Bab 4 : Malaikat Penolong

1 0 0
                                    


Sejak pertemuannya dengan Alya, kehidupan Arga mulai berubah, meski ia belum sepenuhnya menyadarinya. Alya, gadis sederhana yang selalu tampak ceria dan penuh semangat, perlahan-lahan mulai menjadi bagian dari hari-hari Arga. Bukan karena mereka sering bertemu, melainkan karena kehadirannya yang selalu meninggalkan bekas. Alya seperti angin segar dalam dunia Arga yang penuh dengan tekanan dan tuntutan. Dalam kesederhanaannya, Alya membawa kehangatan yang tak pernah Arga sangka akan ia temukan.

Sore itu, seperti biasa, Arga duduk di kantornya, tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah habis. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai masalah perusahaan—dari rapat penting dengan klien besar hingga strategi baru yang harus ia siapkan untuk menghadapi kompetisi pasar. Ia menatap layar komputernya dengan pandangan kosong. Biasanya, ia mampu menghadapi tekanan sebesar apa pun tanpa banyak keluhan, tapi hari ini berbeda. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang dulu ia anggap sepele.

Tanpa sadar, pikirannya melayang pada Alya. Gadis itu selalu hadir dengan cara yang tak terduga. Ketika pertama kali bertemu di taman, Alya memperlihatkan kepedulian dan perhatian yang tulus—sesuatu yang tidak pernah Arga harapkan dari seseorang yang bahkan baru ia kenal. Namun, Alya mampu membuatnya merasa nyaman, seperti sahabat yang sudah lama hilang. Arga tak bisa mengelak bahwa Alya mempengaruhinya lebih dari yang ia perkirakan.

Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya sejenak. Ternyata, pesan singkat dari Alya.

"Hai, apa kabar? Lagi sibuk, ya? Kalau butuh teman ngobrol atau sekadar istirahat, aku ada di taman biasa, lho. :) Semoga harimu menyenangkan!"

Pesan itu begitu sederhana, tapi mampu membuat Arga tersenyum kecil. Bukan karena isinya yang istimewa, tapi karena perhatian yang tersirat di dalamnya. Alya selalu tahu cara membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meski hanya dengan beberapa kata. Sejak pertemuan pertama mereka, Alya kerap mengiriminya pesan seperti ini—menawarkan waktu untuk sekadar berbicara atau berbagi cerita. Meski Alya tahu bahwa Arga adalah seorang CEO sukses, dia tidak pernah memperlakukan Arga dengan cara yang berlebihan. Alya memperlakukannya seperti orang biasa, dan itulah yang membuat Arga merasa nyaman.

Arga menatap tumpukan dokumen di mejanya, lalu melihat pesan Alya lagi. Rasanya berat untuk meninggalkan pekerjaan, namun di sisi lain, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk menerima ajakan gadis itu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Arga merasa butuh istirahat dari segala tekanan yang terus-menerus menghimpitnya.

Tanpa pikir panjang, Arga mengambil kunci mobil dan memutuskan untuk pergi ke taman. Taman itu kini menjadi tempat yang tidak hanya menawarkan ketenangan, tetapi juga memberi Arga kesempatan untuk melupakan sejenak beban hidup yang ia pikul. Dan, tentu saja, di sana ada Alya—gadis yang perlahan-lahan berubah menjadi sosok yang penting dalam hidupnya, meskipun ia belum sepenuhnya menyadarinya.

Ketika Arga tiba di taman, matahari sore sudah mulai turun, memancarkan warna oranye yang lembut di langit. Di bangku yang sama seperti ketika mereka pertama kali bertemu, Alya duduk sambil memegang buku catatannya. Ia tampak begitu damai, menulis dengan tenang seolah dunia di sekitarnya tak pernah terlalu berisik untuknya.

Arga berjalan mendekat, dan tanpa perlu kata-kata, Alya menatapnya dengan senyum hangat. "Hai, Arga. Aku nggak nyangka kamu beneran datang."

"Aku butuh istirahat," jawab Arga sambil duduk di sampingnya, menghela napas panjang. "Hari ini... agak berat."

Alya menatapnya dengan penuh perhatian. "Pasti pekerjaanmu berat sekali, ya. Tapi kamu kelihatan lebih tenang sekarang."

