Bab 2 : Gadis Kecil dan CEO

2 0 0
                                    


Arga Wijaya adalah sosok pria muda yang dingin dan ambisius. Dalam dunia bisnis, ia dikenal sebagai CEO brilian yang selalu berhasil mencetak kesuksesan. Setiap langkahnya penuh perhitungan, setiap keputusan yang ia ambil selalu didasari oleh logika dan data yang tepat. Namun, di balik wajah tenangnya, ada tekanan yang terus-menerus menghimpit hidupnya. Kehidupannya berputar di sekitar pertemuan, laporan, dan target. Ia jarang tersenyum, apalagi tertawa. Tidak banyak yang tahu, tapi Arga telah membangun tembok tinggi di sekitar dirinya, menutup hatinya dari orang lain.

Hari itu, setelah menjalani hari yang penuh dengan jadwal rapat yang padat, Arga merasa lebih lelah dari biasanya. Fisiknya mungkin tidak begitu terasa lelah, tetapi pikirannya terasa sangat berat. Ia ingin sejenak melarikan diri dari rutinitas yang membelenggunya. Dengan menghela napas panjang, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota yang terletak tidak jauh dari kantornya. Tempat itu adalah satu-satunya tempat yang kadang ia kunjungi saat ingin menyendiri.

Langit sore tampak berwarna oranye keemasan, memberi kesan damai yang jarang Arga rasakan. Meski begitu, pikirannya tetap dipenuhi oleh segala persoalan pekerjaan. Namun, di tengah lamunannya, matanya tertumbuk pada seorang gadis yang duduk di bangku taman. Gadis itu tampak sederhana, mengenakan pakaian yang biasa saja—kaus putih polos dan celana panjang yang agak usang. Namun, yang menarik perhatian Arga bukanlah penampilannya, melainkan keheningan dan ketenangan yang terpancar dari sosok gadis itu.

Alya, nama gadis itu, terlihat sibuk menulis sesuatu di buku catatan kecilnya. Ia begitu tenggelam dalam dunianya sendiri, sesekali menatap ke langit, kemudian kembali menulis. Ekspresi wajahnya terlihat damai, seakan tidak ada satu pun beban hidup yang mengganggunya. Itu adalah hal yang sangat jarang ditemui Arga dalam kesehariannya, terutama di dunia bisnis yang penuh tekanan.

Tanpa disadari, langkah Arga membawanya semakin dekat dengan bangku tempat Alya duduk. Ketika ia hendak melewati bangku tersebut, sesuatu yang tidak terduga terjadi—kakinya tersandung batu kecil di jalan setapak, dan ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terdorong ke depan, dan ia secara tidak sengaja menabrak bahu Alya. Buku catatan yang dipegang Alya terlempar jatuh ke tanah.

"Aduh! Maaf!" Arga buru-buru meminta maaf, merasa canggung dengan kejadian tersebut. Jarang sekali ia bersikap kikuk seperti ini.

Alya, yang sedikit terkejut, segera menunduk untuk memungut bukunya. "Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara lembut dan senyum tulus. "Saya baik-baik saja."

Tatapan Arga bertemu dengan mata Alya. Ada sesuatu dalam cara gadis itu tersenyum yang membuat Arga terdiam sejenak. Senyum itu, meskipun sederhana, membawa perasaan hangat yang jarang ia rasakan dalam hidupnya. Dalam hatinya, Arga merasa ada yang berbeda dari gadis ini. Namun, ia menepis pikiran itu, mencoba kembali bersikap seperti biasa.

"Saya benar-benar minta maaf," kata Arga, lebih hati-hati kali ini. Ia masih merasa canggung dengan situasi tersebut, terutama karena ia jarang berinteraksi dengan orang asing di luar dunia bisnisnya.

Alya kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. "Tidak masalah. Semua orang bisa saja tersandung, kan?" katanya dengan nada ceria, mencoba membuat situasi menjadi lebih santai.

Arga, yang biasanya begitu sulit tersenyum, mendapati dirinya secara tidak sadar tersenyum kecil. Namun, ia segera mengendalikan dirinya, kembali ke wajah dinginnya yang biasa. "Apa yang sedang kamu tulis?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dari insiden tadi.

Alya menatap buku catatannya dan sedikit tersipu. "Oh, ini? Hanya beberapa puisi. Saya suka menulis puisi saat suasana hati saya sedang baik," jawabnya jujur.

