovan menangis sambil terus menyebut nama Novan. Dia butuh Novan.

Karena sudah tidak tahan dengan pening di kepalanya, Jovan meraih ponselnya guna menelpon siapapun yang ada di kontaknya.

"Halo?"

"Ke rumah gue please, gue sakit." ucap Jovan lirih. Setelah mengucapkan kalimat itu, Jovan menutup telponnya secara sepihak. Dia juga tidak peduli siapa yang dia telpon tadi. Mau itu Zidan, Papa, atau bahkan teman sekelasnya yang lain.

Sembari menunggu siapapun yang dihubunginya sampai, Jovan memilih tidur. Sungguh kepalanya nyut-nyutan sekarang ini.

~Sarsnit~

Jovan terbangun karena pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. Tangannya memegang kening yang terdapat sapu tangan. Mengernyit bingung, apa Zidan sudah datang?

Suara pintu terbuka membuat Jovan mengalihkan pandangan kearah pintu. Matanya melotot begitu melihat Novan berdiri sambil memegang nampan yang berisi baskom dan segelas air putih.

"Oh, udah bagun?" tanya Novan sambil melangkah kearah Jovan.

Jovan hanya diam sambil menatap setiap pergerakan Novan. Bahkan ketika Novan menuntunnya untuk minum air putih, Jovan juga tetap diam menurut.

"Mau makan gak kak? Aku belum masak sih, soalnya pas sampai ngelihat kakak panas baget, aku panik. Jadi belum kepikiran buat masak." Novan mengambil handuk yang Jovan pegang, mencelupkannya ke baskom dan memerasnya. "Kalau mau makan sekarang, aku masak dulu." kata Novan sambil menempelkan handuk yang sudah setengah basah ke dahi Jovan.

Melihat tidak ada respon dari kakaknya, Novan menatap mata Jovan yang sedari tadi menatapnya. Tangannya sedikit dilambaikan di depan wajah Jovan.

"Kak?"

Jovan mengerjap pelan. Pipinya yang sedikit memerah karena demam itu semakin merah.

"Kapan pulang?" tanya Jovan lirih.

Novan tersenyum singkat sebelum menjawab. "Barusan, aku panik pas kakak bilang sakit tadi. Aku langsung cari tiket tercepat buat bisa cepat pulang."

Ah, jadi tadi Novan yang dia hubungi?

"Kok bisa sakit kak? Skip makan lagi?" tanya Novan memastikan. Sebenarnya dia sudah tau kakaknya belum makan dari kemarin. Zidan sudah menceritakan semuanya selama diperjalanan tadi melalui telpon.

"Lain kali jangan suka skip makan."

Melihat Novan didepannya, membuat Jovan kembali teringat chat dari Rama kemarin. Matanya kembali memanas, siap untuk menangis. Hatinya kembali sakit.

Novan yang melihat mata kakaknya berkaca-kaca segera memeluk tubuh Jovan. Mengucapkan beberapa kalimat penenang.

"Gapapa kak, gapapa.... nanti sakitnya bakal sembuh kok, ada aku disini...."

Novan tidak tau bahwa tangis Jovan bukan karena menahan sakit di badannya, bukan itu. Jovan menangis karena ternyata pikirannya salah, Novan masih menyayanginya. Novan masih memprioritaskan dirinya. Novannya masih sama.

"Mau makan?" ucap Novan setelah tangis Jovan mereda. Novan rapihkan rambut kakaknya yang berantakan. Matanya mengunci tatapan Jovan.

Jovan mengangguk, tidak mampu menjawab karena jika bersuara pasti tangisnya keluar lagi. Novan tersenyum dan segera beranjak menuju dapur.

Melihat Novan yang beranjak, Jovan tersenyum tipis. Air matanya kembali keluar. Hatinya masih tidak karuan, sakit dan bahagia menjadi satu.

~Sarsnit~

"Menjauh dari gue."

Zidan menyentak tangan Leo yang berusaha meraih tangannya. Mereka sedang di rumah sakit, Leo ikut papanya untuk menjenguk mama Zidan yang sedang sakit.

"Lo tuh kenapa sih, kenapa ngehindar dari gue terus?" ucap Leo, tatapannya menyiratkan keputusasaan. "Gue cari lo di kampus, tapi lo gak ke kampus. Bahkan lo gak pulang ke kos juga. Sebenarnya lo kemana, kenapa ngejauh dari gue?"

