Bab 5 : Pencarian Identitas

1 0 0
                                    


Hari-hari Alya berjalan seperti biasa, penuh dengan rutinitas yang sederhana. Bekerja di kafe, pulang ke apartemen kecilnya, dan sesekali bertemu dengan Arga di taman. Meski hidupnya terkesan biasa saja, Alya selalu merasa cukup. Dia tumbuh menjadi gadis yang mandiri sejak kecil, terbiasa menjalani hidup tanpa orang tua dan keluarga. Sejak kecil, Alya hanya tahu bahwa ia ditemukan oleh sepasang suami istri tua di sebuah panti asuhan. Mereka merawatnya hingga Alya cukup umur untuk hidup sendiri, namun Alya tidak pernah tahu siapa sebenarnya orang tuanya.

Seiring berjalannya waktu, Alya tak pernah terlalu memikirkan tentang asal-usulnya. Bagi Alya, yang terpenting adalah bagaimana ia menjalani hidup saat ini. Namun, setelah bertemu dengan Arga dan melihat bagaimana pria itu berjuang menghadapi masa lalunya, Alya mulai bertanya-tanya tentang dirinya sendiri. Ada perasaan hampa yang perlahan muncul. Semakin ia mendekat pada Arga, semakin besar pula rasa penasaran tentang siapa dirinya sebenarnya.

Sore itu, di taman yang biasa mereka kunjungi, Alya memutuskan untuk mengungkapkan kegelisahannya kepada Arga. Mereka duduk di bangku kayu, di bawah rindangnya pohon, seperti yang sering mereka lakukan. Hanya saja kali ini, Alya merasa ada sesuatu yang berbeda.

"Arga," panggil Alya lembut, suaranya sedikit gemetar. "Aku ingin minta tolong sama kamu."

Arga, yang tadinya sedang memandangi ponselnya, segera mengalihkan pandangannya pada Alya. Mata pria itu penuh perhatian, seperti biasa. "Apa yang bisa aku bantu, Alya?"

Alya menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Selama ini, ia jarang berbicara tentang masa lalunya, karena merasa itu tidak terlalu penting. Namun, semakin lama, keinginan untuk tahu tentang asal-usulnya semakin kuat. "Aku... aku ingin mencari tahu siapa orang tuaku."

Arga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alya akan meminta hal seperti itu. Selama ini, Alya tampak begitu bahagia dan damai dengan kehidupannya. Ia tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang mengganjal dalam hidupnya. Namun, Arga tahu betul perasaan Alya saat ini. Ia juga pernah merasakan hal yang sama—keinginan untuk menemukan kebenaran tentang masa lalu, meski itu berarti membuka luka lama.

"Kamu belum pernah tahu siapa orang tua kandungmu?" tanya Arga perlahan, memastikan bahwa ia memahami maksud Alya dengan benar.

Alya menggeleng pelan. "Tidak pernah. Aku dibesarkan di panti asuhan sejak bayi. Sampai sekarang, aku nggak tahu siapa mereka atau kenapa aku ditinggalkan."

Arga menatap Alya dengan penuh rasa simpati. Ia bisa melihat kesedihan yang tersirat di wajah gadis itu. Meskipun Alya selalu ceria dan penuh semangat, ada luka tersembunyi di balik senyumannya. "Alya, aku akan bantu kamu," kata Arga dengan tegas. "Kita cari tahu bersama-sama."

Alya tersenyum kecil, merasa lega mendengar jawaban Arga. Di dalam hatinya, ia merasa bersyukur memiliki teman seperti Arga yang selalu ada untuknya. "Terima kasih, Arga. Aku tahu ini mungkin sulit, tapi aku merasa harus melakukannya."

Keesokan harinya, Arga dan Alya mulai penyelidikan mereka. Langkah pertama mereka adalah mengunjungi panti asuhan tempat Alya dulu dibesarkan. Panti asuhan itu sudah berubah banyak sejak Alya meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu. Bangunannya masih berdiri kokoh, tapi suasananya berbeda—lebih sepi dan tenang, mungkin karena banyak anak-anak yang sudah diadopsi atau pergi untuk memulai hidup baru.

Mereka bertemu dengan pengurus panti yang baru, seorang wanita tua bernama Bu Ningsih. Alya ingat bahwa Bu Ningsih pernah bekerja di panti asuhan itu ketika ia masih kecil, jadi ia berharap wanita itu bisa memberikan beberapa petunjuk tentang asal-usulnya.

"Bu Ningsih," sapa Alya, suaranya dipenuhi harap. "Saya Alya, mungkin ibu masih ingat. Saya dulu dibesarkan di sini."

Mata Bu Ningsih berbinar saat melihat Alya. "Tentu saja, Nak Alya. Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kamu ke sini."

