Bab 15 : Pengorbanan Sang Malaikat

4 0 0
                                    


suatu hari, Alya berdiri di depan jendela besar kantornya, memandangi pemandangan kota Jakarta yang gemerlap di malam hari. Lampu-lampu kendaraan yang lalu lalang membentuk garis-garis cahaya yang mengaburkan pikirannya yang sedang kalut. Ada keputusan besar yang harus diambil, keputusan yang mungkin akan mengubah arah hidupnya dan Arga selamanya. Dan dalam benaknya, hanya ada satu pikiran yang terus berputar: pengorbanan.

Alya sudah lama tahu bahwa perasaannya terhadap Arga semakin dalam. Seiring waktu, cinta itu tumbuh, menancapkan akarnya dalam-dalam di hatinya. Namun, di balik kebahagiaan yang ia rasakan ketika bersama Arga, Alya tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta yang harus dipikirkan. Posisi Arga sebagai CEO, masa depan perusahaannya, dan kehidupan profesional mereka berdua—semuanya dipertaruhkan. Dan jika mereka tetap bersama, ada kemungkinan semua itu akan hancur.

"Aku harus melakukan ini," bisik Alya kepada dirinya sendiri, seolah meyakinkan hati yang mulai bimbang.

Arga adalah pria yang keras kepala, tetapi Alya bisa melihat kebaikan dalam dirinya. Di balik sikap tegas dan dingin yang selalu ia tunjukkan, ada seorang pria yang rapuh dan butuh seseorang untuk mendukungnya. Alya ingin menjadi orang itu, seseorang yang bisa selalu berada di sisi Arga, tetapi ia juga tahu bahwa kadang, cinta bukan tentang memiliki. Terkadang, cinta berarti merelakan, melepaskan, demi kebaikan orang yang kita cintai.

Dengan berat hati, Alya memutuskan bahwa ia harus pergi. Ia tidak ingin menjadi penghalang dalam hidup Arga, tidak ingin hubungan mereka menjadi beban yang membuat Arga kehilangan fokus atau mengorbankan apa yang sudah ia bangun selama ini. Sebagai seorang wanita yang penuh empati, Alya tahu bahwa kebahagiaan sejati Arga adalah sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar hubungan asmara mereka.

Keesokan harinya, Alya datang lebih awal ke kantor. Ia sudah menyusun surat pengunduran dirinya dengan hati-hati, kata-kata yang tertata rapi di atas kertas putih itu terasa menusuk hatinya setiap kali ia membacanya ulang. Ketika Arga tiba, Alya sudah siap. Ia menunggu dengan hati yang berdebar, tetapi juga dengan keteguhan hati yang ia bangun sepanjang malam.

"Arga, kita perlu bicara," katanya dengan lembut, suaranya nyaris berbisik.

Arga mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang ia baca. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Alya hari itu. Wajahnya terlihat tegang, dan matanya, yang biasanya bersinar dengan semangat, tampak redup. Tanpa berkata apa-apa, Arga mengisyaratkan Alya untuk duduk.

"Ada apa?" tanya Arga, mencoba menebak arah pembicaraan yang akan terjadi.

Alya menatap Arga dengan penuh perasaan, berusaha mencari keberanian untuk mengutarakan isi hatinya. "Arga, aku... aku memutuskan untuk pergi. Aku akan mengundurkan diri dari perusahaan ini."

Kata-kata itu terdengar seperti dentuman keras di kepala Arga. Sejenak ia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu? Mengapa?" tanyanya dengan nada yang nyaris marah, bingung dan tidak percaya.

Alya tersenyum tipis, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. "Aku harus pergi, Arga. Ini bukan tentang pekerjaan, tapi tentang kita. Tentang masa depanmu."

Arga menggelengkan kepala, tidak bisa menerima penjelasan itu. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Alya. Kita bisa menghadapi ini bersama."

"Tidak, Arga," jawab Alya, air mata mulai menggenangi matanya. "Aku tidak ingin menjadi beban bagimu. Kamu punya masa depan yang cerah, karir yang gemilang. Jika kita terus seperti ini, hubungan kita bisa merusak semua yang telah kamu bangun."

Arga terdiam, menatap Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. Selama ini, ia sudah berusaha menahan perasaannya, menjaga jarak, tetapi cintanya pada Alya sudah terlalu kuat untuk diabaikan. Namun kini, di saat ia siap menerima perasaan itu, Alya malah memutuskan untuk pergi.

"Alya, dengarkan aku," kata Arga dengan suara yang mulai bergetar. "Aku butuh kamu di sini. Aku butuh kamu di hidupku, bukan hanya sebagai asistenku, tapi lebih dari itu."

Alya tersentak mendengar kata-kata itu, hatinya ingin melompat keluar dari dadanya. Namun, ia tetap pada keputusannya. Cinta terkadang harus diiringi pengorbanan, dan inilah pengorbanan yang harus ia lakukan.

"Aku tahu, Arga. Aku juga merasa hal yang sama," jawab Alya, kini air mata mulai mengalir di pipinya. "Tapi jika aku tinggal, aku takut itu akan menghancurkan kita berdua. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu kehilangan segalanya."

Arga menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh gejolak. Ia tahu Alya berkata benar, tetapi ia tidak ingin melepaskannya begitu saja. Alya adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup, yang bisa menembus dinginnya hati yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

"Alya..." bisik Arga, suaranya hampir tak terdengar.

Namun, sebelum Arga bisa melanjutkan, Alya bangkit dari tempat duduknya. Ia menatap Arga untuk terakhir kalinya, mencoba mengabadikan sosok pria yang ia cintai dalam ingatannya. "Aku harap kamu bisa mengerti, Arga. Ini bukan akhir dari segalanya. Aku percaya kamu akan menemukan kebahagiaan, meski itu tanpa aku."

Arga hanya bisa menatap Alya yang berjalan menjauh, suaranya tercekat di tenggorokan. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi tidak satu pun kata yang keluar. Alya sudah membuat keputusan, dan ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya.

Saat pintu kantor tertutup di belakang Alya, Arga merasa seakan dunianya ikut runtuh. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa Alya telah melakukan pengorbanan terbesar—pengorbanan yang ia lakukan demi kebahagiaannya. Alya adalah malaikatnya, dan meskipun ia harus merelakannya pergi, ia tahu bahwa cinta mereka akan tetap hidup di dalam hatinya, selamanya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now