Bab 14 : Cinta dalam Diam

1 0 0
                                    


Arga dan Alya semakin merasakan kehadiran perasaan yang tumbuh di antara mereka, sesuatu yang sulit diabaikan. Setiap kali mereka berada di dekat satu sama lain, getaran yang menggema di dalam hati mereka tak bisa dielakkan. Namun, meski perasaan cinta itu semakin kuat, baik Arga maupun Alya memilih untuk menahan diri. Keduanya tahu bahwa hubungan yang mereka jalin akan membawa dampak besar bagi kehidupan mereka, baik di dunia profesional maupun pribadi.

Setiap hari, ketika Alya masuk ke dalam kantor Arga, ada rasa gugup yang menyelinap dalam hatinya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, kehadiran Arga selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Arga, dengan sikap dingin dan tegasnya di depan publik, selalu memiliki tempat spesial di hati Alya. Namun, Alya tidak ingin hubungan ini berkembang lebih jauh dari sekadar hubungan profesional. Ia tahu bahwa jika perasaan ini dibiarkan, mungkin akan berdampak buruk pada pekerjaan mereka.

Arga merasakan hal yang sama. Meski ia terbiasa menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya, kehadiran Alya berhasil meruntuhkan benteng yang selama ini ia bangun. Alya berbeda. Ada kelembutan dan ketulusan dalam setiap sikapnya yang membuat Arga merasa nyaman. Namun, di sisi lain, Arga sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan perasaan ini mengambil alih logika dan profesionalismenya. Sebagai seorang CEO, Arga memiliki tanggung jawab besar terhadap perusahaannya. Menjalin hubungan dengan Alya bisa menciptakan kerumitan yang tak diinginkan.

Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, percakapan antara mereka terasa canggung. Mereka berusaha untuk tetap menjaga jarak, meski sesekali tatapan mata mereka bertemu dalam keheningan yang bermakna. Ada percikan di antara mereka, percikan yang tak bisa diabaikan. Namun, setiap kali Arga merasa dirinya ingin melangkah lebih jauh, ada suara dalam hatinya yang mengingatkannya akan konsekuensi yang akan datang.

"Ini salah," pikir Arga dalam diam. "Aku tidak bisa membiarkan perasaan ini berkembang."

Namun, semakin ia mencoba menekan perasaan itu, semakin kuat perasaan tersebut tumbuh. Alya, di sisi lain, juga merasakan pergulatan batin yang sama. Ia terjebak antara keinginannya untuk lebih dekat dengan Arga dan ketakutannya akan konsekuensi yang harus mereka hadapi.

Suatu hari, ketika keduanya sedang berada di kantor yang sepi, Alya memutuskan untuk berbicara dengan Arga. Ia tahu bahwa mereka harus menghadapi perasaan ini, meski sulit. Tidak mungkin mereka terus berusaha mengabaikannya selamanya. Dengan langkah pelan, Alya mendekati meja kerja Arga dan berbicara dengan suara lembut.

"Arga," kata Alya dengan nada ragu. "Kita perlu bicara."

Arga mengangkat pandangannya dari berkas-berkas di mejanya dan menatap Alya. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat jantung Alya berdetak lebih cepat. Namun, Alya mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk bersikap emosional.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga, meski ia sebenarnya tahu apa yang akan dibahas.

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku rasa kita sama-sama tahu bahwa ada sesuatu yang tumbuh di antara kita. Sesuatu yang tidak bisa kita abaikan."

Arga terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Alya. Ia tahu bahwa Alya benar, tetapi sulit baginya untuk mengakui perasaan itu. Ia bukan tipe pria yang mudah terbuka tentang emosinya, apalagi ketika melibatkan seseorang yang bekerja di bawahnya.

"Alya," jawab Arga dengan suara pelan namun tegas. "Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan di antara kita. Tapi kita harus ingat posisi kita. Aku adalah atasanmu, dan hubungan seperti ini... bisa menghancurkan banyak hal."

Alya merasakan kehangatan di pipinya, tetapi ia tetap berusaha untuk tidak larut dalam emosinya. Ia tahu bahwa Arga benar. Menjalin hubungan dengan atasan adalah sesuatu yang rumit dan penuh risiko. Namun, perasaan itu tidak bisa ia hilangkan begitu saja.

"Aku tahu," kata Alya dengan suara gemetar. "Tapi aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri. Setiap kali kita bersama, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional."

Keduanya terdiam dalam keheningan yang penuh ketegangan. Arga tahu bahwa Alya merasakan hal yang sama, tetapi ia juga tahu bahwa mereka harus bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Satu langkah yang salah bisa menghancurkan reputasi mereka dan juga perusahaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah.

"Alya, aku tidak ingin membuatmu kecewa," kata Arga akhirnya. "Tapi aku juga tidak bisa mengambil risiko ini. Jika kita melangkah lebih jauh, kita mungkin akan kehilangan lebih banyak daripada yang bisa kita peroleh."

Alya mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa Arga berbicara dengan logika, bukan dari hatinya. Dan itu membuatnya semakin sulit. Perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan logika semata.

"Baiklah," jawab Alya akhirnya. "Aku mengerti. Mungkin ini memang yang terbaik."

Meski kata-kata itu keluar dari mulutnya, Alya tahu bahwa hatinya masih meronta. Ia tidak ingin meninggalkan Arga, tetapi ia juga tidak ingin menjadi penyebab kerusakan dalam kehidupan profesional mereka. Ia memutuskan untuk menjaga jarak, berharap bahwa waktu akan membantu mereka meredakan perasaan yang ada.

Sejak saat itu, Alya dan Arga berusaha untuk tetap bersikap profesional. Mereka menjaga jarak, berusaha tidak terjebak dalam situasi yang bisa memperburuk keadaan. Namun, perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka tidak pernah benar-benar hilang. Di setiap kesempatan, di setiap tatapan yang mereka tukar, ada sesuatu yang tersisa—sebuah kenangan akan cinta yang tak bisa mereka wujudkan.

Meski mereka memilih untuk menahan diri, keduanya tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Mungkin suatu saat, ketika keadaan memungkinkan, mereka bisa kembali dan menghadapi perasaan itu dengan lebih bebas. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa bertahan dengan keputusan yang telah mereka buat—keputusan sulit yang mereka harap adalah yang terbaik bagi keduanya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now