⚖️⚖️⚖️
Dari pagi buta, sampai pagi tidak buta begini, aku sudah rapi dengan kemeja putih dan rok span selutut. Tak lupa rambut dikepang dua dan diikat pita warna ungu di ujungnya. Sekarang aku malah terlihat seperti gadis culun. Hahah, ini sama sekali bukan style seorang Jeje.
Tinggal turun dan memakai sepatu yang tadi malam ada di sofa. Perihal name tag, sudah diselesaikan oleh Kak Julian semalam. Mungkin sekarang sudah dibawa ke mobilnya.
"Jeje, cepetan! Kakak hitung sampe tiga, kalau nggak keluar juga, Kakak tinggal! Satu ...!" Mampus, teriakan menggelegar Kak Julian sudah terdengar. Pakai segala dihitung. Baru juga aku duduk dan melepas tali sepatu. "Dua ...!" Hitungan dua sudah dilontarkan olehnya. Sepatu yang aku pakai baru satu dan itu pun beli diikat. "Dua setengah ...!" Haduh, beberapa detik lagi hitungan tiga sampai. Namum, sepatuku yang satunya belum aku pasang. "Ti ...."
"Iya ...!" Belum juga Kak Julian menyelesaikan hitungannya, aku sudah berlari dengan membawa sepatu sebelah kiri yang belum terpasang di kaki. Takutnya keburu ditinggal, kan, aku tidak punya uang jajan untuk naik angkot.
Sesampainya di dalam mobil, Kak Julian memperhatikanku dengan sangat detail, dari ujung rambut hingga kaki. Hah? Memangnya ada yang salah dengan penampilanku? "Sepatu belum dipake, Je?" Pertanyaan tidak bermutu itu keluar dari mulutnya tanpa merasa bersalah. Padahal karena dia juga sampai aku berlari menenteng sepatu yang hanya sebelah.
"Gara-gara Kakak, sih! Jeje jadi cuma pake sepatu sebelah doang," ocehku sembari memakai sepatu yang tadi aku tenteng keluar. Padahal itu hanya gertakan receh darinya, tetapi anehnya aku percaya.
"Kamu sampe lupa nutup pintu, tuh." Kak Julian memandangi rumahnya yang pintu depannya memang masih terbuka. Astaga, karena percaya dengan gertakan Kak Julian, aku sampai lupa menutup pintu rumah. Aku yang sudah selesai memakai sepatu segera membuka pintu mobil dan ingin menutup pintu tersebut. Namun, tiba-tiba Kak Julian menahanku. "Nggak perlu, Je."
Sontak aku menatapnya bingung. Kenapa tidak boleh ditutup? Bagaimana jika ada maling masuk? Apa jangan-jangan Kak Julian sudah bosan jadi orang kaya, sampai-sampai rela rumahnya Dimaling? "Kenapa, Kak?" tanyaku.
"Nanti ada Mbak yang bantu beres-beres rumah ini, palingan bentar lagi dateng. Tapi dia nggak nginep di rumah kita, jam enam sore kalau pekerjaannya udah selesai, dia pulang."
Oh ... jadi begitu. Rupanya Kak Julian menyewa pembantu. Syukurlah, aku sempat mengira jika akulah yang nantinya akan disuruh bersih-bersih olehnya. Kalau iya, lebih baik bermimpi saja. "Kakak ngerjain Jeje terus, ish!" kesalku. Ternyata Kak Julian ini jahil juga orangnya, aku kira dia pendiam. Iya, diam-diam menyebalkan.
"Hahah ... kamu lucu kalau diisengin soalnya. Udah, jangan ngambek. Kita berangkat, ya." Kak Julian kemudian melajukan mobilnya. Pertama kami melewati gang yang perumahan Kak Julian yang sepi ini, barulah bertemu jalan besar. "Nih, bekal kamu." Kak Julian memberikanku sebuah kotak bekal berwarna abu, juga wadah minum yang ada talinya. Ah, kali ini seorang Jeje benar-benar seperti anak TK.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Rasa [ON GOING]
Teen Fiction[STORY 11] [GENRE: ROMANCE - MARRIAGE LIFE] Blurb: Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat...