20.

315 22 2
                                    

Awan hitam perlahan berubah menjadi terang. Burung-burung mengepakkan sayapnya di udara, saling terbang kesana kemari dengan bahagia seolah tidak memiliki beban.

Aroma tanah basah menyapa indra pernafasan semua pejalan kaki pagi ini. Angin yang dingin menyerap pada bagian kulit mereka yang tak tertutupi kain.

Di sebuah rumah namun cenderung lebih seperti istana terdapat seorang pemuda berpenampilan kusut namun terlihat tampan. Xavier namanya. Sepertinya ia baru bangun tidur, pemuda itu hanya mengenakan boxer hitam tanpa baju yang menutupi badan atletis nya.

Ia beranjak dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi pribadi miliknya yang ada di dalam kamar tersebut. Membersihkan diri di pagi hari membuat semua orang segar dan semangat menjalani hari bukan? ia itu benar, sangat sangat benar. Xavier semangat untuk bertemu gadis pujaannya, di pagi yang dingin seperti ini dirinya ingin sekali mendekap tubuh mungil gadisnya itu.

Usai membersihkan diri, ia bergegas mengenakan seragam putih abu kepunyaan-nya. Semua kancing baju sudah ia kaitkan namun tidak dengan dua buah kancing yang paling atas ia biarkan terbuka sehingga dada bidang tanpa bulu terekspos dengan jelas.

Tangannya mengambil handphone di atas nakas berwarna putih. Ia membuka aplikasi WhatsApp, matanya melihat deretan pesan dari banyaknya nomor tak di kenal tanpa ada niat untuk membalas. Setelah membuka room chat gadisnya, jarinya mengetikkan beberapa pesan lalu mengirim pada nomor sang kekasih.

Senyuman terukir indah pada bibir menggoda Xavier. Ehh(⁠๑⁠•⁠﹏⁠•⁠). Xavier memasukan beberapa peralatan yang ia butuhkan kedalam ransel miliknya. Kakinya melangkah menuruni tangga, setelah sampai pada lantai pertama matanya di suguhi para maid yang sedikit membungkuk hormat kepadanya, setelah Xavier menganggukan kepalanya mereka melanjutkan kembali pekerjaan yang tengah mereka kerjakan.

"Selamat pagi err" suara khas pria paruh baya terdengar dari lantai dua.

Xavier mendongkak melihat kakeknya yang tersenyum hangat kepadanya. Theo menuruni tangga dan di bantu oleh asisten pribadinya yang bernama Dzikri. Setelah mencapai tangga terakhir Theo langsung menghampiri Xavier yang masih berdiri tegak di tempatnya.

"Kek, sudah Xavier bilang kalau mau turun atau naik harus pakai lift, bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

"Hei, ada Dzikri di samping ku jadi kau tidak perlu cemas. Lagipula sudah lama kakek turun tidak menggunakan tangga"

"Baiklah tidak apa kali ini, untuk kedepannya tolong pakai lift" Xavier menghela nafasnya.

"Lain kali jangan biarkan kakek menaiki ataupun menuruni tangga" peringkatnya pada Dzikri, asisten pribadi Theo.

"Baik tuan muda!"

Theo terkekeh mendengar perkataan cucunya. Hatinya menghangat, ternyata cucunya ini sangat pengertian walaupun selalu bersikap datar.

"Baiklah baiklah lain kali kakek akan mendengarkan mu"

Xavier mengangguk singkat. Mereka berdua berjalan menuju meja makan dan di ikuti oleh Dzikri dari belakang.

Mereka memulai sarapan tanpa mengeluarkan suara apapun selain dentingan peralatan makan yang terdengar. Dzikri juga ikut sarapan bersama atas permintaan Theo.

Xavier yang pertama menghabiskan makanannya. Ia berpamitan pada Theo dan juga Dzikri. Pemuda itu berdiri dan menyalami tangan kakeknya lalu menyambar ransel yang tadi ia letakkan di atas kursi kosong disana.

"Aku berangkat, kakek jangan lupa meminum obatnya" lalu ia pergi dari sana.

Lagi lagi Theo tersenyum namun kali ini dengan hati yang sakit dan mata yang mulai memanas. "Lihatlah Dzik, dia sama seperti Carlos"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bukan Vellyne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang