Bab 1 : Pertemuan Tak Terduga

5 0 0
                                    


Di sebuah sore yang cerah, Alya berjalan menyusuri trotoar kota sambil memegang erat buku catatannya. Ia baru saja selesai bekerja di sebuah toko buku kecil di ujung jalan. Wajahnya menampakkan kelelahan, tapi matanya tetap memancarkan semangat yang selalu ia jaga. Alya, gadis yatim piatu berusia 22 tahun itu, menjalani hidup yang jauh dari mewah. Namun, dengan tabah dan keyakinan, ia selalu menemukan kebahagiaan di hal-hal kecil yang sering terabaikan orang lain.

Hari itu, Alya memutuskan untuk mampir ke taman kota yang selalu menjadi tempat favoritnya. Di sana, ia sering duduk di bangku taman, membuka bukunya, dan menulis puisi atau sekadar merenung tentang kehidupan. Bagi Alya, dunia terasa lebih tenang di tengah hiruk-pikuk kota besar ini. Langit sore berwarna oranye keemasan saat ia tiba di taman dan duduk di bangku favoritnya. Ia menatap langit, menghela napas dalam-dalam, seakan mencoba menyerap kedamaian alam di sekelilingnya.

Namun, ketenangan sore itu segera terpecah oleh suara langkah kaki cepat dan napas berat seseorang yang tengah berlari mendekatinya. Alya menoleh dan melihat seorang pria berpakaian rapi, mengenakan setelan jas mahal, tampak terburu-buru. Pria itu, meskipun terlihat sangat profesional, wajahnya memperlihatkan ekspresi tegang dan gelisah. Alya hampir tidak memperhatikan ketika pria itu secara tidak sengaja menabraknya, membuat buku catatan yang sedang ia pegang terjatuh.

"Aduh, maafkan saya!" Alya bergegas memungut bukunya, sementara pria tersebut berhenti dan dengan canggung menatapnya.

Pria itu adalah Arga Wijaya, CEO muda yang baru-baru ini mencuri perhatian publik dengan kecerdasannya dalam bisnis. Usianya baru 30 tahun, namun posisinya sebagai CEO perusahaan teknologi terkemuka membuatnya menjadi salah satu orang paling berpengaruh di kota. Meskipun banyak yang mengagumi kesuksesannya, mereka yang mengenalnya secara pribadi tahu bahwa Arga adalah pria yang tertutup, dingin, dan cenderung kaku. Baginya, hidup adalah urusan kerja—tidak ada ruang untuk hal-hal lain.

Namun, saat Arga menatap Alya, ada sesuatu yang membuatnya terdiam sejenak. Gadis ini, meski sederhana, memiliki aura yang tidak biasa. Tatapan mata Alya yang jernih dan senyum lembutnya seakan membawa ketenangan yang jarang Arga temui dalam hidupnya yang penuh tekanan.

"Maaf, saya terlalu terburu-buru," kata Arga dengan nada datar, namun terselip rasa bersalah dalam suaranya. Ia jarang berbicara seperti itu kepada orang asing, apalagi pada seseorang yang tampaknya tidak memiliki kepentingan dalam dunianya.

"Tak apa," jawab Alya sambil tersenyum tulus. "Sepertinya Anda sedang sangat terburu-buru. Ada yang bisa saya bantu?"

Arga terdiam sesaat, tidak menyangka akan ditanyai dengan tulus oleh seorang gadis biasa yang baru saja ia tabrak. "Tidak, saya hanya... sedang berpikir banyak hal," jawabnya singkat, tidak ingin terlibat dalam percakapan lebih lanjut. Baginya, hal-hal seperti ini hanya membuang waktu.

Namun, Alya, dengan kehangatan alaminya, tidak dapat menahan diri untuk tidak memperhatikan ekspresi wajah Arga yang tampak sangat lelah. "Anda terlihat sangat lelah. Saya tidak tahu apa yang sedang Anda pikirkan, tapi mungkin akan lebih baik jika Anda beristirahat sejenak. Duduk di sini mungkin bisa membantu," katanya sambil menunjukkan bangku taman di sebelahnya.

Arga, meskipun terkejut dengan perhatian sederhana itu, tiba-tiba merasa bahwa mungkin benar ia membutuhkan sedikit jeda dari kesibukannya. Ia menghela napas panjang, merasa aneh dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba menurut pada saran seorang asing. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia duduk di bangku yang ditunjuk Alya.

