Prolog

61 8 1
                                    

"Haruskah aku mengakhiri ini Chandini? Bukankah lebih baik kita kehilangan satu anak daripada kehilangan ratusan ribu anak-anak tanah kita?"

"Apakah itu langkah yang bijak, Raja? Anak ke-dua kita tidak boleh berada di tangan kakakmu, bagaimana pun caranya. Aku tidak peduli berapa banyak nyawa prajurit yang harus kita korbankan kalau itu untuk anak kita, Raja!"

"Kau salah...tidak, seharusnya kau benar, Chandini! Aku adalah Raja, dan Syam adalah Pangeran. Sudah seharusnya aku, Raja Kerajaan Yoda, AYAHNYA, melindunginya!"

Tetesan air mata yang ada di pipinya mengalir deras. Cengkraman tangannya erat hingga telapaknya berubah putih mencengkeram pedang berbatu biru yang bersandar di kursi tahta. Ia adalah Raja, ia tidak boleh membiarkan setiap helai rambut manusia-manusia yang ada di bawah rezimnya ternodai oleh darahnya sendiri. Ia adalah raja, ia mempunyai kewajiban untuk melindungi anaknya sendiri sebagai penerus tahtanya. Ia adalah raja, ia adalah pemegang keputusan negeri ini, dan jika negeri ini hancur, ia yang harus bertanggung jawab.

Bukankah seharusnya seperti itu?

Namun hatinya sangat bimbang karena apa yang menjadi oposisinya adalah negeri tetangganya, Kerajaan Nash yang merupakan tanah lahirnya. Kerajaan yang mengalir darah keturunan dan orangtuanya. Dan kerajaan yang dipimpin oleh kakak kandungnya.

Jelas, kakaknya ingin merebut anaknya karena ia tidak memiliki keturunan. Sedangkan Jahingir? Ia memiliki 4 orang anak yang seharusnya ia lindungi. Dan salah satunya akan direbut oleh kakaknya untuk dijadikan penerus tahta.

Sungguh Tuhan telah mengujinya. Apakah ini bukti dari karma yang ia terima atas kesombongannya? Atau karena kelakuan orangtuanya?

"Ini benar-benar karma, Chandini. Kesialan menimpa kita, dan kita harus mensyukuri apa yang selama ini kita dapatkan. Karena sesungguhnya, nikmat kita sedang dicabut perlahan."

Perjalanan Jahingir, anak polos yang harus terpaksa pergi dari tanah kelahirannya tidak berhenti sampai di sini. Ia harus memikul beban ratusan ribu warganya yang berharap atas dirinya yang sebenarnya ringkih. Hanya saja, ia sangat tulus mencintai mereka, sampai semua orang berani berkorban untuknya. Sungguh, ia adalah Raja yang beruntung.

Namun, berbanding terbalik dengan kakaknya, Narendra, yang menduduki tahta di daratan sebelah. Hidupnya dipenuhi angkara dan kesedihan, yang semua itu membuatnya menjadi pribadi yang tegas. Rakyatnya menutup telinga dan matanya, mereka hanya menuruti perintahnya dan takut akan hukuman berat yang akan mereka terima. Keji, memang. Namun, itulah konsekuensinya sebagai warga di bawah rezim yang carut-marut. Sungguh, mereka hidup nelangsa.

Dalam catatan sejarah, ini merupakan konflik paling berdarah dan rumit. Kedua kakak-beradik ini saling benci, padahal dalam hatinya mereka saling cinta. Aku pun tidak mengerti apa yang keduanya rasakan. Dan mungkin kamu akan tahu jawabannya di lembaran-lembaran yang sudah aku tulis ini.

.

.

.

.

Cerita ini saya buat dari zaman saya SMP di tahun 2012

tapi saya belum pernah publish dan hanya disimpan di laptop demi laptop

yang udah berkali-kali ganti. Jadi, semoga kalian suka sama cerita kuno ini.

Thank you so much yang sudah berkesempatan untuk membacanya

Angkara KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang