Bab 21 : Pilihan Terakhir

1 0 0
                                    


Di tengah malam yang gelap, cahaya bulan menyinari jalan setapak di hutan yang rimbun. Suara dedaunan berdesir ditiup angin menambah kesan misterius. Alya berdiri di tepi jurang, matanya menerawang jauh ke arah lembah yang dipenuhi kabut. Dalam hati, ia merasakan ketegangan yang mengikat jiwanya, seolah dunia di sekitarnya menunggu keputusan yang akan ia buat. Semua yang ia cintai, semua yang ia impikan, terancam oleh konflik yang berkepanjangan.

Sementara itu, di balik pepohonan, Arga mengamati Alya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu betul apa yang sedang dipikirkan oleh Alya—mereka berdua berada di persimpangan jalan, dan pilihan yang harus diambil bukanlah hal yang mudah. Arga merasakan beban yang sama; di satu sisi ada ambisinya untuk menyelamatkan desa yang mereka cintai, sementara di sisi lain, ada Alya, yang ia cintai sepenuh hati.

"Alya," panggil Arga pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara alam. Alya berbalik, matanya membulat saat melihat Arga mendekat. "Kita perlu bicara."

Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya. "Apa yang harus kita bicarakan, Arga? Semuanya sudah jelas. Kita tidak bisa terus begini."

Arga melangkah lebih dekat, jari-jarinya menggenggam erat. "Aku tahu, tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang masa depan desa kita."

"Dan masa depan kita?" Alya mempertanyakan, suaranya menggetarkan. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu, tetapi aku juga tidak bisa membiarkanmu merusak masa depanmu hanya untukku."

Perdebatan dalam hati Alya semakin membara. Sejak konflik merebak, ia merasa seperti terjebak di antara cinta dan kewajiban. Sebagai putri kepala desa, ia memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya, namun cinta pada Arga membawanya ke arah yang berbeda—sebuah jalan yang penuh ketidakpastian.

"Jika kita tidak melakukan sesuatu, semua yang kita cintai akan hilang," tegas Arga, menyadari bahwa ia juga berada dalam dilema. "Aku telah merencanakan untuk membawa semua orang ke tempat yang lebih aman. Jika kita bisa mendapatkan dukungan dari pihak lain, kita bisa mengakhiri konflik ini. Tapi aku butuh dukunganmu, Alya."

Air mata mulai menggenang di mata Alya. "Tapi itu berarti kamu harus pergi. Kamu harus meninggalkan desa dan aku. Aku tidak bisa hidup dengan keputusan itu."

Arga meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. "Aku tidak ingin pergi tanpa kamu. Kita bisa melakukannya bersama. Kita bisa memimpin orang-orang kita ke arah yang lebih baik."

Alya menarik tangannya, jiwanya berperang. "Tapi apakah itu adil untukmu? Mengorbankan mimpimu untukku? Apakah cinta kita cukup kuat untuk menahan semua ini?"

Di balik keraguan dan ketakutan, Arga menyadari bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terduga. Dia mengingat kembali saat-saat indah bersama Alya, tawa dan air mata yang mereka bagi. "Kita bisa berjuang bersama. Cinta kita harus menjadi alasan, bukan penghalang."

Alya menatap mata Arga yang penuh harapan, dan dalam detik-detik itu, ia merasakan hasrat yang kuat untuk memperjuangkan hubungan mereka. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya. "Jika kita melakukannya, kita harus melakukannya dengan cara yang benar. Kita harus memastikan tidak ada yang terluka."

Arga mengangguk, keyakinannya tumbuh seiring dengan keputusan yang semakin jelas. "Kita akan mencari solusi, mencari dukungan. Jika kita bersatu, kita bisa mengubah segalanya."

Dengan semangat baru, Alya meraih tangan Arga. "Baiklah, kita lakukan ini bersama. Kita akan menyatukan kekuatan kita."

Namun, saat mereka berbalik untuk meninggalkan tepi jurang, suara gemuruh terdengar dari arah lembah. Keduanya menoleh, melihat sekelompok orang yang mendekat dengan wajah serius. Arga dan Alya segera menyadari bahwa waktu mereka semakin sedikit. Dengan langkah cepat, mereka berusaha kembali ke desa.

Di sana, kerumunan telah berkumpul. Para penduduk desa menunggu dengan cemas. Alya dan Arga saling berpandangan, tahu bahwa saatnya untuk berbicara telah tiba. Dengan langkah mantap, mereka maju ke depan, berhadapan dengan warga.

"Saudara-saudara!" suara Alya menggelegar, mencoba menenangkan kerumunan. "Kami tahu bahwa saat ini adalah waktu yang sulit. Konflik ini telah mengancam hidup kita semua. Tapi kami ingin kalian tahu bahwa kami tidak akan menyerah."

Arga melanjutkan, "Kami percaya bahwa ada cara untuk menyelesaikan semua ini tanpa pertumpahan darah. Kita perlu bersatu, mencari jalan tengah yang bisa menyelamatkan desa kita."

Warga desa saling memandang, tampak ragu namun penuh harapan. Alya melihat ada beberapa orang yang mulai mengangguk. "Jika kita bisa mendapatkan dukungan dari semua pihak, kita bisa mencapai kesepakatan. Kami butuh kalian untuk bersama kami."

Ketegangan di udara mulai mencair, suara-suara keraguan berganti dengan semangat. Dengan berani, Alya melanjutkan, "Mari kita buktikan bahwa cinta dan persatuan kita lebih kuat daripada kebencian."

Arga mengambil napas dalam-dalam. "Kita harus berani. Jika kita bersatu, kita bisa mengubah nasib desa ini. Kita tidak hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang."

Beberapa orang mulai bertepuk tangan, dan semangat itu menyebar. Alya merasakan harapan kembali menyala dalam hatinya. Mungkin, pilihan terakhir ini bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk seluruh komunitas.

Ketika malam semakin larut, Alya dan Arga berdiri bersebelahan, siap untuk memimpin desa menuju perubahan. Dalam hati mereka, ada satu kesimpulan: cinta bisa mengubah segalanya, asalkan ada keberanian untuk berjuang. Mereka saling menggenggam tangan, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, karena kali ini, mereka tidak sendirian.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now