Bab 11 : Keputusan Sulit

1 0 0
                                    


Alya duduk di beranda apartemennya, memandang langit Jakarta yang mulai memerah seiring dengan terbenamnya matahari. Pikirannya penuh dengan keraguan, dengan perasaan yang mengikat erat, membingungkan dirinya. Setiap detik terasa begitu lama, dan pertanyaan yang terus-menerus menghantui benaknya adalah: haruskan ia bertahan di sisi Arga atau melepaskan pria itu demi kebaikan mereka berdua?

Hubungan Alya dan Arga semakin rumit. Meskipun awalnya ia hanya bertugas sebagai asisten pribadi Arga di perusahaan besar yang dipimpinnya, hubungan mereka telah berkembang jauh lebih dalam dari sekadar hubungan profesional. Namun, di balik ketampanan dan kesuksesan Arga, Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan banyak luka batin dan keraguan yang berasal dari trauma masa lalunya. Arga tak pernah mudah dalam menunjukkan sisi lemahnya, tetapi Alya telah melihat lebih banyak dari yang orang lain pernah lihat. Ia tahu, Arga adalah seseorang yang terjebak di antara dua dunia—dunia karir yang gemilang dan dunia emosinya yang tersembunyi.

Namun, cinta itu tidak pernah mudah. Arga, meskipun terlihat sebagai pria tangguh dan arogan di mata dunia luar, menyimpan kebimbangan dalam dirinya. Ia bukanlah sosok yang mudah menyerah pada perasaan, tetapi sejak bertemu Alya, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, tanpa bisa ia kontrol. Dia jatuh cinta pada Alya, meskipun ia berusaha menyangkalnya. Ia takut perasaan itu akan membuatnya lemah, membuatnya lengah dalam menjalankan perusahaan besar yang selama ini ia bangun dengan susah payah. Sebagai seorang CEO, setiap keputusan yang ia ambil selalu dihitung matang-matang, tetapi kali ini, Arga merasa tak mampu mengendalikan apapun. Hatinyalah yang mengambil alih.

"Arga," gumam Alya pelan, seraya memeluk lututnya, mencoba merasakan kehangatan dalam kesendirian itu. "Apakah kamu pernah benar-benar mencintaiku? Atau hanya melihatku sebagai pelarian?"

Pertanyaan itu sering kali muncul dalam benaknya. Sebagai wanita yang cerdas, Alya tahu bahwa hubungannya dengan Arga bukanlah hubungan yang mudah. Arga adalah pria yang sulit ditebak, seorang pria yang mampu menghancurkan hati seseorang hanya dengan satu kata dingin. Namun, di sisi lain, ada momen-momen kecil di mana Alya merasakan kehangatan yang tulus darinya—seperti ketika Arga tiba-tiba tersenyum kecil setelah diskusi panjang tentang proyek perusahaan, atau ketika pria itu tanpa sadar menyentuh jemarinya seolah mencari kepastian. Momen-momen itulah yang membuat Alya terus bertahan. Mungkin, di balik semua lapisan kekerasan dan keraguan yang Arga miliki, pria itu benar-benar peduli padanya.

Tetapi, kini, Alya harus membuat keputusan besar. Hubungannya dengan Arga semakin menekan. Di satu sisi, Arga terjebak dalam ambisi dan tuntutan besar yang ia hadapi sebagai CEO, sementara di sisi lain, Alya merasa terjerat dalam hubungan yang tidak memberikan kejelasan. Arga terus-menerus menuntut kesempurnaan dari dirinya, dari perusahaan, dan bahkan dari hubungan mereka. Tidak ada ruang untuk kelemahan atau kesalahan. Alya tahu, sekeras apapun dia berusaha mengimbangi dunia Arga, dia tak akan pernah sepenuhnya cocok dengan dunia pria itu yang penuh intrik dan politik.

Di lain pihak, Arga juga dihadapkan pada dilema besar. Dia tahu dia mencintai Alya, tetapi perasaan itu tidak datang tanpa harga. Sejak Alya masuk dalam hidupnya, fokusnya pada karir perlahan mulai terkikis. Dia mulai mempertanyakan apakah dunia bisnis yang ia geluti selama bertahun-tahun ini benar-benar memberikan kebahagiaan sejati. Mungkin, selama ini, ambisinya hanyalah bentuk pelarian dari luka masa lalu yang belum ia sembuhkan.

Suatu malam, ketika mereka berdua duduk di ruang tamu apartemen Arga yang mewah namun terasa dingin, Arga akhirnya berbicara. Suara beratnya pecah di keheningan, penuh dengan keraguan yang sulit ditutupi.

"Alya, aku ingin kita berbicara jujur," katanya, dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. "Aku tahu aku tidak sempurna. Aku juga tahu bahwa aku tidak selalu memperlakukanmu dengan baik. Tapi... aku mencintaimu. Dan itu, entah bagaimana, membuat semuanya jadi lebih rumit."

Alya menatapnya, perasaannya campur aduk. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia abaikan saat mendengar pengakuan itu, tetapi juga ada rasa takut. Arga yang mencintainya mungkin menjadi lebih sulit dihadapi daripada Arga yang hanya berperan sebagai bosnya.

"Arga, aku juga mencintaimu," jawab Alya dengan jujur. "Tapi, aku merasa kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini. Kamu terus mengatur hidupku, kapan aku harus bekerja, kapan aku bisa keluar, siapa yang boleh aku temui. Aku... Aku tidak bisa hidup seperti ini."

Arga terdiam. Ia tahu bahwa Alya benar. Hubungan mereka sudah sampai pada titik di mana ia terlalu mendominasi. Itu bukan karena ia tidak mempercayai Alya, tetapi lebih karena ia tidak tahu bagaimana cara menunjukkan perasaannya dengan cara yang sehat. Dalam hidupnya, Arga selalu percaya bahwa kekuatan dan kontrol adalah segalanya. Namun, cinta, ternyata, tidak bisa diatur seperti bisnis.

"Apa yang kamu inginkan, Alya?" tanyanya akhirnya, dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya. "Kamu ingin pergi?"

Pertanyaan itu menusuk hati Alya. Bagian dari dirinya ingin pergi, mencari kebebasan yang ia rindukan, namun bagian lainnya ingin bertahan, berharap bahwa mungkin, Arga bisa berubah.

"Aku tidak tahu, Arga," jawab Alya jujur. "Aku hanya ingin hubungan ini tidak membuatku merasa terjebak."

Arga menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bingung. Ia tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Karirnya selalu jelas—ada tujuan yang pasti, ada langkah-langkah yang harus diambil. Namun, cinta tidak semudah itu. Ia tahu bahwa jika ia terus mengendalikan Alya, dia akan kehilangan wanita itu. Tetapi, melepaskan kontrol berarti harus menghadapi ketakutannya sendiri—ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan rasa sakit.

Dalam hati, Arga tahu bahwa keputusan sulit harus diambil. Jika ia ingin mempertahankan Alya, ia harus berubah. Mungkin bukan sepenuhnya, tetapi setidaknya memberikan ruang bagi Alya untuk menjadi dirinya sendiri. Jika tidak, dia akan kehilangan cinta satu-satunya yang pernah ia rasakan.

"Alya," bisiknya akhirnya, setelah keheningan panjang. "Aku akan mencoba berubah. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Alya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan di mata Arga. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now