Bab 12 : Kembali ke Masa Lalu

1 0 0
                                    


Arga duduk di ruang kerjanya, dengan segelas wiski di tangan, memandang jauh ke luar jendela. Malam di Jakarta tampak tenang, namun pikirannya jauh dari tenang. Hari ini dia kembali bertemu dengan seseorang yang pernah ia kenal dengan baik, seseorang yang membawa kembali semua kenangan yang selama ini ia hindari. Bertahun-tahun, Arga membangun kehidupannya dengan hati-hati, menyusun tembok-tembok tebal di sekeliling dirinya untuk menjaga agar masa lalu tak pernah menyusup masuk lagi. Tapi sekarang, tembok-tembok itu mulai retak.

Alya, yang duduk di sofa tak jauh dari meja Arga, memperhatikan kekasihnya dengan seksama. Ia bisa melihat perubahan dalam diri Arga sejak pertemuan tadi. Arga tidak pernah bercerita banyak tentang masa lalunya, selalu menghindari topik itu setiap kali Alya mencoba bertanya. Tapi malam ini, Alya bisa merasakan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi. Dia tidak bisa menahan diri lagi. Dengan lembut, Alya memecah keheningan.

"Arga, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu, meskipun Arga berusaha terlihat kuat, ada sesuatu yang membebani pikirannya.

Arga mendesah berat, lalu meletakkan gelasnya di meja. Dia mengusap wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghapus jejak-jejak perasaan yang sudah lama ia pendam. "Aku baik-baik saja, Alya," jawabnya singkat, tapi jelas terdengar tidak meyakinkan.

Alya bangkit dari sofa dan duduk di depan Arga, menggenggam tangannya dengan lembut. "Kamu tahu, kamu bisa cerita padaku. Aku di sini untukmu. Apa pun itu, aku akan mendengarkan."

Sejenak, Arga terdiam. Matanya bertemu dengan Alya, dan di balik tatapan dinginnya, ada sesuatu yang rapuh. Akhirnya, dia menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.

"Tadi siang, aku bertemu dengan seseorang," katanya pelan. "Seseorang dari masa laluku. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi."

Alya mendengarkan dengan saksama, merasakan betapa sulitnya bagi Arga untuk membuka diri. "Siapa dia?" tanyanya lembut.

"Namanya Dimas," jawab Arga, menundukkan pandangannya. "Dia dulu sahabatku. Kami tumbuh bersama, berjuang bersama. Tapi, saat hidup mulai menuntut lebih banyak, kami terpisah. Aku memilih ambisi, kekuasaan, sementara dia memilih jalan yang berbeda."

Arga berhenti sejenak, berusaha merangkai kata-kata untuk menggambarkan apa yang terjadi selanjutnya. Alya tidak menyela, membiarkan Arga mengendalikan ceritanya. Dia tahu betapa sulitnya bagi Arga untuk berbicara tentang hal ini.

"Dimas adalah orang yang mengingatkanku pada diriku yang dulu—seseorang yang masih punya hati, seseorang yang masih percaya pada cinta, pada kebaikan," lanjut Arga, suaranya melemah. "Tapi aku... aku berubah. Aku memilih untuk mengejar ambisi, dan itu mengubahku menjadi seseorang yang tidak bisa mengenali dirinya sendiri."

Alya merasakan kepedihan di dalam setiap kata yang diucapkan Arga. Dia tahu, di balik keteguhan hati dan ambisinya yang besar, ada seorang pria yang telah kehilangan sesuatu yang sangat penting—sesuatu yang membuatnya menjadi manusia.

"Kenapa kamu berhenti berhubungan dengannya?" tanya Alya hati-hati.

Arga terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Aku takut. Aku takut bahwa jika aku tetap berhubungan dengannya, aku akan melihat diriku yang sebenarnya—diriku yang penuh kelemahan dan ketidakpastian. Jadi, aku menjauh. Aku memilih jalan yang berbeda, jalan yang membuatku merasa kuat, meskipun pada akhirnya aku kehilangan sahabatku."

Mendengar cerita itu, Alya mulai mengerti mengapa Arga begitu tertutup dan penuh kontrol. Semua itu berasal dari ketakutan—ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutan akan kelemahan. Dia menatap Arga dengan penuh kasih sayang, berharap bahwa pria di depannya ini bisa menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

"Kamu tidak perlu takut lagi, Arga," ucap Alya pelan. "Aku di sini. Aku mencintaimu bukan karena kamu kuat atau sempurna. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu."

Arga menatap Alya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Kehadiran Alya membawa kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin inilah saatnya untuk berdamai dengan masa lalunya, untuk melepaskan beban yang selama ini ia pikul sendiri.

"Alya, aku tahu aku bukan orang yang mudah untuk dicintai. Aku tahu aku punya banyak kekurangan, dan aku sudah melakukan banyak kesalahan. Tapi, bersamamu, aku merasa bisa menjadi orang yang lebih baik," kata Arga, suaranya dipenuhi dengan kejujuran yang selama ini tertahan.

Alya tersenyum lembut, menggenggam tangan Arga lebih erat. "Kita semua punya masa lalu, Arga. Tapi yang penting adalah bagaimana kita bisa belajar darinya dan melangkah maju. Aku percaya kamu bisa berdamai dengan masa lalumu."

Kata-kata Alya menghangatkan hati Arga. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa mungkin ada harapan baginya untuk berubah. Bersama Alya, ia merasa bahwa ia bisa menjadi seseorang yang lebih baik, seseorang yang tidak terus-terusan dibebani oleh masa lalunya yang kelam.

Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk bertemu dengan Dimas lagi. Ini adalah langkah pertama yang ia ambil untuk berdamai dengan masa lalunya. Meskipun pertemuan itu tidak akan mudah, Arga tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan jika ingin melangkah maju.

Ketika Arga bertemu dengan Dimas di sebuah kafe kecil, perasaan canggung langsung menyelimuti mereka berdua. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka mengalir, dan Arga menyadari bahwa meskipun mereka telah berpisah lama, persahabatan mereka tidak sepenuhnya hilang. Dimas tidak menyimpan dendam, dan bahkan mengingatkan Arga tentang siapa dirinya yang dulu—seseorang yang penuh semangat dan harapan.

Pertemuan itu membawa kelegaan bagi Arga. Ia akhirnya bisa melepaskan sebagian dari beban yang selama ini ia bawa. Masa lalunya mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi ia belajar untuk tidak lagi takut menghadapinya.

Bersama Alya, Arga tahu bahwa masa depan mereka akan penuh tantangan, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapi semuanya. Karena sekarang, dia tidak lagi sendirian.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now