6: Pecah Telur

18 5 2
                                    

Kabar tentang rencana penyerangan itu terdengar di telinga Raja Jahingir yang semakin kebingungan. Dalam hatinya ia menyesal karena sudah bersikap netral. Namun, Perdana Menteri Khimar meyakinkan langkahnya tidak salah dan itu sebagai pembelajaran dalam hidupnya. Yang terpenting sekarang adalah persiapan perang melawan pasukan koalisi yang terpantau berkali-kali lipat.

Hanya doa rakyat dan dirinya yang bisa menyelamatkan negeri ini.

“Kita akan mempertahankan tanah kita! Kita tidak akan membiarkan mereka merampok apa yang seharusnya milik kita lagi! Apakah kalian tidak malu kepada anak dan istri kita yang berdiam di rumah, menanti kemenangan yang akan kita bawa sekarang? Tuhan maha pelindung dan maha pembela kebenaran!”

Orasi Raja Jahingir di depan ratusan prajurit yang akan dikirim ke perbatasan membuat semua yang ada di sana berapi-api. Banyak dari mereka yang menitikkan air mata bukan hanya karena ini adalah perang perdana bagi mereka, namun juga karena cinta dan rasa fanatiknya pada Raja muda satu ini. Karismanya sebagai pemimpin membuat mereka percaya akan memenangkan perang ini. Walaupun jumlah mereka kalah dalam bilangan.

Teriknya matahari menyentuh peluh para prajurit yang berbaris di atas benteng perbatasan yang menjulang tinggi. Busur dan panah ada di tangan mereka, seakan membidik musuh-musuh yang juga berbaris dari kejauhan. Tuan Ilham berkeliling untuk memantau pergerakan musuh yang tampak seragam. Ia sangat takut pasukannya kehilangan moral untuk bertempur karena mereka kalah jumlah. 

Namun, sorotan mata mereka menunjukkan semangat.

“Kabar elang menunjukkan Raja telah mengirim pasukan untuk membantu kita dan peralatan perang lainnya. Jika kita bisa menahan setidaknya tiga hari, seharusnya kita bisa menyelamatkan diri.” Jenderal Umma berkabar. Baju zirahnya lengkap terpakai.

“Jenderal Umma, pernah dengar kisah ksatria elang yang mempertahankan benteng dari empat ratus pasukan Timur sendirian? Itu legenda lama di Kerajaan Nash.”

“Bagaimana caranya Tuan Ilham? Aku terlalu muda untuk mendengar kisah itu rupanya.”

Pria paruh baya itu tertawa sambil menyeka pedangnya dari debu. “Ia membiarkan seakan ia menyerah dan membakar seantero benteng dengan terigu yang bila tersulut api akan meledak. Ia kemudian membakar kemah mereka dan kabur ke ibu kota dengan wajah yang terbakar seluruhnya. Konon, wajahnya tidak dapat dikenali dan ia hanya menjadi legenda.”

“Maksud Tuan, kita harus membakar benteng ini?”

“Tidak!” Tuan Ilham tertawa lagi. “Kita bakar kemah mereka secara gerilya. Terutama kemah perbekalan mereka. Selama ini sudah kita observasi, bukan?”

“Kemah perbekalan? Di sana terdapat tepung! Tuan Ilham, apakah ini secercah harapan bagi kita untuk menumpasnya?”

“Kita akan melegenda, Jenderal Umma. Pagi ini, kita penuhi keinginan mereka memerangi kita. Dan nanti malam, pertunjukkan api unggun dimulai.”

Derap kuda memenuhi lembah yang mendatar itu. Cekungan antara gerbang benteng dan lembah tempat pasukan koalisi Ardagh-Nash berkemah sangat cocok untuk dijadikan medan perang. Jenderal Ilham yang berkuda di paling depan memegang erat pedangnya. Ia sudah lama tidak berada di situasi yang menantang adrenalinnya. Di depannya, orang yang merupakan petinggi dari pasukan musuh, berkuda dengan tombak di tangannya. 

“Saya, Jenderal Damas akan menantang Tuan Ilham di sini! Jika Tuan Ilham gugur, benteng ini milik kami dan kalian wajib menyerahkan diri!” Sang petinggi itu berseru. Kata-katanya tidak bisa menggertak Tuan Ilham yang telah kawakan di medan perang.

Baginya, Jenderal Damas yang masih muda itu tidak berpengalaman. Ia tahu dari kata-katanya yang tidak realistis. Ia bisa gugur ditangannya? Mimpi saja, dia! Walaupun ia penguasa tambang, namun ia mantan guru besar di akademi militer Kerajaan Nash!

“Sebaliknya, bila Jenderal Damas gugur, kita akan terus melanjutkan perang hingga kalian dan keluarga kalian habis di tangan kita!” Respon Tuan Ilham terhadap tantangan itu. Kata-katanya berwibawa, membuat pasukan di sekitarnya berapi-api. Ia tidak akan kalah dengan pemuda yang berani menantangnya. “SERANG! TUHAN BERSAMAKU DAN KERAJAAN YODA!”

Genderang perang terdengar keras saat keduanya melaju dengan kudanya. Pedang yang ia ayunkan, dapat tertangkis dengan tombak Jenderal Damas. Begitu juga sebaliknya. Mereka berduel keras di tengah medan perang. Kehebatan keduanya membuat kagum serta ngeri semua yang ada di sana. Termasuk Jenderal Umma yang ada di atas benteng. Ia sejak tadi berjaga dengan ratusan pasukan berpanah.

“Gila sekali Tuan Ilham. Walaupun usianya tidak muda, namun ia dapat mengimbangi pemuda itu! Pantas ia menjadi guru prajurit kita!”

Pujian dan semangat dilontarkan pada Tuan Ilham. Tak sedikit yang merasa termotivasi dan ingin menjadi seperti beliau. Dan ada pula yang khawatir gurunya akan gugur.

Namun, usia bukanlah sekedar angka. Tuan Ilham sudah terlihat hampir loyo di hadapan Jenderal Damas yang jauh lebih muda darinya. Serangan dari tombaknya bahkan mengenai lengan kirinya. Yang dimana itu membuat Tuan Ilham melemah.

“Kau tidak akan bisa mengalahkanku, Tuan Ilham! Rasakan ini!” Tebasan terakhir dari Jenderal Damas mengenai dada kepala klan Firdus dan menjatuhkannya dari kuda. Suasana medan pun seketika hening. Bahkan hanya suara angin yang terdengar di telinga mereka.

“TUAN ILHAM TELAH GUGUR! DAN SAYA, JENDERAL DAMAS DARI KERAJAAN ARDAGH TELAH MEMBUNUHNYA!”

Angkara KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang