Bab 3 : Masa Lalu yang Kelam

1 0 0
                                    


Arga duduk di kantornya, menatap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang selalu ramai. Sore itu, meskipun pekerjaannya masih menumpuk, pikirannya terus melayang. Sejak pertemuannya dengan Alya di taman beberapa hari yang lalu, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik. Kata-kata sederhana dan senyum hangat gadis itu seolah mampu menembus tembok dingin yang selama ini ia bangun.

Alya. Gadis itu tak seperti orang-orang lain yang Arga temui setiap hari—mereka yang selalu memandangnya dengan penuh hormat karena statusnya sebagai CEO muda sukses. Alya tidak tampak terkesan dengan jabatan atau kekayaannya, melainkan lebih tertarik pada siapa dirinya yang sebenarnya. Itu adalah hal yang jarang terjadi dalam hidup Arga. Namun, di balik semua itu, kehadiran Alya juga mulai mengusik sesuatu yang lebih dalam—masa lalu yang kelam yang selama ini berusaha ia kubur rapat-rapat.

Arga tumbuh besar di keluarga yang penuh cinta. Ayah dan ibunya adalah sosok yang penuh perhatian dan selalu mendukungnya dalam setiap langkah. Ia adalah anak tunggal yang selalu dimanja, namun tidak pernah merasa terlena dengan kemewahan yang diberikan orang tuanya. Di usianya yang masih belia, ia sudah bercita-cita besar untuk menjadi seseorang yang berpengaruh, dan keluarganya selalu ada di sisinya, mendukung setiap mimpi yang ia miliki.

Namun, semua itu hancur ketika sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa orang tuanya. Arga baru berusia 18 tahun ketika itu terjadi—usia yang seharusnya penuh dengan harapan dan mimpi, tetapi malah berubah menjadi mimpi buruk. Di sebuah malam yang penuh hujan, mobil yang ditumpangi orang tuanya tergelincir di jalan licin dan terjatuh ke jurang. Berita itu datang seperti petir di siang bolong, menghancurkan dunia Arga seketika.

Rasa kehilangan yang begitu mendalam membuat Arga terpuruk. Kehidupan yang tadinya begitu penuh kehangatan tiba-tiba berubah menjadi kosong. Ia kehilangan tempatnya untuk berpulang, dan yang tersisa hanyalah kehampaan dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Sejak saat itu, Arga memutuskan untuk menutup dirinya dari dunia luar. Ia menolak untuk mempercayai siapa pun, merasa bahwa semakin ia dekat dengan seseorang, semakin besar kemungkinan ia akan kehilangan mereka.

Waktu berjalan, dan Arga mulai mengalihkan rasa sakitnya dengan bekerja. Ia melemparkan dirinya sepenuhnya ke dunia bisnis, membangun kariernya dari nol hingga akhirnya mencapai posisi puncak. Kesuksesan yang diraihnya bukanlah kebetulan—itu hasil dari dedikasi dan kerja keras yang luar biasa. Namun, di balik segala pencapaian itu, Arga tahu bahwa ada bagian dalam dirinya yang selalu kosong. Ia telah menutup pintu hatinya rapat-rapat, tidak pernah membiarkan siapa pun masuk. Setiap kali ada orang yang mencoba mendekatinya, ia akan bersikap dingin dan menjaga jarak.

Namun, Alya... gadis itu berbeda. Meskipun pertemuan mereka singkat, kehadirannya meninggalkan bekas yang sulit diabaikan. Alya tidak mencoba untuk mendekati Arga karena statusnya atau kesuksesannya. Gadis itu hanya memberikan perhatian tulus—hal yang sudah lama tidak dirasakan Arga dari siapa pun. Ia tidak tahu mengapa, tapi setiap kali memikirkan Alya, ada perasaan hangat yang muncul di dadanya. Sesuatu yang selama ini ia hindari, kini mulai muncul kembali ke permukaan.

Malam itu, setelah selesai dengan pekerjaannya, Arga memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Ia menutup laptopnya dan melangkah keluar dari kantor dengan langkah yang berat. Di dalam mobilnya, bayangan masa lalu mulai bermain di kepalanya. Ia teringat betapa bahagianya dulu ia bersama kedua orang tuanya, dan betapa hancurnya hidupnya ketika mereka pergi.

Arga menepikan mobilnya di pinggir jalan, menghela napas panjang sambil menatap kota yang tampak gemerlap di bawah cahaya lampu. Ia merasa sesak, seperti ada beban besar yang selama ini terus ia pikul. Arga tahu bahwa rasa sakit itu tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya menguburnya di tempat yang sangat dalam. Namun, kehadiran Alya perlahan-lahan mulai menggali luka lama yang sudah lama terkubur.

Arga menutup matanya, mengingat malam kecelakaan itu. Hujan turun deras, sama seperti malam ini. Ia masih bisa mengingat betapa hancurnya perasaannya saat menerima telepon dari polisi yang memberitahu tentang kecelakaan tersebut. Suara di ujung telepon itu dingin dan profesional, tapi bagi Arga, kata-kata itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya.

Sejak malam itu, Arga berjanji tidak akan pernah membiarkan dirinya merasakan kehilangan sebesar itu lagi. Ia memutuskan untuk mengisolasi diri, tidak ingin terlalu dekat dengan siapa pun. Bahkan sahabat-sahabatnya pun tak pernah benar-benar tahu betapa dalam luka yang ia rasakan. Mereka hanya melihat sisi dirinya yang kuat, ambisius, dan sukses. Tidak ada yang tahu bahwa di balik semua itu, Arga hanyalah pria yang terluka dan takut kehilangan lagi.

Alya mungkin tidak sadar, tetapi kata-kata dan perhatian kecilnya telah membuka pintu kecil dalam hati Arga. Pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Meski ia masih belum yakin bagaimana perasaannya terhadap Alya, Arga mulai menyadari bahwa gadis itu membawa sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Ada kehangatan dalam cara Alya berbicara, senyumnya yang tulus, dan pandangannya tentang kehidupan yang begitu sederhana namun penuh makna. Semua itu membuat Arga perlahan-lahan mempertanyakan keputusannya untuk menutup diri dari dunia.

Arga kembali ke apartemennya malam itu dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi foto lama orang tuanya yang masih ia simpan di meja samping tempat tidurnya. Foto itu adalah satu-satunya kenangan fisik yang masih ia miliki dari mereka. Di foto itu, mereka tersenyum hangat, seolah tidak ada beban di dunia ini.

"Apa aku sudah terlalu lama hidup seperti ini?" bisik Arga kepada dirinya sendiri. Ia mulai bertanya-tanya apakah benar keputusan untuk menutup diri dan menghindari keterikatan dengan orang lain adalah jalan terbaik. Kehadiran Alya telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan itu, sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Arga menarik napas panjang dan menutup matanya. Luka lama yang selama ini ia sembunyikan mulai terasa kembali, namun kali ini, rasa sakit itu datang bersama harapan yang baru. Harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa membuka hatinya lagi. Dan mungkin, Alya adalah kunci dari semua itu.

Namun, satu hal yang pasti—Arga tahu bahwa ini adalah perjalanan yang panjang. Masa lalunya yang kelam tidak akan hilang begitu saja, tetapi dengan kehadiran Alya, mungkin hidupnya tidak akan sepi lagi seperti dulu.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now