⚖️⚖️⚖️
Aku tidak dapat memberontak. Kak Julian terus menarik tanganku hingga kami sekarang berada di ruang makan. Sontak semua yang sedang makan pun langsung menoleh ke arah kami.
"Keterlaluan, Mama! Bisa-bisanya Jeje disuruh masak, lihat nggak tangan Jeje sampai kena pisau begini?!" Kak Julian sampai marah-marah dengan mamanya. Lalu, apakah mamanya menanggapi? Menoleh saja tidak.
"Ya, biarin. Resiko orang masak kalau jarinya kena pisau. Lagian istri kamu masih bocah, jangan terlalu dimanja, Julian. Mama begini buat ngelatih dia," jawab mamanya santai sembari mengoles roti dengan selai cokelat. Apa yang dia bilang benar, aku memang masih bocah, jadi tidak perlu merasa sakit hati, Je!
"Bener, tuh. Dipikir bos apa di rumah ini? Udah numpang harusnya sadar diri!" Mau tidak sakit hati, tetapi Mbak Naya malah terus mengompori. Alhasil, Kak Julian pun terlihat makin mendidih.
"Kalau mau ngelatih itu didampingi, Ma, bukan dibiarin begini. Apalagi sampe diancem kalau nggak masak nggak boleh makan. Aku nggak habis pikir sama kalian! Mbak Naya juga! Jangan ikut-ikutan, Mbak, Mbak Naya masuk dapur juga nggak pernah, kan?!" bentak Kak Julian pada mbaknya itu. Aku tidak mengira jika akan begini jadinya. Suasana jadi gaduh karena Kak Julian tidak bisa menahan emosinya. "Ayo, Je, kita berangkat aja," ajak Kak Julian yang menarikku keluar rumah.
⚖️
Di dalam mobil, aku tidak berani mengajak Kak Julian bicara, karena pasti dia sedang mendidih. "Maafin mama Kakak, ya, Je." Kak Julian memulai pembicaraan.
"Nggak apa-apa, Kak. Lagian cuma luka kecil, santai ajalah," jawabku. Aku malas jika masalah bertambah panjang, apalagi dengan orang tua Kak Julian. Walau sebenarnya aku juga mendidih dengan sikap mama dan mbaknya itu.
"Kakak ajak kamu ke rumah Kakak itu biar hidup enak, Je, bukan buat dikerjain begini. Nanti malem kita pindah, ya, ke rumah Kakak." Sontak ucapan Kak Julian membuatku terkejut. Loh, dia punya rumah sendiri?
"Kakak punya rumah?" tanyaku yang terkejut.
"Iya. Setahun lalu Kakak beli rumah, buat ditempati kalau nantinya udah nikah."
Wah, benar-benar tertata jika hidup dengan Kak Julian. Calon istrinya kala itu menyesal tidak, ya, sudah meninggalkan Kak Julian? Kenapa coba tidak dari kemarin-kemarin saja Kak Julian mengajakku ke rumahnya itu? Jadi tidak perlu ada huru-hara begini.
"Tapi Kakak jangan macem-macem, ya, kalau tinggal berdua!" ancamku. Kak Julian hanyalah aku anggap sebagai Kakak, jangan sampai saat tinggal bersama, ada rasa yang timbul. Ogah!
"Macem-macem apa, sih? Kamu kecil-kecil udah mikir mesum terus!" tuduh Kak Julian. Aku hanya meminimalisir hal-hal yang tidak-tidak saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Rasa [ON GOING]
Teen Fiction[STORY 11] [GENRE: ROMANCE ] Blurb: Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat untuk sebuah pe...