Bab 8 : Cinta yang Mulai Tumbuh

3 1 1
                                    


Hari-hari yang Alya habiskan di perusahaan Arga membuatnya semakin dekat dengan sang CEO muda. Mereka tak hanya saling mendukung dalam pekerjaan, tetapi juga menemukan kebersamaan di luar lingkungan kantor. Setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, Alya merasakan kehangatan yang berbeda. Awalnya, ia mengira kehadiran Arga hanya sebagai seorang teman yang selalu ada di saat ia membutuhkan, namun semakin lama, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Di sisi lain, Arga juga mulai merasakan hal yang sama. Kehadiran Alya membawa warna baru dalam hidupnya yang biasanya dingin dan penuh tekanan. Alya dengan segala kesederhanaannya mampu membuat Arga tersenyum dan merasakan kedamaian yang sudah lama hilang dalam hidupnya. Arga yang biasanya keras, serius, dan terfokus hanya pada bisnis, kini mulai menemukan ruang di hatinya untuk perasaan yang lebih lembut.

Namun, meskipun perasaan itu semakin kuat, keduanya sama-sama terjebak dalam dilema yang rumit. Alya merasa bahwa posisinya sebagai seseorang yang berasal dari latar belakang sederhana tidak layak untuk seorang pria seperti Arga, seorang CEO yang kaya dan berpengaruh. Sementara itu, Arga masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya—luka yang belum sembuh sepenuhnya, serta kekhawatiran bahwa ia tidak mampu memberikan kebahagiaan yang layak untuk seseorang seperti Alya.

Suatu sore, di penghujung hari yang melelahkan, Arga mengajak Alya ke taman kota yang tenang. Ini adalah tempat di mana mereka pertama kali bertemu secara tak sengaja, dan sejak saat itu, taman ini menjadi tempat yang spesial bagi mereka. Angin sore yang sejuk, ditemani sinar matahari yang perlahan-lahan tenggelam, menciptakan suasana yang damai. Mereka duduk di bangku kayu, menikmati keheningan yang nyaman.

Alya, yang biasanya ceria, kali ini tampak lebih tenang. Ada banyak hal yang berputar di kepalanya—tentang pekerjaan, tentang Arga, dan tentang perasaannya sendiri yang semakin hari semakin sulit diabaikan. Ia mencuri pandang ke arah Arga, yang duduk di sampingnya dengan pandangan kosong ke arah langit. Wajah Arga tampak serius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang dalam.

"Ada yang kamu pikirkan?" tanya Alya pelan, memecah keheningan.

Arga menoleh dan tersenyum tipis. "Banyak, sebenarnya. Terutama tentang kamu."

Alya terkejut mendengar jawaban itu, tetapi ia tetap menjaga sikap tenangnya. "Tentang aku? Kenapa?"

Arga menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kamu tahu, Alya... Sejak kamu masuk ke hidupku, segalanya berubah. Aku merasa lebih... hidup. Kamu membawa sesuatu yang tidak pernah aku duga, sesuatu yang aku bahkan tidak tahu aku butuhkan."

Alya menatap Arga dengan mata yang penuh pertanyaan. Kata-kata Arga membuat jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia tak ingin berasumsi terlalu jauh. "Aku nggak ngerti maksudmu."

Arga mengalihkan pandangannya ke depan, menatap hamparan bunga yang bergoyang lembut diterpa angin. "Aku tahu kamu mungkin merasa tidak pantas berada di sini, di dunia yang aku jalani. Dan aku juga paham kalau kamu merasa status kita berbeda. Tapi aku ingin kamu tahu... Aku sangat menghargai apa yang sudah kamu lakukan untukku. Kamu membuatku merasa lebih tenang, lebih percaya diri. Aku mulai melihat diriku dari sudut pandang yang berbeda karena kamu."