"Puisi?" Arga mengernyitkan dahi. Dunia puisi terasa sangat jauh dari kehidupannya yang serba logis. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia membaca puisi, atau bahkan mendengar tentang puisi. "Apa yang menarik dari puisi?"

Alya tertawa kecil. "Puisi itu seperti suara hati, menurut saya. Ketika kata-kata biasa tidak cukup untuk mengungkapkan perasaan, puisi bisa menjembatani apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita. Ini juga cara saya menenangkan diri."

Arga mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ia merasa asing dengan konsep itu. Namun, ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa gadis ini, dengan segala kesederhanaannya, mampu berbicara tentang kehidupan dengan cara yang begitu berbeda dari yang pernah ia dengar. "Menarik," gumamnya sambil melirik ke langit sore yang mulai memerah.

Alya kemudian memandang Arga dengan penuh perhatian. "Kamu sendiri, kenapa terlihat begitu terburu-buru? Sepertinya kamu baru saja mengalami hari yang berat," tanya Alya, nada suaranya penuh dengan kepedulian tulus.

Arga terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Dalam dunia bisnis, ia selalu terbiasa bersikap tegas dan profesional. Berbagi perasaan atau keluhan dengan orang lain adalah hal yang tabu baginya. Namun, entah kenapa, di depan gadis ini, ia merasa bahwa ia tidak perlu berpura-pura kuat.

"Aku... terlalu banyak pekerjaan. Terkadang, semuanya terasa begitu menekan," jawab Arga akhirnya, meskipun ia sendiri terkejut dengan keterbukaannya.

Alya tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit simpati. "Kamu tahu, terkadang kita terlalu sibuk bekerja hingga lupa bagaimana cara bernapas. Aku tidak tahu seberapa sibuk hidupmu, tapi mungkin ada baiknya kalau kamu mengambil sedikit waktu untuk dirimu sendiri. Duduk di sini, melihat matahari terbenam, dan hanya... bernapas."

Arga menatap gadis itu dengan pandangan bingung. Ia, yang terbiasa hidup di bawah tekanan, selalu mengejar target dan kesuksesan, tidak pernah terpikirkan untuk sekadar 'bernapas'. Namun, ucapan Alya terdengar begitu masuk akal. Mungkin, untuk sekali ini, ia harus mencoba.

Tanpa berkata apa-apa, Arga duduk di bangku sebelah Alya, mengikuti saran gadis itu. Mereka duduk dalam diam, menatap matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, tidak ada keharusan untuk berbicara atau menjelaskan apa pun. Arga mulai merasakan ketenangan yang selama ini langka dalam hidupnya. Kehangatan sinar matahari sore dan suasana taman yang tenang seolah mencairkan sedikit demi sedikit dinding yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya.

Setelah beberapa saat, Arga berkata, "Aku tidak tahu kalau hal-hal sederhana seperti ini bisa begitu menenangkan."

Alya tersenyum, senyum yang begitu hangat dan tulus. "Terkadang, kita hanya perlu memperlambat langkah dan melihat dunia dari sudut yang berbeda."

Arga menatap Alya, mencoba memahami gadis sederhana ini yang mampu melihat kehidupan dengan cara yang begitu berbeda dari dirinya. Dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa mungkin hidupnya tidak harus selalu tentang bekerja keras tanpa henti. Mungkin ada ruang untuk sesuatu yang lebih... sederhana dan hangat.

Ketika malam mulai tiba, Arga berdiri. "Terima kasih," katanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. "Aku rasa, aku harus kembali sekarang."

Alya mengangguk. "Senang bisa membantu. Semoga lain kali kamu bisa kembali dan menikmati sore seperti ini lagi."

Sebelum Arga pergi, ia berhenti sejenak dan berkata, "Namaku Arga."

Alya tersenyum. "Alya. Sampai jumpa lagi, Arga."

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Arga berjalan menjauh. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—pertemuannya dengan Alya hari ini telah meninggalkan kesan yang mendalam. Gadis itu, dengan segala kesederhanaan dan polosnya, membawa kehangatan dalam kehidupannya yang penuh tekanan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arga merasa ingin kembali ke taman itu, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mencari sesuatu yang lebih bermakna dalam hidupnya.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now