Alya tersenyum sopan. "Baik, Bu. Saya hanya ingin tahu... tentang orang tua kandung saya. Apakah Ibu tahu sesuatu?"

Bu Ningsih terdiam sejenak, seolah sedang menggali ingatan lamanya. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, "Kami tidak pernah mendapat informasi tentang orang tua kandungmu, Alya. Kamu ditemukan di depan gerbang panti asuhan ini saat masih bayi, tanpa ada petunjuk apa pun. Hanya ada selimut yang membungkusmu, dan sepucuk surat yang isinya hanya meminta kami untuk merawatmu dengan baik."

Alya merasakan hatinya bergetar. Tidak ada petunjuk? Bagaimana mungkin ia bisa menemukan siapa dirinya jika bahkan panti asuhan tempat ia dibesarkan tidak memiliki informasi? Ia menatap Bu Ningsih dengan mata penuh pertanyaan. "Apa ada barang-barang lain yang mungkin ditinggalkan bersama saya, Bu?"

Bu Ningsih tampak ragu, namun akhirnya ia mengangguk pelan. "Sebenarnya ada satu benda lagi, Alya. Saya hampir lupa. Waktu kamu ditemukan, ada sebuah kalung kecil yang terselip di dalam selimutmu. Kami menyimpannya karena merasa itu mungkin bisa menjadi petunjuk suatu hari nanti."

Alya terkejut. "Kalung? Saya tidak pernah diberi tahu soal itu sebelumnya."

"Saat itu kami tidak tahu apakah itu penting atau tidak," jelas Bu Ningsih. "Kalung itu sangat sederhana, dengan liontin berbentuk bintang kecil. Kami menyimpannya di arsip panti asuhan, kalau-kalau suatu hari kamu ingin tahu lebih banyak."

Bu Ningsih kemudian mengajak Alya dan Arga ke ruang arsip panti asuhan. Ruangan itu dipenuhi oleh lemari tua yang berisi dokumen dan barang-barang peninggalan anak-anak yang pernah tinggal di sana. Setelah mencari beberapa saat, Bu Ningsih menemukan sebuah kotak kecil berdebu. Di dalamnya, tersimpan kalung sederhana dengan liontin berbentuk bintang, persis seperti yang ia katakan.

Alya memandang kalung itu dengan mata berkaca-kaca. Ada sesuatu yang aneh tentang kalung tersebut—meskipun sangat sederhana, Alya merasa bahwa benda itu memiliki arti yang lebih dalam. "Ini milik orang tuaku?" tanyanya pelan, setengah tidak percaya.

Bu Ningsih mengangguk. "Kami tidak tahu pasti, tapi itu satu-satunya barang yang ada bersamamu ketika kamu ditemukan."

Arga, yang berdiri di samping Alya, memperhatikan kalung itu dengan cermat. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang bukanlah sesuatu yang langka, tapi entah mengapa, ada sesuatu tentang kalung itu yang menarik perhatiannya. "Alya," panggilnya pelan. "Boleh aku melihat kalung itu sebentar?"

Alya menyerahkan kalung itu pada Arga tanpa ragu. Arga memeriksanya dengan teliti, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Saat ia memegang liontin bintang itu, ia merasakan ada sesuatu yang aneh pada bagian belakangnya. Setelah memeriksanya lebih dekat, ia menyadari bahwa ada tulisan kecil yang terukir di sana—hampir tidak terlihat.

"Ini ada ukiran," kata Arga, menunjuk bagian belakang liontin. "Tapi tulisannya sangat kecil, hampir tidak terbaca."

Alya mendekat untuk melihat lebih jelas. "Apa isinya?"

Arga menyipitkan matanya, berusaha membaca ukiran itu. "Ini tampaknya sebuah inisial. Huruf 'A' dan 'R'."

Alya terdiam. Inisial? Apa artinya? Siapa yang memiliki inisial tersebut? Alya merasa semakin bingung, tapi juga semakin penasaran. Kalung ini mungkin merupakan petunjuk pertama yang ia miliki tentang asal-usulnya, namun itu hanya menambah lebih banyak pertanyaan. Siapa orang tuanya? Dan apa arti inisial 'A' dan 'R'?

Mereka saling berpandangan, merasa bahwa perjalanan pencarian Alya baru saja dimulai. Rahasia yang terkubur selama bertahun-tahun mulai terkuak, dan mereka tahu bahwa penyelidikan ini tidak akan mudah. Namun, di sisi lain, Alya tidak sendirian dalam perjalanannya. Bersama Arga, ia siap menghadapi segala rahasia yang akan terungkap.

Dan di sinilah mereka berada—di titik awal pencarian yang penuh misteri, menuju masa lalu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now