Bab 16 : Kehilangan yang Mendalam

2 0 0
                                    


Kehilangan Alya meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun dalam hidup Arga. Saat ia berdiri sendirian di ruang kantornya yang luas, pandangannya tertuju pada kursi kosong di mana Alya biasa duduk, mencatat segala sesuatu dengan rapi dan selalu siap untuk membantunya. Kini, tidak ada lagi senyuman hangat, tidak ada lagi kehadiran yang menenangkan yang selama ini mengisi hari-harinya.

Arga teringat pada momen-momen kecil yang dulu tampak sepele. Tawa Alya saat mereka berdebat tentang hal-hal kecil, cara dia melirik Arga ketika dia merasa Arga terlalu keras kepala, dan cara dia dengan sabar mendengarkan semua keluhan Arga tentang pekerjaan. Semua momen itu kini berputar dalam pikirannya, menghantamnya dengan rasa kehilangan yang begitu dalam.

Sejak Alya pergi, Arga merasa hidupnya mulai kehilangan arah. Segala rutinitas yang dulu ia jalani dengan penuh keyakinan kini terasa hampa. Bisnis yang selama ini menjadi fokus utamanya kini tidak lagi memiliki daya tarik yang sama. Setiap rapat, setiap keputusan yang diambilnya terasa kosong. Kehilangan Alya membuatnya menyadari bahwa di balik semua keberhasilan, di balik posisinya sebagai CEO yang sukses, ada kekosongan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya—kekosongan yang hanya bisa diisi oleh Alya.

Sore itu, Arga duduk di kantornya, memandang keluar jendela. Pemandangan kota yang gemerlap tidak lagi memberinya inspirasi. Yang ada hanyalah kekosongan. Ponselnya bergetar, pesan dari salah satu klien penting muncul di layar, tetapi Arga tidak peduli. Bahkan proyek terbesar perusahaan pun tidak mampu mengalihkan pikirannya dari Alya.

Arga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba mengusir rasa frustasi yang terus menghantamnya. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya—tidak pernah merasa begitu terikat pada seseorang. Cinta yang ia rasakan untuk Alya semakin jelas sekarang, setelah ia pergi. Sungguh ironis, pikirnya. Ketika Alya masih ada, ia terlalu sibuk menahan perasaannya, takut akan konsekuensi yang mungkin muncul jika mereka bersama. Namun sekarang, ketika semuanya sudah terlambat, barulah ia menyadari betapa besar perasaannya.

Beberapa hari berlalu, dan Arga terus merasakan kehampaan yang sama. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, mencoba mengalihkan perhatiannya pada bisnis, tetapi setiap sudut kantor ini mengingatkannya pada Alya. Dari ruangan rapat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama, hingga meja kerja Alya yang kini sudah kosong, semua mengingatkan Arga pada wanita yang telah memberikan warna dalam hidupnya. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan itu.

Pada suatu malam, ketika kesunyian kantor semakin mencekam, Arga mengambil sebuah kotak kecil dari laci mejanya. Itu adalah benda-benda pribadi milik Alya yang ia kumpulkan setelah Alya pergi. Ada pena favoritnya, beberapa catatan yang ia tinggalkan, dan sebuah foto kecil yang pernah diambil saat acara kantor. Foto itu menunjukkan Alya tertawa bersama beberapa rekan kerja lainnya. Senyum Alya begitu cerah, begitu tulus. Arga memandangi foto itu lama, merasakan air mata mulai menggenangi matanya.

Tanpa disadari, Arga mulai berbicara pada foto itu, seolah-olah Alya masih ada di sana. "Kenapa kamu harus pergi, Alya?" bisiknya pelan, suaranya dipenuhi rasa frustasi dan penyesalan. "Aku butuh kamu di sini. Aku tidak pernah tahu bahwa kamu akan membuatku merasa seperti ini. Aku seharusnya menghentikanmu. Seharusnya aku tidak membiarkan kamu pergi."

Suasana di ruangan itu semakin berat. Arga merasakan dadanya sesak, penuh dengan perasaan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia begitu fokus pada bisnis, begitu terjebak dalam rutinitas karirnya, sehingga ia lupa akan hal yang paling penting dalam hidupnya—Alya.

Kehilangan Alya membuat Arga mulai meragukan semua keputusan yang pernah ia ambil. Selama ini, ia selalu percaya bahwa bisnis adalah segalanya, bahwa kesuksesan adalah tujuan akhir yang harus ia capai. Namun, kini semua itu terasa hampa tanpa Alya di sisinya. Bagaimana ia bisa terus maju ketika orang yang paling ia cintai telah pergi?

Suatu malam, setelah rapat yang panjang dan melelahkan, Arga pulang ke rumahnya yang sepi. Ia duduk di ruang tamunya, memandangi dinding kosong yang tidak pernah terasa begitu sunyi. Arga tahu ia harus melakukan sesuatu, ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Kehilangan Alya telah membuka matanya, memberitahunya bahwa cinta dan kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan kesuksesan atau harta benda.

Arga mulai berpikir tentang apa yang harus ia lakukan. Ia tahu bahwa Alya telah membuat keputusan untuk meninggalkannya demi kebaikan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja merelakannya. Arga tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk memperbaiki segalanya, untuk membawa Alya kembali ke dalam hidupnya.

Malam itu, Arga membuat keputusan. Ia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam penyesalan lebih lama lagi. Ia akan mencari Alya, akan memperjuangkan cintanya, dan akan membuktikan bahwa mereka berdua bisa memiliki masa depan bersama. Arga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa yakin bahwa inilah hal yang benar untuk dilakukan.

Kehilangan Alya mengajarkan Arga banyak hal. Ia belajar bahwa kesuksesan tanpa cinta adalah kesepian, bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diraih sendirian. Dengan tekad baru yang membara di dadanya, Arga bersiap untuk menghadapi tantangan berikutnya—bukan tantangan bisnis, tetapi tantangan hidup yang jauh lebih penting: memperjuangkan cinta sejatinya.

Dandengan itu, Arga melangkah keluar, meninggalkan bayangan masa lalu dibelakangnya, siap untuk menemukan kembali kebahagiaannya bersama Alya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now