Keduanya duduk dalam keheningan sejenak. Arga menatap ke depan, berusaha meredakan gejolak pikirannya, sementara Alya melanjutkan menulis di buku catatannya. Keheningan itu, meskipun canggung, terasa nyaman. Bagi Alya, berbagi tempat dengan seseorang yang terlihat begitu berbeda dari dirinya adalah hal yang menarik. Ia selalu merasa tertarik untuk mengamati orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang tampak berbeda secara sosial, karena ia tahu setiap orang memiliki cerita yang unik.

"Apa yang sedang kamu tulis?" tanya Arga tiba-tiba, mencoba memecah keheningan. Ia merasa aneh menanyakan hal itu, tetapi rasa ingin tahunya muncul secara alami.

Alya tersenyum kecil, sedikit terkejut dengan pertanyaan Arga. "Saya menulis puisi," jawabnya singkat.

"Puisi?" Arga mengerutkan kening. "Kamu suka menulis puisi?".

"Iya," jawab Alya sambil menutup bukunya. "Puisi bagi saya adalah cara untuk menyuarakan apa yang ada di dalam hati. Kadang-kadang, saya merasa sulit untuk mengekspresikan perasaan dengan kata-kata biasa, jadi saya menuliskannya dalam bentuk puisi."

Arga hanya mengangguk pelan, mencoba memahami. Dunia Alya terasa sangat jauh dari dunianya. Baginya, hidup adalah tentang angka, keputusan besar, dan tekanan tak henti-henti. Puisi? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Namun, ada sesuatu dalam cara Alya berbicara yang membuat Arga sedikit tertarik.

"Apa yang membuatmu menulis puisi?" tanya Arga, meskipun ia sendiri tidak yakin kenapa ia bertanya begitu.

Alya menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kadang-kadang, hidup bisa terasa sangat berat, bukan? Menulis puisi membantu saya menemukan kedamaian di tengah kekacauan. Seperti sekarang, saya merasa tenang melihat matahari terbenam di langit, dan itu membuat saya ingin menulis sesuatu yang indah."

Arga terdiam. Kata-kata Alya, meskipun sederhana, memiliki makna yang dalam. Baginya, ketenangan adalah sesuatu yang langka, dan ia selalu mencari cara untuk menghilangkan stres. Tapi mendengar bagaimana Alya menemukan kedamaian dalam hal-hal kecil seperti matahari terbenam membuatnya merenung. Sudah berapa lama sejak ia menikmati hal-hal sederhana dalam hidup?

"Bagaimana denganmu?" Alya bertanya, memecah lamunan Arga. "Apa yang membuatmu begitu terburu-buru?"

Arga ragu sejenak sebelum menjawab. "Pekerjaan. Ada banyak hal yang harus diselesaikan. Saya harus menghadiri beberapa pertemuan penting, dan semuanya terasa... menekan." Alya mengangguk, mengerti. "Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar kesuksesan hingga lupa bagaimana cara bernapas. Kamu tahu, saya pernah membaca kutipan yang mengatakan bahwa kita tidak hidup hanya untuk bekerja, tetapi bekerja untuk hidup. Mungkin kamu hanya perlu mengambil jeda sejenak."

Arga menatap Alya, heran dengan kebijaksanaan gadis sederhana ini. Di balik kesederhanaannya, Alya memiliki cara pandang yang begitu jernih dan tulus. Ia tersenyum kecil—senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya. "Mungkin kamu benar," gumamnya pelan.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Arga melihat jam di pergelangan tangannya dan berdiri. "Terima kasih sudah mendengarkan," katanya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Senang bisa membantu," jawab Alya dengan senyum hangat.

Sebelum Arga pergi, ia berhenti sejenak, lalu berbalik dan menatap Alya. "Siapa namamu?"

"Alya," jawabnya sambil menganggukkan kepala.

"Terima kasih, Alya. Sampai jumpa lagi," kata Arga sebelum melangkah pergi.

Alya hanya bisa tersenyum saat melihat pria itu berjalan menjauh. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi pertemuan singkat tersebut entah bagaimana terasa istimewa. Alya kembali ke bangkunya, melanjutkan menulis puisinya, tanpa menyadari bahwa pertemuan tak terduga itu akan mengubah hidupnya selamanya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now