Alya terdiam. Di dalam hatinya, ada getaran lembut yang mulai tumbuh. Ia merasakan kebahagiaan mendengar pengakuan Arga, tetapi juga ketakutan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, seorang gadis sederhana tanpa latar belakang yang luar biasa, bisa cocok dengan seseorang seperti Arga? Perbedaan di antara mereka begitu jelas. Alya merasa bahwa dunia Arga terlalu jauh dari jangkauannya.

"Tapi, Arga..." Alya memulai dengan suara pelan, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. "Aku bukan siapa-siapa. Kamu adalah CEO perusahaan besar. Aku hanya seseorang yang kebetulan hadir di hidupmu. Aku... aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa memberikan apa yang kamu butuhkan."

Arga menoleh, menatap Alya dalam-dalam. "Jangan pernah bilang kalau kamu bukan siapa-siapa, Alya. Kamu lebih dari itu. Di dunia yang penuh dengan ambisi dan keserakahan ini, kamu adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa bisa jadi diriku sendiri. Kamu membuatku merasa... normal."

Alya tersenyum getir. "Tapi masa lalu kamu, Arga. Aku tahu itu masih membebanimu. Aku nggak mau jadi beban tambahan dalam hidupmu."

Arga menghela napas panjang. Ia tahu Alya benar. Masa lalunya yang kelam, kehilangan orang tua di usia muda, dan tekanan untuk terus menjaga kesuksesan perusahaannya telah menciptakan dinding yang tinggi di sekeliling hatinya. Ia selalu takut membiarkan orang lain terlalu dekat, khawatir bahwa mereka akan terluka seperti dirinya.

"Ya, masa laluku berat," kata Arga dengan suara rendah. "Tapi, mungkin dengan kamu di sini, aku bisa mulai melepaskan sebagian dari beban itu. Kamu membuatku merasa bahwa aku nggak harus selalu kuat. Bahwa aku bisa merasa rapuh tanpa kehilangan siapa diriku."

Mata Alya berkaca-kaca mendengar pengakuan itu. Ia merasakan kepedihan di balik kata-kata Arga, dan juga perasaan tulus yang disampaikan. Meski masih ada keraguan di dalam hatinya, Alya mulai menyadari bahwa mungkin Arga benar. Mereka mungkin berasal dari dunia yang berbeda, tetapi di antara mereka ada sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan status.

"Aku nggak tahu, Arga..." Alya berbisik, menundukkan kepala. "Aku juga nggak yakin apakah aku siap untuk ini."

Arga meraih tangan Alya dengan lembut, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. "Kita nggak perlu buru-buru. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tapi, kalau kamu belum siap, aku akan menunggu."

Alya menatap tangan Arga yang menggenggamnya, merasakan kehangatan dan ketulusan yang tulus dari sentuhan itu. Hatinya berdebar kencang, tetapi di saat yang sama, ada rasa tenang yang mengalir melalui tubuhnya. Mungkin inilah yang disebut cinta—sesuatu yang tidak terduga, yang datang di saat yang tidak direncanakan, namun terasa begitu benar.

"Aku... aku juga merasa yang sama," jawab Alya akhirnya, suaranya terdengar pelan namun jelas. "Tapi aku butuh waktu, Arga. Semuanya terasa begitu cepat, dan aku masih harus memahami perasaanku sendiri."

Arga tersenyum lembut. "Aku paham, Alya. Dan aku akan ada di sini, kapan pun kamu siap."

Mereka duduk bersama, menikmati keheningan yang kini terasa lebih damai. Meskipun ada banyak hal yang belum terselesaikan, dan meskipun ada rintangan besar di depan mereka, satu hal sudah pasti—perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Di tengah perbedaan dunia yang mereka jalani, Alya dan Arga mulai menyadari bahwa cinta tidak mengenal status atau latar belakang. Cinta adalah tentang memahami dan menerima satu sama lain, apa adanya, tanpa syarat. Dan meskipun jalan di depan mungkin sulit, mereka berdua siap untuk menjalani perjalanan ini bersama.

Malaikat Kecil  "Sang CEO"Where stories live. Discover now