Zidan diam, mulutnya terkunci rapat. Tidak tau harus membalas apa. Jika tadi dia punya keberanian besar menjawab setiap ucapan Leo, sekarang entah kemana rasa berani itu pergi.

"Sekarang jelasin, lo kemana aja kemarin?"

Zidan menunduk, sedikit takut dengan tatapan Leo. Leo tidak menatapnya tajam, tapi justru itulah yang Zidan takuti, tatapan kecewa dan kesedihan dari Leo.

"Hiks....hiks..."

Leo memandang Zidan yang menangis, bukannya menjawab pertanyaannya tapi laki-laki aries itu malah menngis sambil memilin ujung bajunya. Jika tidak di suasana seperti ini, Leo bisa saja sudah menggigit pipi Zidan karena gemas.

"Dan, cukup jawab gue, kemana lo selama ini? Gue gak marah sama lo, gue cuma pengen tau lo kemana."

Leo menarik tangan Zidan untuk digenggam. Tidak ada penolakan seperti tadi. Zidan justru ikut mengeratkan genggaman tangan keduanya.

"Gue takut.... gue takut sama lo." Zidan mulai membuka suaranya, meskipun lirih tapi Leo mmpu menangkap ucapan Zidan. "Lo bikin gue takut.... omongan lo malam itu ngebebani gue semalaman, gue gak bisa tidur. Sampai akhirnya gue milih lari dari lo, lari kemanapun asal gak ketemu lo."

"Gak pernah ada sedikitpun di otak gue lo bakal punya rasa lebih ke gue. Selama ini, lo udah gue anggap adek. Dan pernyataan lo malam itu bikin gue terbebani." lanjutnya.

"Gue udah bilang kan, buat gak usah dipikirin? Lo gak harus merasa terbebani sama omongan gue. Lo tinggal bilang kalau lo gak suka sama gue balik, gue udah lega karena lo udah tau perasaan gue. Cukup itu, soal perasaan gue itu urusan gue." ucap Leo.

Jujur saja, Leo tidak berharap untuk dicintai balik. Dia sadar selama ini Zidan tidak mempunyai perasaan apapun kepada dia. Tapi setidaknya, dengan mengungkap perasaannya dia sedikit lega.

"Zidan, gue tau lo masih terperangkap di masalalu."

~Sarsnit~

Jovan memandang setiap pergerakan Novan. Matanya mengikuti kemanapun Novan melangkah. Mulai dari menyiapkan makan, menuang air, dan membantu Jovan duduk.

"Buka mulut kak." ucap Novan, hendak menyuapkan satu sendok bubur ke mulut Jovan.

"Kamu beneran di sini?"

Bukannya menuruti apa yang Novan ucapkan, Jovan malah bertanya hal yang konyol. Tentu saja Novan di sini, memangnya yang sedari tadi menyiapkan segala keperluan Jovan itu siapa, mana mungkin Kak Gem kan?

"Iya, aku di sini kak." Novan memberikan senyuman singkat. "Sekarang makan ya, kakak harus minum obat."

Jovan menurut, dia membuka mulutnya dan menerima satu suap bubur dari Novan. Matanya tidak pernah lepas dari Novan. Takut jika dia mengalihkan pandangan sebentar saja, semuanya akan hilang dan Novan hanyalah hayalannya.

Novan sendiri tidak menyadari tatapan Jovan. Dia terlampau khawatir dengan keadaan kakaknya itu. Nyawanya hampir melayang begitu Jovan menelponnya, mengatakan dia sakit dan memintanya datang. Tanpa pikir panjang dia segera mengemas pakaiannya dan memesan tiket penerbangan paling cepat. Novan bahkan tidak peduli jika hari ini seharusnya dia menyerahkan laporan ke dosen dengan yang lain, atau anggota kelompoknya yang panik mencari dia entah kemana. Novan sama sekali tidak peduli.

Sepanjang perjalanan juga dia merutuki dirinya yang ceroboh. Bagaimana bisa dia bisa lupa menghubungi kakaknya, menanyakan keadaannya. Sampai-sampai Jovan bisa sakit seperti ini.

~Sarsnit~

Tebece~
Tolong jangan pada nangis. Tabok aja si Novan karena udah bikin Jovan sakit.

Sarsnit | JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang