⚖️ 15. Menikmati Hukuman

33 19 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


⚖️⚖️⚖️

Aku menunduk saja saat berjalan menuju teras rumah. Ada mama mertua di sana. Entah akan diapakan aku nanti. Tebak, kira-kira hukuman apa yang aku dapat nanti? Disuruh lari seratus kali, atau disuruh mencari kecebong di selokan?

"Malem, Ma ...," sapaku terlebih dahulu pada Mama. Beliau seperti biasa, mengeluarkan tatapan sinisnya, seperti akan memakanku hidup-hidup detik ini.

"Jam berapa sekarang?" tanya mama mertua ini dengan nada datar dan wajah tanpa ekspresi. Jika seperti ini, dia sepuluh kali lipat lebih seram. Lebih baik aku menghadapi Mama yang galak dan tukang marah-marah, daripada bicara dengan wajah datar dan tatapan maut begini.

"Jam? Bukannya Mama pake jam tangan? Kok, malah nanya ke Jeje, sih?" tanyaku balik dengan nada cengengesan.

"Saya tanya, ini jam berapa?!" bentak Mama dengan nada tinggi, membuatku sampai terkejut. Ya, ampun kalau begini terus, yang ada tidak aman untuk telingaku. Satu minggu tinggal di sini bisa-bisa aku akan rutin juga periksa ke dokter telinga.

"Jam delapan, Ma," jawabku lirih sembari menunduk. Jika begini, Upik Abu ini hanya bisa menunduk kalau paduka ratu sudah bertanya.

"Bagus. Sudah tahu jam delapan, kenapa baru pulang?! Keluyuran ke mana aja kamu, hah?! Tadi dianter siapa? Huh, enak, ya, kamu! Suami lagi kerja, istrinya malah enak-enakan keluyuran, malah pulangnya dianter laki-laki lain!" Begitulah ocehan yang harusnya aku tak terkejut. Ibu mertua di film-film juga begini, kan?

"Bukan laki-laki lain, kok, Ma. Itu Eja, temennya Jeje dari ke-"

"Ngejawab terus!" Aku langsung diam saat Mama kembali membentak dan memotong ucapanku. Tak apa, aku harus terbiasa dengan semua ini. "Sini, ikut." Mama dengan tiba-tiba menarik tanganku, membuatku tak bisa memberontak.

"Awh, sakit, Ma ...." Aku merintih kesakitan saat pergelangan tanganku yang mungil ini ditarik olehnya. Kasar sekali, sampai sakit pergelangan tanganku. Mama terus menarikku hingga kami sampai di kolam renang. Apa jangan-jangan ... aku akan dihukum berenang sampai tengah malam?! "K-kita ngapain ke sini, Ma? Jeje capek, mau istirahat."

"Enak aja istirahat! Nggak boleh! Siapa yang suruh kamu istirahat?" tanya Mama sembari membentak.

"Nggak ada yang nyuruh, sih, Ma. Jeje sendiri yang mau soalnya capek," jawabku dengan nada lemas. Daripada disuruh berenang, lebih baik aku disuruh mencari kecebong di selokan sajalah, lebih asyik!

"Ngejawab terus kamu ini! Heran saya, Julian nemu istri kayak kamu di mana, sih?! Bisa-bisanya bocah begini dijadiin istri!" bentaknya lagi. Kali ini tak kalah sarkas. Nemu? Dikira aku uang receh yang jatuh di jalan kali, ah!

"Y-ya, kan, Mama nanya. Nggak sopan kalau Jeje nggak jawab pertanyaan orang tua. Nanti Jeje dikutuk jadi kodok," jawabku tak mau kalah. Dia sendiri yang bertanya, pas dijawab malah dimarahi. Nanti kalau tidak dijawab dan hanya diam juga salah lagi. Entah apa maunya emak-emak di muka bumi ini. Memang benar, ya, kalau mereka itu ras terkuat.

"Jangan banyak omong. Sebagai hukuman, kamu bersihin kolam ini dari daun-daunan itu. Kalau nggak bersih, kamu tidur di luar malam ini!" Dia lalu pergi setelah memberikan hukuman untukku.

Tak mau berlama-lama, aku segera mengambil alat yang entah apa namanya ini. Alat semacam ini sering aku lihat digunakan oleh Bi Lilis untuk membersihkan daun-daun yang jatuh ke kolam renang. Seperti jaring ubur-ubur yang ada di Spongebob itu, loh. Hanya saja ini digabungkan dengan galah panjang, agar memudahkan mengambil daun yang jauh dari jangkauan.

Hei, ini tidak terlalu buruk. Bahkan, sangat gampang! Aku memindahkan daun-daun yang kering dan berjatuhan itu dengan sangat hati-hati.

"Eh, ada yang punya profesi baru, nih!" Tiba-tiba suara Mbak Naya hadir. Itu membuatku menoleh. "Oh ... ternyata adik iparku yang lagi bersihin. Aku kira oembaru baru!" imbuhnya sembari melemparkan kulit jeruk ke kolam renang.

Daripada mulut nyinyir-nya terus mengejekku, aku kerjai saja dia. "Aduh, Mbak, Maaf!" Aku mencipratkan alat tadi ke Mbak nanya, membuat dia kaget sampai menutupi wajahnya.

"Awh!" Mbak Naya berteriak sembari menutupi wajahnya dengan lengan agar tidak basah.

"Maaf, Mbak, Jeje nggak lihat kalau ada Mbak Naya di situ!" Aku sampai berteriak karena jarak kamu cukup jauh.

"Dasar, bocah nggak sopan!" ungkap Mbak Naya, lalu pergi dari sini. Hahah, mampus! Jangan lawan Jeje kalau tidak mau dibalas!

Akhirnya aku lanjut membersihkan daun-daun dengan alat ini. Bukannya kapok atau jera, aku malah menikmati hukuman ini. Ya, mau bagaimana, ternyata asyik juga.

⚖️⚖️⚖️

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang