13. Abimana's Family

181 20 0
                                    

Cuaca pagi ini begitu cerah, aku melangkah turun ke lantai bawah. Di dapur, aku lihat Mama sedang menata makanan untuk kita sarapan bersama. Segera saja aku hampiri Mama. Aku cium pipinya dan mengucapkan selamat pagi.

Mamaku hari ini sangat cantik. Tidak, Mama selalu cantik di mataku. Wanita tercantik di dunia bagiku.

Tidak lama aku mendengar teriakan kakakku. Dengan dasi yang belum dipasangkan, rambut yang acak-acakan dan jangan lupakan bibirnya yang mendumel kesal. Lucu sekali.

"Mama, kok telat bangunin kakak. Aduh kakak jadi telat dong ini?"

Mama menghela nafas singkat sebelum menghampiri Jovan, nama kakakku. "Ini tanggal merah sayang. Kemarin kan sudah dibilangin sama ibu guru. Jovan lupa?" kata Mama, tangannya sibuk merapikan rambut kakak.

Aku menahan tawa di belakang tubuh Mama. Sedangkan kakak sendiri hanya tersenyum polos. Dia pasti lupa.

"Kakak lupa, Ma."

"Belum beruban kok sudah pikun sih Kak."

Suara berat yang berasal dari tangga mengalihkan perhatian kita bertiga. Itu Papa dengan kaos santainya yang aku tebak baru saja mandi.

Aku langsung berlari menuju Papa. Setelah menggendongku, aku mencium pipinya dan mengucapkan selamat pagi. Sama seperti yang aku lakukan ke Mama.

"Jagoan kecil papa mau kemana libur sekolah gini?" tanya Papa. Sedangkan aku mengetukkan jari ke dagu, sedang berpikir. "Ke Dufan?" tanyaku ragu.

Sebenarnya, dua hari lalu teman sekelasku bercerita tentang indahnya Dufan yang dia kunjungi saat kerabatnya yang dari luar negeri datang berkunjung. Aku jadi ingin merasakannya juga.

"Boleh, kita ke Dufan setelah sarapan. Dedek sudah mandi kan?"

Aku mengangguk semangat. Setelahnya Papa membawaku menuju meja makan yang sudah ada Mama dan kakak di sana. Kita makan dengan celotehan dariku dan kakak yang merencanakan akan bermain apa saja nanti di Dufan.

Liburan adalah favoritku, sedangkan kakakku lebih suka berlibur di dalam rumah. Biasanya kita akan menggambar bersama, atau membuat rumah dari balok mainan.

Sedangkan aku lebih suka jika bermain di luar rumah bersama keluargaku. Seperti saat ini, aku sudah berlari jauh di depan dengan menggandeng tangan Papa. Kakak dan Mama tertinggal di belakang.

"Papa, main bomb bomb car!"

Aku melompat kecil sembari menunjuk permainan favoritku.

Papa tersenyum, setelahnya kita mengantri untuk dapat masuk. Tidak lama Mama datang dengan kakak. Papa mendorongku dan kakak untuk maju karena antrean. Aku dan kakak mengantri sendiri, sedangkan Papa dan Mama duduk di luar area.

Papa sudah siap dengan kamera di tangannya, Mama juga dengan senyum lebarnya melambaikan tangannya. Aku yang melihatnya kemudian menepuk bahu kakak untuk melihat kearah Mama dan Papa.

Aku bahagia sekali. Setelah berhasil mengendarai mobil mini karena bertukar tempat dengan kakak. Itu karena saat kakak yang menyetir tadi dia sering menabrak pembatas. Perutnya terkena setir. Aku kemudian menawarkan diri untuk menggantikan menyetir.

Setelah puas bermain, aku keluar dengan riang. Meninggalkan kakak yang kesusahan, sibuk dengan tali sepatunya yang lepas. Begitu sampai di depan Mama, dia langsung mengadu.

"Kakak cengeng, payah, belum bisa taliin sepatu sendiri. Aku dong sudah bisa." kataku dengan nada sombong.

Kakak semakin menangis mendengarnya. Tapi aku tidak peduli. Aku malah semakin mendusalkan wajah ke leher Papa.

Sarsnit | JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang