Is He a Murderer?

119 38 3
                                    

Pagi ini Karin nampak cantik, duduk di meja makan menunggu pria itu membuatkannya sarapan. Kali ini dress berwarna peach selutut, dengan rambut hitam panjangnya yang terurai rapih.
Ada sebuah roti dengan selai mentega dan juga secangkir teh hangat dengan aroma wangi melati, namun tidak ada daging kijang seperti yang pria itu katakan.
Dan sedari tadi, Karin tidak melihat ada daging atau bagian tubuh kijang di dapur. Apa benar dia benar-benar membunuh seseorang? Pikir Karin.
Karin memakan rotinya tanpa bicara, seolah takut dengan pria yang sebenarnya tidak ia kenal sama sekali. Tak seperti biasanya Karin tak pernah berhenti berbicara, namun pagi ini wanita itu hanya diam.

Bagai robot yang akan makan jika disuruh makan, mandi jika disuruh mandi dan bicara saat ditanya.
"Kenapa?" Tanya pria itu, mulai menyadari perbedaan Karin. Sementara Karin hanya menggeleng lemah sembari berusaha tersenyum, seharusnya Karin tak perlu berdiam atau berbohong bahwa dirinya tidak apa-apa. Karena jelas sekali pria itu mengetahui sikap dan sifat Karin, dan mengetahui apapun tentang wanita itu.
Pria itu mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat kepada Karin seraya berbisik, "aku nggak kenal kamu secara baik satu atau dua bulan aja, tapi sudah bertahun-tahun. Kamu nggak bisa bohong!" Kata pria itu berhasil menohok Karin.

Karin hanya bisa menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Kapan aku bisa pulang? Suami dan anak-anak ku pasti nyariin aku." Tanya Karin, hening sesaat. Tak lama pria itu tertawa, tawa yang renyah seolah menertawakan Karin yang belum sadar jika dirinya sedang diculik.
"Kalau kamu pulang, suamimu pasti bakal ngabisin kamu." Kata pria itu berusaha meyakinkan Karin agar tetap di sini.
"Dia pasti khawatir, Anak-anak ku, kedua Orang Tuaku juga. Semua orang pasti khawatir. Nggak mungkin dia ngelakuin hal itu lagi." Sahut Karin meyakinkan dirinya sendiri suaminya sudah berubah.
"Hmm, yakin? Itu kan cuman sandiwara, kalau semua sudah normal seperti biasa. Kamu bisa babak belur lagi."

"Itu urusanku, bukan urusanmu!" Cecar Karin, mereka berdua terdiam. Karin tahu ia telah menyakiti perasaan pria itu, tapi Karin harus waspada sekarang. Pria itu bukan hanya menculik Karin, tapi bisa saja membunuhnya.
"Suamiku atau kamu sama aja! Suamiku kasar, jahat. Sementara kamu, terobsesi. Kamu juga bisa bunuh aku kapan aja. Apalagi saat obsesi mu nggak tersalurkan." Jelas Karin.
"Kenapa bisa gitu?" Tanya pria itu.
"Hasrat, yang semakin tinggi bisa bikin kamu jadi pembunuh. Seperti kecanduan porn." Kata Karin, dengan nada suara yang penuh penekanan. Membuat pria itu terdiam seketika.

Menyadari bahwa hal itu yang pernah ia sampaikan kepada Karin dan sekarang wanita itu mulai menyadari apa yang disampaikannya. Tapi ia tak akan bertanya dari mana Karin bisa mendapatkan pemikiran seperti itu, karena hal itu akan membuat Karin mengingat siapa pria yang saat ini ada bersamanya.
"Kamu pikir aku bakal bunuh kamu? Itu yang kamu takutkan?" Tanya pria itu, Karin mengangguk.
Pria itu kembali mencondongkan badannya ke arah Karin dengan nada suara yang lantang.
"Jika kamu takut pada penjahat, dengarkan aku! Kamu juga nggak akan aman jika bersama dengan seorang pahlawan sekalipun..."
"...karena seorang pahlawan bisa membunuhmu hanya untuk menyelamatkan dunia, tapi seorang penjahat akan membakar seluruh dunia hanya untuk menyelamatkan orang yang dia cintai."

Kali ini Karin terdiam, menatap langsung  ke arah netra yang juga menatapnya dengan tajam.
Aku baru saja membunuh seseorang untuk mu, Karin...
Andai bibirnya bisa bicara, mampukah ia? Wanita itu pasti akan lari, takut.
Hening cukup lama, Karin bahkan tidak bisa menegak secankir teh ke dalam tenggorokannya. Rasanya sangat sulit.
Ia tak tahu apa yang diinginkan pria ini, tapi ia juga tidak tahu apa yang dia sendiri inginkan di dunia ini.
Bukankah ia lari dari suaminya?
Ibarat kata, lari dari mulut harimau.
Masuk ke dalam sebuah rumah yang berisi pria aneh.

"Aku nggak bisa kayak gini terus!" Ujar Karin yang mulai gelisah akan semua kegilaan ini. Ia beranjak dari duduknya menuju pintu utama, meskipun suara pria itu berhasil membuatnya ngeri.
"Karin!!!" Ujar pria itu, Karin tak menghiraukannya dan terus berjalan menjauh. Terdengar suara kursi tergeser pertanda pria itu juga berdiri dan mungkin mengikuti Karin.
Sampai di depan pintu utama, Karin baru menyadari jika pintu itu terkunci dan tidak ada kunci tergantung di sana.
Karin kembali merasakan takut, ia menegak salivanya sendiri sembari menenangkan dirinya. Namun baru saja Karin mengatur nafas dan detak jantungnya, ia merasakan sesuatu di belakangnya.

"Aku tahu kamu takut sama aku karena pisau belati itu, makanya aku kunci pintu supaya kamu nggak lari. Percuma juga, kamu nggak bisa lewat pagar. Dan aku malas ngejar kamu di sepanjang kebun hanya untuk bawa kamu ke sini lagi. Jadi bisa nggak kamu bekerja sama, sama aku?" Bisik pria itu tepat di telinga Karin, mendengar hal itu kedua tangan Karin bergetar.
"Kalau aku kasih tahu kamu tentang pisau belati itu, kamu pasti akan takut. Aku di sini berusaha menghilangkan trauma kamu, bukan bikin kamu jadi tambah takut." Katanya lagi, entah di posisi seperti ini Karin harus berteriak atau menangis.

Ini lebih mengerikan daripada suaminya yang kasar...
Karin berusaha berbalik badan berhadapan dengan pria itu, sembari menahan getaran yang ada di kedua tangan dan kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Apa kamu bisa pegang omonganmu, kalau kamu nggak bakal nyakitin aku seperti yang dilakukan suamiku?" Tanya Karin memastikan sekaligus menantang pria itu.
Tapi pria itu hanya diam, Karin sudah menduganya. Dan benar apa yang dikatakan orang-orang.
Obsesi bisa membuatmu melakukan apapun, termasuk membunuh orang yang membuatmu terobsesi. Jika obsesi itu tidak bisa tersalurkan.
Karin mendongak menatap kedua mata pria itu, tubuhnya bersandar di daun pintu.

"Lakukanlah apa yang mau kamu lakukan! Setelah itu biarkan aku pergi! Kamu nggak usah takut aku tersakiti oleh orang lain atau nggak bahagia, itu urusan ku. Sudah jalanku seperti itu, aku yang pilih jalanku sendiri." Kata Karin dengan lantang, ia ingin menyelesaikan semua ini dan pergi dari pria ini. Pria itu hanya terobsesi dengan tubuhnya, pikir Karin begitu. Namun ternyata, wanita itu sama sekali tidak paham dengan semua yang dikatakan oleh pria itu. Membuat perasaan pria itu menjadi sakit, karena Karin berpikir bahwa dirinya hanya menginginkan tubuhnya saja.
"Oke! Tapi sesuai dengan permainanku, aku nggak mau kamu lari kali ini." Pria itu berusaha menantang Karin, meski ia lihat di dalam netra indah wanita itu, ada keraguan di sana.

***

To be continued

19 Oktober 2024

STALKER (obsession) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang