Novan mendekap tubuh panas kakaknya. Baru saja dia menceritakan apa yang terjadi selama disana, dan kini kakaknya itu tengah tertidur begitu dia selesai bercerita. Novan juga meminta maaf kepada Jovan karena tidak mengangkat telponnya ataupun membalas pesannya.
Zidan sudah bercerita jika saat itu Jovan meminta tolong kepada Rama. Tapi saat di Shanghai, Rama tidak memberitahu apapun kepadanya. Dia juga menyesal karena tidak memperhatikan pesan-pesan yang masuk ke ponselnya.
Novan merasakan bajunya basah oleh keringat Jovan. Tangannya mengusap keringat di dahi dan leher Jovan, berusaha sepelan mungkin agar tidak mengganggu tidur Jovan.
Ingin dibangunkan untuk mengganti pakaian, tapi kakaknya itu baru saja tertidur. Pasti akan pusing jika dibangunkan sekarang. Akhirnya Novan membiarkan Jovan tidur dengan tetap memeluknya.
Jovan jarang sekali sakit. Novan selalu memastikan kakaknya itu dalam keadaan sehat, fisik maupun nonfisik. Pernah sekali Jovan telat makan karena tugas kuliah yang menumpuk. Dan Novan akan berceramah sepanjang hari, bahkan meskipun Jovan sudah makan sekalipun.
Novan juga selalu memastikan kakaknya itu tidak kelelahan. Mengontrol jam tidur Jovan, menjadi supir pribadi Jovan, melarang Jovan mengangkat barang yang berat, dan masih banyak lagi. Jika saja Novan melihat kakaknya kelelahan, dia akan memberikan pijatan disertai ocehan yang tidak berhenti.
Pernah sekali saat Jovan terpaksa pulang naik bus saat Novan masih ada jam kuliah. Jovan mengalami hal yang kurang mengenakkan di dalam bus. Ada satu laki-laki tua yang dengan sengaja menyentuh pantat Jovan, karena posisi yang berdempetan, membuat Jovan tidak berani untuk bergerak.
Dan begitu sampai rumah, Jovan menangis histeris karenanya. Keesokan paginya dia demam. Sejak saat itu Novan melarang Jovan untuk pulang terlebih dahulu.
Novan sesayang itu pada Jovan. Tidak heran jika Jovan bisa memiliki perasaan yang melenceng, perasaan yang tidak seharusnya ada. Novan sadar dengan pasti, semua perasaan yang Jovan punya itu berasal dari dia sendiri.
Novan tidak bisa mencegah dirinya untuk bertindak lebih. Seperti sering mengucapkan kata-kata godaan kepada Jovan. Semuanya sungguh diluar kendalinya. Novan hanya mengucapkan apa yang ada di pikirannya.
Ada saatnya Novan merutuki sifat ceplas-ceplosnya itu. Dulu saat SMA, dia harus menolak lima gadis dalam sehari. Hanya karena kelimanya salah mengartikan tindakannya.
Itu cukup membuat Novan trauma. Karena setelahnya Jovan mendiamkan dia, enggan berbicara selama seminggu lamanya. Dan saat masuk perkuliahan, Novan menjadi agak tertutup. Berbicara saat diperlukan saja.
"Ugh...."
Erangan dari Jovan itu membuat Novan yang menutup mata kembali membukanya. Novan melihat dahi Jovan sudah bercucuran keringat, juga matanya yang mengernyit tidak nyaman. Dengan hati-hati dia usap punggung Jovan, sambil mengucapkan kalimat penenang.
Jovan yang merasakan usapan Novan di punggungnya membuka mata. Dia memandang Novan dengan mata yang sayu. Bibir bawahnya digigit, lucu sekali. Apalagi pipi yang memerah karena suhu tubuhnya meningkat.
"Mau sesuatu?"
Jovan mengangguk, tapi masih mempertahankan ekspresi yang sama. Novan kemudian mengusap rambut Jovan yang sudah basah oleh keringat, dan bertanya apa yang Jovan inginkan.
"Pisang lumer...." ucap Jovan lirih.
Novan melihat jam di nakas sekilas, setelahnya bangkit duduk. "Kakak ganti baju ya, bajunya udah basah gitu pasti gak nyaman. Aku ke depan dulu beli pisang lumer." ucap Novan sembari berjalan kearah lemari.
Setelah memastikan Jovan duduk dengan nyaman, Nivan melepas Kaos yang Jovan pakai, dan memakaikan Kaos baru yang dia ambil tadi. Ketika akan membuka celana Jovan, tangannya ditahan. Matanya menatap bertanya pada Jovan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarsnit | JAEMJEN
RandomDISCLAIMER‼️ • BXB • JAEMJEN AREA • FANFICTION, JANGAN DIBAWA KE RL • I HAVE FULL COPYRIGHT TO THIS STORY, SO DON'T COPY IT!!! "Aku mencintaimu, percayalah." "Maaf, kak..."