Arga hanya mengangguk. Tidak ada kata-kata yang bisa benar-benar menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Mungkin memang tidak ada yang perlu dijelaskan. Alya selalu bisa memahami situasi tanpa perlu banyak penjelasan, dan itu membuat Arga merasa lebih nyaman.

Mereka duduk berdua dalam diam, menikmati suasana sore yang tenang. Suara daun-daun yang berdesir lembut tertiup angin menemani keheningan mereka. Bagi Arga, keheningan ini bukanlah sesuatu yang canggung, melainkan sesuatu yang membuatnya merasa damai. Di sisi Alya, ia tidak merasa perlu menjadi CEO yang kuat atau pria yang selalu tampak tegar. Di sini, di taman ini, ia bisa menjadi dirinya sendiri—pria yang terkadang lelah dan hanya ingin berhenti sejenak.

"Arga," Alya membuka suara, memecah keheningan. "Kamu tahu, terkadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Aku ngerti kamu punya tanggung jawab besar dan harus selalu mengambil keputusan penting. Tapi kalau kamu terus-terusan begitu, kapan kamu punya waktu buat dirimu sendiri?"

Arga terdiam, merenungkan kata-kata Alya. Benar, selama ini ia selalu berfokus pada pekerjaannya, mengejar kesuksesan tanpa henti. Ia terbiasa dengan tekanan, dan selama ini ia pikir itulah satu-satunya cara untuk bertahan. Namun, setelah mendengar apa yang dikatakan Alya, ia mulai sadar bahwa mungkin selama ini ia memang terlalu keras pada dirinya sendiri.

"Kamu benar," akhirnya Arga berkata, suaranya pelan. "Tapi... aku nggak tahu bagaimana caranya berhenti. Setiap kali aku mencoba untuk bersantai, selalu ada yang menghantuiku. Pekerjaan, target, tanggung jawab... semuanya terasa menumpuk."

Alya tersenyum simpul. "Kamu harus belajar memberi waktu untuk dirimu sendiri. Aku nggak bilang kamu harus berhenti bekerja atau meninggalkan tanggung jawabmu. Tapi sesekali, cobalah nikmati hidup. Lihat sekelilingmu, ada banyak hal indah yang kadang kita lupa karena terlalu sibuk."

Arga memandang gadis itu dengan penuh rasa kagum. Alya selalu berpikir positif, meskipun hidupnya sendiri tidak mudah. Ia hidup sederhana, tanpa kemewahan atau ambisi besar seperti Arga. Namun, justru dari kesederhanaan itu, Alya menemukan kebahagiaan yang nyata—sesuatu yang selama ini terasa asing bagi Arga.

"Bagaimana caranya kamu bisa tetap positif seperti itu?" tanya Arga, benar-benar penasaran. "Hidupmu... maksudku, kamu nggak punya banyak hal yang kebanyakan orang kejar. Tapi kamu selalu terlihat bahagia."

Alya tertawa kecil, nada suaranya lembut. "Aku hanya berusaha menikmati apa yang aku punya. Aku kehilangan orang tua sejak kecil, dan hidupku memang nggak mewah. Tapi aku belajar satu hal—kebahagiaan itu nggak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, hanya dengan menikmati sore di taman seperti ini, aku bisa merasa damai."

Arga terdiam lagi. Kata-kata Alya menembus jauh ke dalam hatinya. Gadis itu benar—selama ini ia terlalu sibuk mengejar hal-hal besar, hingga lupa bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil dan sederhana.

Hari semakin gelap, dan bintang-bintang mulai muncul di langit. Arga merasa lebih ringan dari sebelumnya. Seolah-olah beban yang selama ini menghimpit dadanya mulai terangkat sedikit demi sedikit, berkat kehadiran Alya. Gadis itu, tanpa disadari, menjadi semacam "malaikat penolong" dalam hidup Arga—membawanya keluar dari kegelapan pikirannya dan mengajarkannya bahwa hidup tak selalu tentang bekerja keras dan mencapai kesuksesan. Ada hal-hal kecil yang juga penting untuk dinikmati.

"Aku rasa... aku perlu belajar dari kamu, Alya," kata Arga pelan, tapi tulus.

Alya tersenyum, senyum yang tulus seperti biasa. "Aku cuma mau kamu bahagia, Arga. Itu saja."

Dan malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Arga menyadari satu hal—bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari apa yang kita kejar, tapi kadang datang dari apa yang sudah ada di depan mata. Alya, dalam kesederhanaannya, telah menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan yang selama ini hilang dari hidupnya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now